Senin 17 Januari saya mulai melakukan perjalanan residensi bertajuk Lumbung Kelana Indonesia, salah satu utusan dari komunitas gubuak kopi yang diberangkatkan ke yayasan pasirputih yang berlokasi di kabupaten di Lombok utara, perjalanan saya mulai dari domisili saya berada di kota Padang, Sumatera Barat.
Sampai di Jakarta, saya melakukan transit ke bandara Soekarno-Hatta dan saya bertemu dengan Bang Ucin selaku seniman yang bergerak di teatrikal, yang berasal dari komunitas Sikukeluang di pekan baru, dan kami ternyata satu maskapai untuk satu tujuan ke yayasan pasir putih pemenang.
Sia.! Hal yang tak dipungkiri terjadi, saya dan bang ucin gagal melanjutkan keberangkatan ke Lombok dikarenakan kesalahan teknis dari pihak maskapai, ahh sungguh sial pada hari itu. Dan dengan terpaksa, saya dan Bang Ucin menghubungi jejaring yang berada di dekat bandara untuk numpang dan menginap semalam dan akan melanjutkan perjalanan besok pagi sekitar pukul tiga dini hari.
Sampai di Trotoart community kami bertemu dengan mbak Rina yang telah kami kontak sebelumnya, mbak Rina salah satu pendiri komunitas trotoart yang berdiri sekitar tahun 2003 silam. Di sana kami juga bertemu dengan Jalal yang akan melaksanakan residensi di Trotoart penjaringan. Kami diajak duduk dan ngopi bersama di sekolah TK yang juga menjadi sekre bagi trotoart kata mbak Rina, kami hanya bisa mengumpat dan pasrah ketika mbak Rina menanyakan kegagalan penerbangan kami. Hahaha.
Selang beberapa lama kami duduk ngopi, Mbak Rina pun mengajak kami jalan-jalan sore ke sekitar penjaringan dan melihat-lihat bagaimana kehidupan di bawah tol penjaringan. Kolong tol menjadi pilihan bagi masyarakat di sana yang kurang mampu untuk membangun rumah semi permanen dengan material seadanya, sebagian mereka bekerja menjadi pemulung dan ada juga mengelola lahan parkiran yang sengaja disediakan khusus bagi yang tidak memiliki tempat parkir di rumahnya sendiri.
Karena kondisi pemukiman yang sangat padat dan rumah-rumah yang berdempetan bisa saja menjadi alasan, dan ada juga yang membuka warung kaki lima, seperti makanan, sembako dll. Mbak Rina bilang, kehidupan di sini begitu murah meriah, makanan di sini tidak mahal, rata-rata untuk makan saja tidak sampai sepuluh ribu untuk satu porsi kenyang nasi uduk, ketoprak, begitupun juga sembako.
Jika kamu belanja di luar gang ini harganya pasti lebih mahal kata mbak Rina. Saya pun beranggapan kenapa bisa segitu harganya, Mungkin mereka sepakat mencocokkan harga jualan mereka dengan kondisi kehidupan masyarakatnya yang sederhana dan banyak yang kurang mampu, supaya masyarakatnya tetap makan dan melanjutkan kehidupan yang lebih baik lagi. Hari mulai gelap dan kami pun kembali ke TK, dan duduk sebentar setelah itu mbak Rina mengajak kami ke rumah nya untuk mandi, makan, dan juga istirahat – karena besok pagi kami harus melanjutkan perjalanan ke Lombok Utara.
Januari Dan Hari Pertama Di Lombok Utara
Pada tanggal 18 Januari 2022 adalah hari pertama saya berkelana di Lombok utara. Kami mendarat di bandara internasional Lombok yang terletak di kota Praya, kami dijemput pak Sahar, yang diutus oleh pasir putih. Sebelum menuju ke Pemenang, kami diajak makan makanan khas Lombok di dekat bandara, yaitu nasi balap puyuh. Setelah makan, kami melanjutkan perjalanan sekitar 2 jam perjalanan darat, sepanjang perjalanan kami lewat jalur by pass yang dipenuhi hamparan sawah yang sangat luas, begitupun saya melihatnya dari atas sewaktu akan mendarat.
Sampai di Mataram Bang Ucin menanyakan kepada pak supir, “di sini ada jual tembakau gak pak?”, “ada jawab pak supir”, dan kami singgah di persimpangan untuk beli tembakau papan bernama kasturi yang berasal dari Lombok utara, sekitar setengah kg untuk stok 2 Minggu selama residensi, kami pun melanjutkan perjalanan ke Pemenang.
Kata pak Sopir kita akan melewati jalur Pusuk yang jarak tempuhnya lebih dekat dari jalur Senggigi. Kurang lebih 1 jam kalau dari kota Mataram, sepanjang perjalanan jalur Pusuk yang melewati lereng perbukitan dan tebing yang curam, kami melihat ada perbaikan jalan, jalur yang cukup ekstrim ketika hari itu intensitas hujan cukup deras.
Kiri kanan di jalur itu dikelilingi tebing bebatuan tinggi dan jurang yang sangat dalam, beberapa tikungan menanjak, ada juga sepertinya bekas longsor sehingga hampir setengah badan jalan dipenuhi tanah serta batuan, kami pun akhirnya selamat melalui jalur Senggigi tanpa ada kendala.
Sampai di pasirputih pemenang kami disambut Oka dan diajak masuk gang sebelah TK disanalah sekre pasir putih, di sana teman-teman sedang sibuk beres-beres oleh kedatangan kami, dan sempat terhenti karena menyambut kami datang. Kami diajak duduk dan disuguhkan kopi khas Lombok Utara yang berlabel “Kopi Dahrun,” salah satu produk yang dikelola pasirputih.
Sembari seruput kopi dan menghisap tembakau atau dalam bahasa Sasak-nya “Bako”, terutama kami berminta maaf atas keterlambatan kami datang dan menceritakan perjalanan kami yang sangat jauh, Gozali atau Mak Dahrun memperkenalkan teman-teman pasirputih dan bercerita seputar pasir putih.
Tak lama ada yang membawa Plecing, juga salah satu makanan khas pemenang, Plecing terdiri dari sayuran seperti terong, toge, sambal pedas dan kuah kacang, bisa juga ditambah nasi atau lontong dan disajikan diatas kerupuk yang terbuat dari bahan sagu yang dibakar, sekaligus piringnya bisa dimakan. dan pastinya enak donk, dan banyak lagi makanan khas pemenang yang diperkenalkan kepada kami sembari bertukar pikiran di berugak.
Berugak berupa pondok atau lesehan yang terbuat dari kayu dan atapnya menggunakan susunan ilalang. Biasanya di setiap rumah pasti ada berugak yang tersedia untuk pertemuan maupun tempat aktivitas masyarakat Lombok Utara. Disetiap hitungan tiang memiliki makna atau aturannya sendiri, maupun dilihat dari ukiran tiangnya.
Sorenya kami diajak ke pantai sekitar lima menit berkendara sepeda motor dari sekre, sampai di pantai suasana sangat sepi dan hanya beberapa warung yang berjualan, beberapa bangkai kapal nelayan bersandar di pinggiran pantai. Ini salah satu efek dari virus Corona yang melanda hampir seluruh belahan dunia, kami pun merasakan dampak yang begitu miris sehingga perekonomian warga setempat anjlok, termasuk bencana gempa yang melanda Lombok dan sekitarnya juga cukup berpengaruh bagi wisatawan lokal maupun mancanegara untuk pergi liburan ke Lombok. Karena masyarakat Lombok hidup dengan pengelolaan pariwisata. Ada juga yang lebih memilih bertani atau nelayan.
Januari dan Izin Mentabeq
Pada 19 Januari, hari kedua kita diajak mantabeq atau bertamu sekaligus perkenalan ke rumah pak Kepala dusun pemenang dan berencana bertemu pak kades, ternyata pak kades sedang tidak bisa menerima tamu karena sedang banyak urusan, dan kami mengundur bertemu besoknya, kami pun diajak jalan kaki keliling kampung oleh Ghozali dan Oka untuk melihat-lihat aktivitas warga pada pagi harinya.
Siangnya saya dan Bang Ucin melakukan kegiatan pertama diawali perkenalan sambil diskusi santai bercerita tentang kolektif kami masing-masing, mulai dari awal berdirinya, program apa yang kami jalankan, termasuk pola-pola tentang kebertahanan kolektif kami, begitupun pasirputih juga menceritakan beberapa program yang mereka gagas, seperti bangsal menggawe, bale data, kelas menggambar, dan seniman memasak yang menjadi program inti di pasir putih.
Selain itu kami di bekali dan menyusun rangkaian kegiatan residensi selama 14 hari kedepan, Gozali selaku pemantik menyusun beberapa target narasumber yang akan kita kunjungi di pemenang maupun di luar kecamatan pemenang Lombok Utara.
***
Pada 20 Januari hari ketiga, saya dan Hamdani, Oka dan Bang Ucin berkunjung ke SMAN 1 Gangga dan bertemu seorang seniman teater Lombok utara Bernama bapak Mulyadi. Ia juga mendirika sebuah sanggar teater yang Bernama Sanggar Anak Gunung, dan juga Teater Bintang di SMAN 1 Gangga tempat ia bekerja sebagai guru ekstrakurikuler teater. di sana juga ada beberapa murid pak Mulyadi yang ikut nimbrung dan berbagi cerita serta pengalaman selama bermain di theater, sambil makan gorengan dan kopi yang telah disajikan mereka.
Setelah dari pak Mulyadi, kami berkunjung ke rumah Abdi Haris salah satu seniman dan budayawan yang ada di Lombok Utara, ia membuat Sanggar Seni Tari yang Bernama sanggar seni Kalista.di sanggar seni ini mereka melakukan kegiatan seperti tari, memainkan alat music Gendang Beleq, dan belajar teater Cupak Gurantang.
Pak Abdi juga bercerita tentang kampung yang ia tempati sekarang, ternyata ada banyak tokoh maupun seniman yang tinggal di kampung ini, yang katanya rata-rata mereka datang dari dusun Bayan, di sini mereka aktif berkesenian, seperti melukis, mengukir, bermain musik, membuat alat, dan begitupun teater, lengkap lah berkesenian di kampung ini, sehingga orang-orang menjuluki kampungnya seniman, tapi itu dulu, sekarang sudah banyak yang berkurang, entah karena faktor apa, Pak Abdi juga bingung menjelaskannya kepada kami.
Selanjutnya karena sudah malam kami menyempatkan berkunjung ke rumah Saudara Datu Danu, ia salah satu aktor teater Candra Gita. Datu danu bercerita banyak kepada kami tentang Teater Candra Gita ini, mulai dari asal usulnya, hingga siapa saja aktor yang berperan di drama Candra Gita ini dan juga bercerita tentang cerita-cerita rakyat yang sudah difilmkan seperti Midun dan tenggelamnya kapal Vander Wick yang ditulis Buya Hamka.
Pada 21 Januari, hari keempat kami berkunjung ke ERKAEM atau biasa disebut Rumah Kucing Montong yang terletak di Meninting, Batu Layar, Lombok barat.
ERKAEM merupakan sebuah komunitas dan ruang kreatif para seniman yang ada di Mataram. Sesampainya di sana mereka bertemu Ary Juliant. Ia adalah pendiri kolektif ERKAEM sekaligus musisi. Ia kelahiran Bandung tahun 1964 yang menetap di Pulau Lombok, yang meluncurkan kembali albumnya bertajuk “Pasca Fatamorgana”.
Sampai sekarang, setidaknya Ary Juliyant sudah membuat 30 album lebih. Ia adalah sosok yang menyebarkan karya-karya lewat jalur independen atau dikenal dengan sebutan indie label. Kemudian Ary juliant bercerita kepada para seniman terkait inisiatifnya membuat kolektif ERKAEM ini, kemudian kegiatan apa saja yang dilakukannya selama di ERKAEM, dan proses berkeseniannya dari masa kemasa.
Kami dibuatkan kopi dan disajikan bakso cuanki, adalah singkatan cari uang jalan kaki, ahahah saya baru sadar ternyata itu yang dimaksud cuanki selama ini, atau dari gurauan teman kang Ari saja, tak jadi masalah soal cuanki, intinya kami sempat makanan khas Bandung di Lombok.
Setelah dari rumah kucing Montong kami lanjut mengunjungi rumah pak Emi, di Desa Sesela Lombok Barat, ia adalah salah satu tokoh yang masih mempertahankan, dan menjaga pewayangan yang ada di Lombok. Pak Emi juga membuat sekolah dalang untuk menjadi ruang para pemuda, anak-anak untuk belajar tentang kesenian.
Pak Emi juga bercerita bagaimana kebertahanan dari sekolah dalang yang ia buat. Di sana kami diperlihatkan alat musik seruling dari bambu yang panjangnya mencapai 1 meter lebih, tanpa dimintai, Pak Emi langsung memainkan suling membawakan musik Sasak.
Ada banyak macam ukuran dan nada dari koleksi suling Pak Emi. Selain itu Pak Emi juga berperan sebagai pendekar Presian. Presian adalah salah satu strategi cara masyarakat Sasak melawan penjajah masuk, dan sekarang telah menjadi permainan yang sangat populer di Lombok, juga untuk di pertontonkan.
Pak Emi juga pemain wayang atau yang biasa kita sebut Dalang, selain itu ia juga membuat wayang sendiri kulit sapi atau kerbau, dan ada juga beberapa karakter baru yang ia buat. Selain wayang menjadi tontonan untuk hiburan ternyata wayang juga bisa menjadi semacam terapi. Karena masyarakat dahulu yang ingin menonton wayang itu ada persyaratannya, bisa jadi semacam tiket, penonton harus bisa membaca beberapa ayat Al Qur’an dan jika hafal dipersilahkan masuk dan menyaksikan pertunjukan wayang, cerita Pak Emi.
Januari Dan Pekan Kelana Di Pulau Lombok
Pada 22 Januari, Hari ke lima Kami mengunjungi rumah Amiq Khalid, di Dusun Kertaraharja, Desa Genggelang, Kecamatan Gangga, Lombok Utara, Beliau adalah pengelola sebuah Museum Warga yang ada di Desa Genggelang. Museum ini adalah inisiasi Amiq Khalid dan kemudian bertransformasi menjadi museum desa.
Museum Desa Genggelang adalah ruang menyimpan benda-benda bersejarah peninggalan leluhur yang dikelola oleh warga. Museum ini menjadi pusat informasi mengenai sejarah masyarakat Lombok Utara, khususnya masyarakat Desa Genggelang. Kami diperbolehkan masuk ke museum dan mengambil beberapa gambar koleksi museum, di sana terdapat benda-benda kuno sekitar abad 16 seperti alat perang yaitu tombak, keris, parang, baju raja, dan juga aksesoris putri raja, seperti gelang perak murni di penuhi ukiran.
Beberapa peralatan pertanian seperti kalender penghitung musim, candi dari kulit buah, dan daun lontar yang bertuliskan aksara sasak, dengan buku yang sudah dibuat terjemahannya, yang menjadi media pesan atau catatan pada masa itu. Ada juga beberapa lembar ayat Al Qur’an yang sudah cukup rusak, dan koleksi koin, dan beberapa uang kertas.
Sebelum kami melanjutkan kunjungan ke rumah Raden Sutagede, kami menyempatkan rehat di salah satu tempat wisata air terjun yang tak jauh dari museum, sekitar 5 menit perjalanan, sepanjang perjalanan sampai spot air terjun, mata kami dimanjakan pemandangan yang hijau dan panorama laut.
Setelah dari sana, kami mengunjungi rumah Raden Sutage. Ia adalah seorang Budayawan kelahiran Dasan Tengak pada tahun 1953, dan beraktivitas sehari-hari sebagai petani. Hidup di lingkungan yang menjaga adat budaya membuat Raden Suta Gede aktif dalam kegiatan-kegiatan kebudayaan. Selain sempat terjun sebagai aktivis Perekat Ombara dan kini bersama para tokoh pelingsir adat Lombok Utara, beliau aktif melestarikan Pepaosan.
Selain itu, bersama Amaq Sutadi dan Amaq Intan, beliau menyelesaikan alih bahasa lontar “Menak Kaping satu, Menak Kaping dua, dan Tapel Adam.” Saat ini tengah menyelesaikan proses alih bahasa “Menak Kaping Tiga” yang sudah dikerjakan sejak satu tahun terakhir. Selain itu Raden Sutagede bercerita kepada kami tentang Drama Teater Candra Gita, dimana ia juga adalah seorang Aktor generasi pertama pada teater ini.
Kemudian kami mengunjungi rumah Nursyida Syam. Kak Ida adalah salah satu penggiat literasi yang ada di Lombok Utara, Kak Ida bercerita tentang bagaimana kebertahanan ia membangun sebuah sekolah yang ada di Bayan, Kak Ida juga pendiri Klub Baca Perempuan dan Kanca sebuah komunitas literasi. Di sekitar rumahnya juga terlihat bangunan sekolah PAUD dan halamannya dipenuhi tanaman-tanaman, tak salah lagi murid-muridnya juga diajak bercocok tanam semenjak usia dini. Mantap!
Pada 23 Januari, hari ke enam saya dan Bang Ucin diajak workshop bincang seniman yang difasilitasi oleh Yayasan pasir putih, workshop ini diadakan pukul 16.00 Wita sampai 19.00 Wita.
Dalam bincang seniman ini, Hafiz dan Husein menceritakan tentang kolektif kita masing-masing. Dan bagaimana kerja-kerja kolektif begitupun pola-pola bertahan kolektif dari Gubuak kopi dan Sikukeluang. Diskusi ini dihadiri oleh warga, tokoh masyarakat, dan kawan-kawan yang datang dari berbagai kolektif di sekitar Lombok.
Oka sebagai pemantik diskusi kali ini. sempat terhenti waktu adzan magrib datang, dan kami melanjutkan setelahnya. Kami buat lingkaran yang lebih rapat agar lebih cair dan lebih santai, di sana saya bertemu Miq Tarja, ia adalah seniman yang peduli dengan lingkungan, seperti karya nya yang mendaur ulang sampah plastik menjadi berbagai macam souvenir dan lain sebagainya dan kami pun lanjut ngobrol sambil makan malam.
Pada 24 januari hari ketujuh saya dan Bang Ucin didampingi host untuk evaluasi mengenai apa yang selama ini kita dapat di lapangan dan bagaimana merespon data-data yang kita dapat. Saya dan Bang Ucin cukup bingun soal itu, akhirnya Gozali menyarankan, kita bikin workshop wayang dari kardus bekas saja kata Gozali, dan kita sepakat untuk melaksanakan kegiatan tersebut.
Akhirnya saya dan Bang Ucin membagi tugas untuk berkolaborasi workshop Wayang dan Gozali dengan yang lain akan mempersiapkan publikasi dan menentukan kapan pelaksanaannya, begitupun untuk pesertanya.
***
Pada 25 Januari hari ke delapan, paginya saya dan Hamdani pergi ke Mataram untuk membeli perlengkapan kebutuhan workshop wayang. Di sana kami mencari bahan cat, kuas, palet, dan alat seperti guntin, cutter dll. Setelah cukup lama berbelanja, kami langsung kembali ke pemenang melalui jalur Pusuk, sampai di sekre tak satupun teman-teman berada di sana, saya hubungi Oka, ternyata mereka berada di komunitas para rupa yang beralamat di Jl. Murangga, Lendang Galuh, Desa Sigar Penjalin.
Saya pun meluncur ke lokasi, sampai di sana saya melihat beberapa pemain musik sedang serius memainkan musik Sasak, saya pun merekam moment berupa video dan dan foto, sembari menikmati musik yang terdengar mistik dan tak lupa ngopi juga. Sebelum adzan magrib datang mereka pun menghentikan permainan musik dan bubar ke rumah masing masing.
Oh iya, saya bertemu Om Jors selaku pemilik wadah, ia mengajak saya berkeliling sekre untuk melihat-lihat karya-karya dari teman-teman yang pernah berkunjung ke pararupa, banyak terpajang lukisan dan drawing seniman Charcoal seniman tiga detik yaitu Hujjatul Islam yang sudah saya kenal semenjak 2018 waktu residensi di komunitas Gubuak Kopi.
Ada juga produk dari para rupa seperti meja dan kursi dari kayu gelondongan yang dibelah dan di pernis sehingga menarik sekian rupa. Malamnya saya, Bang Ucin, dan Rizal dari pasirputih, dan ditemani om Jors dan Imran ngobrol sambil menikmati cemilan lupis dan kue pandan, ditemani tuak dan sate ikan, sambil memainkan musik populer dan tradisional.
Januari Dan Melaksanakan Workshop Wayang
Pada 26 Januari Hari kesembilan kita melaksanakan workshop wayang yang difasilitasi oleh Yayasan Pasir putih kegiatan ini berlangsung selama dua hari yaitu tanggal 27-28. workshop ini dihadiri oleh ibu guru PAUD Kecamatan Pemenang, siswa SMA dan warga setempat. Saya dan Bang Ucin memberi sedikit keterangan mengenai pertunjukan wayang, mulai dari pembuatan naskah yang dijelaskan oleh bang Ucin, dan saya sebagai bagian proses pembuatan wayang.
Diawali dari perkenalan dan alasan kami mengadakan workshop. Setelah itu langsung saja dimulai pembuatan naskah, Bang Ucin mengajak ibuk-ibuk membagi beberapa kelompok yang terdiri tiga sampai empat orang, setelah itu Bang Ucin meminta naskah dari masing masing kelompok yang dikarang melalui cerita rakyat Kecamatan Pemenang.
Setelah selesai menyusun naskah, ibu-ibu diminta membacakan naskah dari perwakilan kelompok, dan setelah itu Bang Ucin langsung saja mencatat siapa saja tokoh atau karakter, dan bagaimana suasana dalam cerita tersebut. Lanjut giliran saya dalam proses pembuatan wayang, saya memberi sedikit keterangan dalam proses tersebut, dan tata cara membuat wayang yang sedemikian rupa bisa bergerak, mulai dari mengenali bahan yaitu dari kardus bekas, bikin sketsa, dan cara memotong dan termasuk mewarnai dan tata letak tangkai berupa bambu, agar wayang bisa bergerak saat dimainkan.
Pada hari pertama kami sempat diguyur hujan yang kadang datang dan kadang pergi, dan kembali lagi dengan durasi lama, beberapa waktu telah terbuang karena berpindah-pindah tempat, dan kami memutuskan untuk tetap melanjutkan dalam aula pasirputih. karena hari mulai sore dan peserta juga punya kewajiban lain kami pun memutuskan untuk melanjutkan proses pembuatan wayang tersebut.
***
Pada 27 Januari hari kesepuluh, Bang ucin dan teman-teman pasir putih melanjutkan workshop wayang dan semua kelompok peserta workshop diminta untuk menampilkan hasil cerita termasuk wayang yang telah mereka buat, di layar yang telah dipersiapkan oleh pasir putih, begitupun pendokumentasian Vidieo yang akan menjadi karya bersama.
Saya mungkin tidak sempat mengikuti workshop sampai hasil akhir, karena bertanggung jawab menyelesaikan sketsa-sketsa temuan saya selama residensi berlangsung untuk dipamerkan pada waktunya.
Pada 28 Januari hari ke sebelas saya melanjutkan proses sketsa dan merampungkan temuan-saya selama perjalanan dan dilanjutkan pemajangan karya dan kurasi karya yang dibantu oleh host pasirputih.
Pada 29 Januari hari kedua belas adalah hari presentasi yang telah kami tentukan bersama, pembukaan pameran WaranTa diawali performance memasak masakan khas pemenang, para partisipan dikolaborasikan dengan dua orang warga ibuk-ibuk yang menjadi pendamping, presentasi ini dihadiri guru-guru PAUD serta siswa dari kecamatan pemenang, dan juga warga sekitar yang sangat antusias menyemangati dan melancarkan kegiatan pada pagi itu.
Dan terakhir pada 30 Januari adalah waktunya pulang ke kolektif masing-masing.
Baca Juga: Delapan Hari Merimbang Baling