Skip to main content

Hari beranjak gelap diiringi suara adzan dari toa yang terpasang di menara, dan orang-orang beriringan pulang dari sawah ketika kami tiba di jalan beraspal yang menanjak.

“Kediamannya di ujung jalan ini bung!” Ucap perupa berjuluk Dokter Rupa, Hujjatul Islam. “Sana! Dia tinggal di Sanggar Seni Panca Pesona,” lanjut Jatul, panggilan akrab Hujjatul sembari menunjuk sisi kanan jalan yang membelah perkampungan padat itu. 

Suara motor Suzuki Shogun 125 yang meraung-raung menanjak – melewati kerikil cadas sebelum tiba di pertigaan jalan. Kami pun belok ke kanan, melewati ruas jalan yang sedikit sempit. Begitu tiba, seorang pemuda keluar dari dalam sanggar dan menanyakan maksud kedatangan kami. 

“Bang Jek tidak ada. Biasanya kalau magrib Beliau ada di rumahnya,” ucap pemuda itu yang entah saya sendiri tidak tahu namanya. 

Suasana perkampungan begitu terasa. Sayup-sayup orang mengaji terdengar dari balik dinding rumah beratap ilalang yang berada di sisi kiri, sebelah reruntuhan rumah akibat gempa yang masih bisa disaksikan mata – menjadi saksi bisu bencana alam.

Dari Sanggar kami berjalan kaki menyusuri jalan sempit, melintasi saluran pembuangan air dan terus berjalan – kami sedang berlomba dengan redupnya malam di atas bukit, penerang hanya bola lampu yang sembunyi di balik tembok rumah warga.

“Ke atas lagi. Dari pohon mangga itu terus lurus, kemudian belok ke kanan,” suara salah seorang warga yang sedang duduk di beranda rumahnya. Kami hanya melepas senyum sebagai tanda terima kasih. 

“Bang Jek!” Teriak Jatul yang berada di simpang jalan setapak, persis di belakang rumah yang hendak kami tuju. “Jatul! Sini masuk!” jawab bang Jek, sapaan akrab Zakaria, saat ditemui di kediamannya. “Bagaimana kabar! Sehat!” Tanyanya sembari mempersilahkan kami masuk. “Sehat bang Jek,” ucap saya dan Jatul secara bersamaan. 

Laki-laki paruh baya berjuluk Maestro Rudat itu nampak begitu segar dan gesit ketika menerima kedatangan kami di rumah RTG miliknya yang berada di dusun Tanak Ampar Terengan, Kamis (12/10), pukul 19:00 WITA.

Dokter Rupa, Hujjatul Islam saat berpose dengan Maestro Rudat Lombok Utara. (arsip/baledata)

Pada permulaan malam itu, Bang Jek mengenakan baju piyama putih dan sarung bermotif kotak-kotak, juga peci berwarna merah terang yang biasanya dipakai ketika sedang pentas. Di rumah sederhana berdinding kalsiboard, hanya ada dua kamar tidur dan satu ruang tamu – sebuah TV tabung juga sebuah kipas angin. Karpet tergelar di atas lantai yang masih kasar.

Bang Jek, malam itu begitu santai sembari menghadirkan satu persatu joks humornya – maklum, ia sudah mengenal Jatul cukup lama. Sejenak, Bang Jek menyuguhkan kopi hitam yang baru saja diantar istrinya ke ruang tengah. Sebab tidak ada perjumpaan jika tanpa kopi, semacam tradisi warga lokal dan kopi menjadi pengiring cerita apalagi malam itu cukup dingin. 

“Bagaimana progress program Pasirputih?” Cetusnya. “Sudah mulai berjalan, saat ini kawan-kawan yang lain sedang melakukan dokumentasi pengarsipan di berbagai tempat,” jawab Jatul dengan sigap. 

Pertemuan yang berdurasi sekitar dua jam itu mengalir begitu saja. Cerita-cerita keseharian terkait kegiatan Bang Jek dalam melestarikan Seni Rudat hingga ia disebut maestro di kalangan para seniman. Beberapa kali cerita kami terjeda oleh humor dan seruput kopi, juga tawa yang pecah di ruang tamu malam itu.

Saya yang datang sebetulnya hanya menemani Jatul selaku perupa, dengan maksud menggali lebih jauh terkait objek kerjanya – Seni Rudat menjadi satu kesatuan yang tidak boleh putus baik sejarah maupun filosofinya. Sebelum memutuskan berkunjung ke rumah Bang Jek, kami berdua sudah berdiskusi lebih jauh di Aula Pasirputih, sebuah komunitas yang digagas anak muda progressive sebelas tahun silam.

Bagi saya, ini kali pertama bertemu bang Jek secara langsung meskipun informasi terkait dirinya sudah saya ketahui cukup lama – sejak sanggar seni asuhannya mondar mandir di berbagai media lokal dan kerap mengisi acara-acara kebudayaan pada tingkat kabupaten maupun provinsi.

Dalam kunjungan kami malam itu, tidak ada yang mendadak dan semuanya terjadi atas skenario, tetapi perihal diskusi semuanya berjalan begitu saja.

Jatul dengan cekatan mencatat setiap hal-hal penting sedang saya memilih merekam setiap percakapan kami melalui perangkat handphone.

Kehadiran saya tentu tanpa sepengetahuan tuan rumah, karena sebelumnya hanya Jatul yang datang sendirian. Tetapi Bang Jek dengan cepat mengenali saya, barangkali dia tahu perihal saya melalui media sosial Facebook karena di dunia virtual itu saya berada di lingkaran pertemanan akunnya.

“Pernah mengalami hal-hal yang mistis selama pentas?” Tanya saya yang spontan sekaligus menjeda tawa karena humor dari bang Jek.

Sejenak keheningan terjadi di ruangan itu. Sekejap hanya diam tanpa suara. Bisu. Di bawah redup nyala lampu berwarna kekuningan – saya melihat sudut tembok, melihat kaligrafi menggantung rendah di dinding. Pun juga suara pengajian dari toa masjid di kejauhan yang terdengar samar-samar.

“Sering bahkan hampir setiap kali mentas. Pernah sekali kami diundang untuk mengisi acara nikahan, dan acaranya malam hari. Begitu kami naik ke panggung, kurang dari lima menit, hampir semua personil kami pingsan dan ada yang kesurupan” 

Ketika mendengar hal tersebut, saya seperti dibawa ke segmen lain, ke dalam dimensi mistis sekaligus merasakan kengerian di dalam jiwa. Membayangkan ketika Bang Jek pentas bersama kelompok sanggarnya, dari permulaan malam hingga dini hari sesuai permintaan penyelenggara. Hujan menderas. Ada orang tua yang setia basah-basahan diguyur sembari merapalkan doa-doa.

“Orang itu sedang melepaskan mantra tetapi semua mental karena sebelum berangkat kami semua mengisi diri,” bang Jek melanjutkan kejadian mistis lain yang pernah dialaminya.

“Dulu ketika saya berumur belasan tahun, seni rudat bagi saya hal yang biasa-biasa saja. Saya tidak begitu tertarik. Tetapi ada kejadian yang sulit diterima nalar, seperti terkena senggeger[1] dan sejak saat itu saya tidak bisa lepas dari rudat, bayangkan, ketika mendengar jidur yang ditabuh, tubuh saya seperti bergetar ingin ikut,” Bang Jek mengenang awal mula kecintaannya pada seni rudat.

Rudat Bukan Hanya Sekadar Seni Lokal

“Semenjak terlibat secara aktif bergiat, pada akhirnya mengerti juga alasan yang harus dipegang teguh hingga saat ini. Bagi saya, rudat bukan hanya sekadar hiburan semata namun juga sebagai medium syiar Islam di kalangan masyarakat. Karena dalam lakon-lakon komedinya, baik ketika pementasan pun lirik-lirik lagunya, ternyata banyak sekali mengandung pesan moral yang sangat dalam,” lanjut Bang Jek menjelaskan dunia yang digelutinya itu.

Meskipun sekarang Seni Rudat asuhan sanggar seni panca pesona banyak diangkat oleh media-media online, diundang dalam berbagai pergelaran kebudayaan, juga tidak jarang diundang pada acara hajatan perkawinan, namun yang paling penting adalah dikenalnya secara luas kesenian itu sendiri.


Terhimpunnya pergerakan pemuda secara kolektif sekaligus atas dasar kesadaran untuk menjaga dan memajukan keberadaan Rudat adalah puncak dari keberhasilan saya di dunia yang saya geluti saat ini

Zakaria, Maestro Rudat

Tidak hanya dikenal masyarakat lokal namun juga di kalangan akademis, hal ini tidak terlepas dari banyaknya para peneliti luar yang menjadikan seni rudat oleh sanggar seni panca pesona sebagai objek riset mereka. Salah satunya tesis dari program Pascasarjana jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia dari Universitas Negeri Malang oleh Nurahim pada tahun 2010 dengan judul, “Ekspresi Nilai-Nilai Budaya Sasak Kemidi Rudat Lombok (Perspektif Hermeneutika)”.

Sebuah tesis dari Universitas Negeri Malang yang mengangkat Seni Rudat Sanggar Seni Panca Pesona Terengan. (arsip/baledata)

Lebih jauh dalam tesis tersebut, substansi nilai seni rudat meliputi nilai-nilai: religius; filosofis; etis; dan estetis. Keempat nilai ini mencerminkan akal budi dan cara pandang masyarakat suku Sasak secara mikro dan makro dalam berkomunikasi dengan Tuhan, sesama Manusia, dan lingkungan hidup (Nurahim, 2010)[2] – Beberapa ciri khas lagu-lagu rudat dikategorikan sebagai jenis kesenian yang memiliki rumpun kebudayaan Melayu-Islam. Nilai-nilai  budaya yang terdapat dalam seni Rudat dapat mencerminkan jati diri dan identitas masyarakat suku Sasak. 


[1] Semacam Pelet yang mampu membuat orang kesemsem, jatuh cinta tak beralasan.

[2] Nurahim. (2010). Ekspresi Nilai-Nilai Budaya Sasak Kemidi Rudat Lombok (Perspektif Hermeneutika). Tesis Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Malang.