Kita tentu sudah tidak asing dengan kata “museum”. Bahkan tidak sedikit sekolah-sekolah yang memiliki kegiatan mengunjungi museum. Pada umumnya, tujuan mengunjungi museum adalah untuk menambah wawasan atau mencari referensi visual dari benda-benda bersejarah yang tersimpan di museum. Bagi masyarakat awam, kata museum identik dengan fosil dinosaurus atau ruang penyimpanan benda-benda artefak masa lalu. Padahal, jenis museum sangat bervariasi, seperti museum seni yang menyimpan karya seni seperti patung atau lukisan, museum serangga yang menyimpan keanekaragaman serangga dunia, museum transportasi yang menyimpan bukti sejarah perkembangan transportasi, dan masih banyak lagi.
Dalam Journal of the History of Collections, Paula (1989) mencatat bahwa secara etimologis, kata museum berasal dari bahasa Yunani, “mouseion” yang merujuk kepada nama kuil untuk sembilan Dewi Muses, anak-anak Dewa Zeus yang melambangkan ilmu dan kesenian. Museum berkembang seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan manusia yang membutuhkan bukti-bukti otentik tentang catatan sejarah kebudayaan. Museum menurut International Council of Museums (ICOM) adalah sebuah lembaga yang bersifat tetap, nirlaba, melayani masyarakat dan perkembangannya, terbuka untuk umum, memperoleh, merawat, menghubungkan, dan memamerkan artefak-artefak perihal jati diri manusia dan lingkungannya untuk tujuan studi, pendidikan dan kreasi. Menurut PP (Peraturan Pemerintah) no 66 tahun 2015, kini museum diartikan sebagai lembaga yang berfungsi melindungi, mengembangkan, memanfaatkan koleksi dan mengkomunikasinnya kepada masyarakat. Koleksi yang dimaksud dalam PP tersebut adalah museum sebagai Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan (atau) bukan cagar budaya yang merupakan bukti meterial hasil budaya, alam dan lingkungannya yang mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, kebudayaan, teknologi atau pariwisata.
Ketika makna museum identik dengan sebuah bangunan lengkap dengan segala macam koleksinya, maka Yayasan Pasirputih mencoba mengemas dan memaknai museum dalam bentuk yang berbeda. Yayasan pasirputih mencoba berspekulasi di kecamatan Pemenang membangun sebuah “museum”, yaitu “Museum Dongeng” dengan koleksi berbagai macam aktivitas dan cerita-cerita warga.
“Museum Dongeng” adalah tema Bangsal Menggawe 2019 yang diadakan pasca gempa yang melanda pulau Lombok pada Agustus 2018 lalu. Kegiatan ini mengajak kita untuk melihat “museum” lebih dekat, menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Sebagaimana tujuan museum pada umumnya untuk menjaga, melindungi dan mengembangkan bukti-bukti material hasil budaya, alam dan lingkungannya, begitu juga dengan tema “museum dongeng” yang diangkat pasirputih, agar hal-hal kecil yang menjadi tradisi, yang setara dengan “dongeng” tidak tergerus hilang oleh kebijakan-kebijakan yang terus saja dibangun.
Kesadaran untuk membangun “museum dongeng” tidak terlepas dari kegiatan pasirputih sejak berdiri pada tahun 2010. Pasirputih merupakan gerakan kolektif yang salah satu fokus kegiatannya adalah pengarsipan melalui audio visual. Selama hampir 11 tahun bergerak, pasirputih berhasil mengumpulkan 12 terabyte arsip digital audio visual kebudayaan Lombok Utara yang merekam berbagai macam subyek sejarah dan seni seperti cerita rakyat, manuskrip (fisik dan pembacaannya), ritual, teknologi lokal, pertanian, situs sejarah, atau aktivitas keseharian masyarakat yang mencerminkan perkembangan kebudayaan di Lombok Utara.
Arsip, secara etimologis berasal dari kata “arche” yang berarti sebuah catatan, kemudian berkembang menjadi “archeon” yang artinya gedung pemerintahan. Dalam bahasa Belanda arsip dikenal dengan istilah “archief”, dalam bahasa Inggris disebut “archive” yang memiliki arti catatan tertulis yang disimpan (Barthos, 2016). Dalam UU no 43 tahun 2009 tentang kearsipan dinyatakan bahwa arsip adalah rekaman kegiatan atau peristiwa dalam berbagai bentuk dan media sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang dibuat dan diterima oleh lembaga negara, lembaga pemerintahan daerah, lembaga pendidikan, perusahaan, organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, atau perseorangan dalam pelaksanaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Arsip berperan sebagai pusat ingatan atau sumber informasi dan alat pengawasan yang dibutuhkan oleh setiap organisasi atau lembaga untuk merencanakan, menganalisa, mengembangkan, membuat kebijakan bahkan untuk membuat keputusan.
Dalam perjalanan membangun dan mengembangkan “Museum Dongeng” selama dan setelah kegiatan Bangsal Menggawe 2019, pasirputih kemudian melihat adanya kesadaran pengarsipan yang telah dilakukan oleh warga sejak dulu sampai sekarang.
Tradisi dan budaya mengarsip masyarakat Lombok Utara terlihat dalam bentuk simbol-simbol yang dapat ditemukan dalam arsitektur rumah, masjid, berugak atau motif kain. Juga tertuang dalam aksara yang tertulis pada lontar yang masih terjaga dan dilantunkan dalam setiap upacara adat. Selain itu, Lombok Utara juga memiliki “Bale Beleq” sebagai ruang penyimpanan benda-benda bersejarah peninggalan leluhur.
Bale Beleq merupakan tempat yang sakral bagi masyarakat Lombok Utara dan menjadi situs peninggalan bersejarah, sehingga masyarakat setiap tahun dalam kalender sasak melakukan ritual atau acara pembersihan rumah sekaligus benda-benda pusaka nenek moyang. Bale Beleq adalah bentuk dari pengaplikasian “museum” yang dilakukan oleh warga baik dalam hal mengarsip, menyimpan, memelihara dan membagikan pengetahuan sejarahnya melalui kegiatan ritual adat yang dilakukan setiap tahun.
Strategi dan inisiatif masyarakat Lombok Utara dalam usaha mengarsip dan melestarikan sejarah kebudayaannya melalui tradisi pendokumentasian yang telah mereka lakukan sejak dulu, menjadi hal yang mendasari pasirputih menggagas kegiatan “Baledata-Museum Audio Visual Kebudayaan Lombok Utara”. Kegiatan ini didukung oleh program Fasilitasi Bidang Kebudayaan (FBK), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan Kebudayaan Republik Indonesia yang berlangsung pada bulan September sampai November 2021. Baledata merupakan wujud kesadaran pasirputih atas kerja-kerja pengarsipan yang selama ini dilakukan. Lebih jauh lagi, baledata menjadi alat ukur progresivitas dan tantangan pengarsipan yang dilakukan lembaga berbasis komunitas, khususnya dalam hal mendapatkan dan mengumpulkan dokumen masyarakat (publik), pengelolaan arsip, dan akses kepada publiknya.
Fokus yang dilakukan pasirputih dalam kegiatan baledata bukan pada membangun lembaga arsip ataupun museum. Pasirputih menyadari bahwa untuk membangun lembaga arsip ataupun museum membutuhkan perangkat yang besar dan proses yang panjang. Namun tidak menutup kemungkinan, menjadikan baledata sebagai pusat arsip di Indonesia Wilayah Tengah khususnya, dan Indonesia pada umumnya.
Kegiatan baledata diikuti oleh pemuda-pemuda baik dari maupun luar Lombok Utara. Fokus kegiatannya adalah memetakan, mengumpulkan, mengkaji, mendokumentasikan, dan mengembangkan strategi warga dalam melakukan pengarsipan dan pendokumentasian di wilayah Lombok Utara dari masa ke masa dalam bentuk arsip elektronik atau arsip digital yang lebih accessible bagi masyarakat.
Menurut NASA (National Archive and Record Administration), arsip digital atau arsip elektronik merupakan arsip-arsip yang disimpan dan diolah dalam suatu format, dimana hanya media elektronik yang dapat memprosesnya. Dalam buku Manajemen Arsip Elektronik, Sri Rahayu (2013) menyatakan bahwa arsip elektronik adalah sistem atau tata cara pengumpulan informasi berupa dokumen yang direkam dan disimpan menggunakan teknologi komputer berbentuk dokumen elektronik dengan tujuan agar dokumen mudah dilihat, dikelola, ditemukan dan dipergunakan kembali.
Manfaat sistem pengarsipan secara digital menurut Sukoco (2006) dalam buku Manajemen Administrasi Perkantoran Modern diantaranya adalah meminimalisir resiko rusaknya dokumen kertas atau buram karena usia, memudahkan dalam pencarian arsip, menghemat tempat, dapat merecovery data dengan membackup data ke dalam media yang compatible, dan meningkatkan keamanan.
Tim baledata melakukan wawancara dengan tokoh budaya Lombok Utara Kamardi Arif
Melihat manfaat dari sistem pengarsipan digital tersebut, serta peluang yang ditawarkan oleh teknologi saat ini, maka baledata tidak hanya mendokumentasikan dan mengkaji strategi dan medium produksi warga dalam pengarsipan yang telah dilakukan, tetapi juga melakukan digitalisasi arsip-arsip yang disimpan oleh warga, seperti lontar atau benda-benda bersejarah lainnya dan menelusuri meta data pengarsipan tersebut sebagai langkah awal untuk membangun sistem pengarsipan yang baik.
Selain proses digitalisasi, baledata juga mencoba mengkaji bagaimana seni digunakan oleh seniman dalam melakukan perekaman atau mendokumentasikan kehidupan sosial, budaya, sejarah atau ekonomi melalui lukisan, sketsa, atau fotografi. Saat ini, arsip dan kesenian masih dianggap tak saling berkaitan. Arsip yang identik dengan kerja administratif, dan kesenian yang sering hanya mengacu pada nilai keindahan (estetika) dan tak ada kaitannya dengan adminstrasi. Tetapi kesadaran para pegiat seni tentang arsip mulai muncul sejalan dengan munculnya Yayasan Cemeti pada tahun 1995, yang kemudian berkembang menjadi IVAA (Indonesa Visual Arts Archieve). Menurut IVAA, bagi kesenian arsip menjadi sarana refleksi sekaligus upaya penyelamatan memori fenomenal yang sulit diulang dan menjadi bukti penting terhadap sebuah karya seni (Rina, 2018).
Kegiatan-kegiatan baledata yang sedang dilakukan ini merupakan project awal sebelum membangun museum atau lembaga arsip. Bale Data mengajak kita untuk merespon dan sadar akan pentingnya pengarsipan, yang nantinya diharapkan dapat mendorong berdirinya pusat belajar, pusat data, pusat arsip kebudayaan dalam sebuah lembaga Museum Audio Visual Kebudayaan Lombok Utara. Selain itu, kegiatan ini menjadi salah satu cara untuk menghadirkan bentuk pendidikan dan penyebarluasan pengetahuan yang efektif, baik bagi pelajar, mahasiswa atau khalayak umum serta dapat membuka peluang destinasi baru pariwisata di Lombok Utara.
Daftar Pustaka
Barthos, Basir. 2016. Manajemen Kearsipan: Untuk Lembaga Negara, Swasta, dan Perguruan Tinggi. PT. Bumi Aksara: jakarta.
Findlen, Paula. 1989. The Museum: its classical etymology and renaissance genealogy. Journal of the History of Collections. 1(1):55-78. DOI: 10.1093/jhc/1.1/59
Rahayu, Sri. 2013. Manajemen Arsip Elektronik. Surabaya. Universitas Airlangga.
Rina. 2018. Arsip dan Kesenian. Pusat Dokumentasi Budaya Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Sukoco, BM. 2006. Manajemen Adminsitrasi Perkantoran Modern. Jakarta. Erlangga.