Tentang Lumbung Kelana memang sudah menjadi obrolan yang rutin di pasirputih sejak awal tahun 2022. Waktu itu, melalui grup Whatsapp, saya melihat foto Ahmad Humaidi atau yang biasa dipanggil Onyong bersama Hujjatul Islam yang biasa dipanggil Jatul mengunjungi Jakarta. Dari grup itu, dijelaskan bahwa mereka akan menghadiri pertemuan yang akan membahas tentang Lumbung Kelana yang diadakan oleh Lumbung Indonesia.
Sebelumnya, saya pernah mendengar tentang Lumbung Kelana dari Muhammad Sibawaihi yang mampir ke Midang untuk ngopi akhir tahun lalu. Siba bercerita bahwa pasirputih diundang oleh Lumbung Indonesia, sebuah platform hasil kerjasama antara The Fixer dan Gudskul.
Lumbung Indonesia merupakan wadah yang menghimpun kolektif-kolektif seni di Indonesia yang terus mempertanyakan perihal relasi kuasa serta memikirkan dan mengupayakan distribusi surplus yang mereka miliki ke sesama kolektif seni yang membutuhkan, terutama di wilayah-wilayah di mana akses dan sumberdaya yang terbatas1.
Salah satu kegiatan Lumbung Indonesia adalah Lumbung Kelana, program residensi yang diikuti oleh 11 dari 12 kolektif seni yang saat ini tergabung dalam Lumbung Indonesia. Masing-masing kolektif yang terlibat menjadi tuan rumah sekaligus partisipan dengan mengirimkan perwakilannya untuk residensi ke kolektif seni yang lain selama 14 hari. Selama residensi, partisipan dan tuan rumah akan saling belajar dan berbagi informasi serta pengalaman selama menjalani kegiatan-kegiatan kolektif.
Sedikit bergeser dari jadwal yang telah ditentukan oleh tim Lumbung Kelana dari Lumbung Indonesia, para partisipan Lumbung Kelana yang hadir di pasirputih telat satu hari karena kesalahan teknis. Tapi, keterlambatan tersebut tidak begitu berpengaruh pada jadwal kegiatan yang telah direncanakan. Partisipan yang hadir yaitu Hafiz dan Gubuak Kopi, Sumatera Barat dan Husin dari Sikukeluang, Riau.
Saya tidak begitu mengikuti kegiatan residensi teman-teman partisipan dan pasirputih. Hanya saja, seminggu sebelum kehadiran teman-teman partisipan, ketika saya dan teman-teman Aksara Tani berdiskusi, Gozali-direktur pasirputih, meminta Aksara Tani untuk mengadakan kegiatan seniman memasak bersama para partisipan sebagai bagian akhir dari presentasi.
Bagi pasirputih, kegiatan masak-memasak bersama bukanlah hal yang baru dan tabu. Saya pernah mendengar Imran bercerita bahwa sekitar tahun 2016, Ayip salah satu teman seniman pasirputih yang mengawali cerita seniman memasak. Saat itu, ia merespon makanan yang ada di Gili Meno. Selain itu, di pasirputih sendiri punya satu kebiasaan unik, dimana teman-teman luar daerah yang berkunjung ke pasirputih akan selalu mendapatkan jadwal untuk memasak di dapur pasirputih.
Saya ingat ketika Bangsal Menggawe 2017. Mbak Irawati, seniman yang terlibat dalam kegiatan Bangsal Menggawe saat itu akan menyediakan waktu untuk memasak bersama di dapur pasirputih. Begitu juga ketika kegiatan Lingkar Seni Wallacea 2017, di mana teman-teman Gorontalo juga unjuk gigi di dapur pasirputih dengan memasak makanan khas Gorontalo.
Saya masih ingat menu yang dimasak ketika itu, Binte Biluhuta. Dan selama memasak itu saya dan teman-teman Gorontalo berbagi banyak cerita, tidak hanya rasa, saya juga mendapatkan pengetahuan tentang sejarah Binte Biluhuta dan daerah Gorontalo itu sendiri.
Ketika Bangsal Menggawe 2019, juga terjadi pertukaran pengetahuan tentang resep-resep makanan dan tentunya juga banyak cerita di dapur pasirputih. Karena kegiatan piket memasak di dapur pasirputih oleh para partisipan Bangsal Menggawe yang berasal dari daerah yang berbeda, ada Solok, Pekanbaru, Jakarta, Solo, Medan dan Manado. Dan kegiatan masak memasak itu seolah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pasirputih, apalagi sejak kegiatan Aksara Tani 2017.
Memasak Memiliki Makna Universal
Memasak bermakna bagaimana melakukan perubahan pada hasil-hasil pertanian menuju makanan yang dibutuhkan oleh manusia dan berarti transformasi alam menuju budaya. Dalam tulisan Woodward (1999), ia meminjam istilah Descartes dan mengubahnya menjadi “saya makan, maka saya ada”, karena memasak juga merupakan “bahasa” yang digunakan untuk berbicara tentang diri kita dan tempat kita berada di dunia.
Oleh karena itu, bagi Aksara Tani kegiatan memasak dan membahas tentang makanan berarti juga membahas tentang budaya. Bertani, memasak, dan makanan adalah satu kesatuan yang pada hakikatnya tidak bisa dipisahkan. Utami (2018) dalam tulisannya yang berjudul Kuliner Sebagai Identitas Budaya: Perspektif Komunikasi Lintas Budaya, menjelaskan bahwa dalam makanan dan proses memasak terkandung nilai-nilai budaya suatu masyarakat, dan menunjukkan adanya hubungan sosial.
Apa yang kita makan, dengan siapa kita makan, bagaimana proses memasaknya dan bagaimana penyajian makanan tersebut menunjukkan peranan penting dalam hubungan sosial dan budaya masyarakatnya.
Saya jadi ingat ketika merantau ke Bogor ataupun pertama kali datang ke Lombok, ada diskusi hangat melalui makanan. mulai dari pertanyaan-pertanyaan sederhana, seperti, “apakah di daerahmu jenis makanan ini ada?” atau “kalau di daerahmu, jenis makanan ini apa namanya?” bisa juga “kalau di daerahmu, sayuran ini diolah menjadi apa saja?” yang kemudian berlanjut dengan pertanyaan-pertanyaan lain, dan akhirnya kita membahas tentang banyak hal.
Saya juga baru mengerti mengapa hanya dengan minum kopi, bisa membuat dua orang asing berdiskusi begitu cair bagaikan dua orang teman lama yang sudah mengenal begitu dekat. Seperti yang ditulis Utami, makanan memang memiliki peran penting dalam membangun hubungan sosial.
Begitu juga dalam proses memasak. Selama memasak ada ruang bertukar cerita yang terbangun. Mulai dari bagaimana mengolah bahan makanan, cara menyajikannya, tentang harga-harga bahan makanan, ataupun tentang bagaimana kondisi politik saat ini. Memasak melibatkan banyak cerita-cerita, tidak hanya tentang rasa tetapi juga sejarah. Dengan memasak kita dapat mengenal lebih jauh tidak hanya proses memasak dan makanannya, tapi juga tentang kebudayaan suatu masyarakat di daerah tersebut.
Melihat bagaimana keterkaitan pasirputih dengan kegiatan memasak dan tentu juga makanan, dan bagaimana pentingnya peran makanan dan memasak dalam membentuk hubungan sosial dan budaya tersebut, maka Aksara Tani sedang mencoba berspekulasi dengan membuat kegiatan yang berkelanjutan yaitu Seniman Memasak, yang akan menjadi ruang untuk memproduksi resep makanan, tetapi juga pengetahuan dan informasi tentang sejarah, hubungan sosial dan kebudayaan.
Apalagi, di Lombok dan mungkin di daerah-daerah lain juga memiliki budaya tersendiri tentang memasak, seperti Lombok yang memiliki tradisi Begawe, Sumatera Barat dengan Bakurehnya, dan mungkin masih ada tradisi serupa di daerah-daerah lain di Indonesia.
Residensi Lumbung Kelana yang sudah berjalan kemarin menjadi trial dan error dalam pelaksanaan seniman memasak. Saya akui, banyak catatan yang menjadi PR untuk melaksanakan kegiatan seniman memasak untuk selanjutnya.
Berhubung waktu yang sangat singkat, dan riset yang sangat padat, maka partisipan Lumbung Kelana dan tim Aksara Tani kurang persiapan untuk melaksanakan kegiatan Seniman Memasak tersebut. Dan memang, tidak ada waktu khusus dan riset yang mendalam dari partisipan untuk kegiatan ini.
Seniman memasak dilaksanakan pada tanggal 29 Januari 2022 di halaman kantor pasirputih pada pukul 9 pagi waktu Lombok bersamaan dengan Pembukaan Pameran Lumbung Kelana. Kegiatan tersebut dihadiri oleh ibu-ibu, bapak-bapak dan anak-anak dari beberapa PAUD yang ada di Pemenang dan warga sekitar kantor pasirputih.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa harapannya dengan adanya kegiatan Seniman Memasak ini akan terjadi ruang pertukaran informasi tentang rasa dan sejarah baik makanan atau budaya dari daerah yang berbeda, maka dalam kegiatan ini Tim Aksara Tani membingkainya dalam bentuk challenge, di mana partisipan akan ‘berkompetisi’ dengan warga Lombok dalam mengolah bahan makanan yang telah disediakan tim Aksara Tani dengan waktu yang terbatas yaitu hanya 45 menit.
Tim Aksara Tani memilih Terong bulat dan Terong panjang sebagai bahan utama dalam kegiatan kali ini. Selain karena menu terong sangat dekat dengan warga Lombok dan pengolahannya yang sederhana, tim Aksara Tani juga menemukan kemiripan antara olahan terong di Lombok dan di daerah para partisipan, Solok dan Pekanbaru. Sehingga tim Aksara Tani memilih untuk mengelaborasi menu terong itu lebih jauh, antara Lombok, Solok, dan Pekanbaru. Namun sayang, karena waktu riset dan persiapan yang terbatas, tujuan mengelaborasi menu terong dari daerah Solok dan Pekanbaru tidak maksimal.
Dalam kegiatan seniman memasak itu, ada dua tim yang berkompetisi. Tim pertama yaitu Bang Husin, partisipan dari Pekanbaru sebagai kepala Chef yang membuat olahan terong sesuai daerah asalnya dan dibantu oleh dua orang relawan dan tim yang kedua yaitu bu Zulfah sebagai kepala Chef dibantu oleh Hafiz partisipan dari Solok dan satu relawan. Pembentukan tim tersebut agar selama memasak juga terjadi pertukaran resep antara Pekanbaru-Lombok, dan Lombok-Solok.
Memasak bersama kaum ibu selalu menyenangkan. Begitu juga yang dirasakan Bang Husin dan Hafiz. Secara tidak sadar, kaum ibu di tim Bang Husin mengambil alih tugas, sehingga olahan terong diantara dua tim sama, yaitu Beberuk dan Rusuq, karena kaum ibu yang berasal dari Lombok. Tapi meski sama tetap berbeda. Beda ibu, beda resep dan rasanya.
Secara umum, cara pembuatan Beberuk adalah terong bulat hijau yang diris tipis yang dicampur dengan sambal dari cabai, tomat, terasi, bawang, garam dan tambahkan sedikit minyak. Dan yang membedakan dari tiap ibu adalah cara bagaimana mengolah sambalnya. Ada yang diulek semua, ada yang diiris semua, dan ada yang hanya cabenya diulek, lalu bawang dan tomatnya diiris. Ada yang ketika mencampur langsung ditambah minyak, ada juga yang ketika siap saji ditambah minyak yang telah dimasak. Rasa pedasnya juga berbeda.
Tidak berbeda jauh dengan pembuatan Rusuq terong. Jika beberuk menggunakan terong bulat hijau yang diiris, maka Rusuq terong menggunakan terong hijau panjang yang dibakar yang kemudian diaduk dengan sambal yang juga terbuat dari cabai, tomat, terasi, bawang dan sedikit garam.
Waktu masih tersisa 10 menit, menu terong yang sama telah tersaji. Namun, sebagai kepala Chef, bang Husin merasa bertanggung jawab untuk membuat satu menu yang berbeda, yang berasal d, aeri daerahnya. Akhirnya bang Husin memanfaatkan sisa waktu itu. Bang Husin menggoreng terong hijau, kemudian dicampur dengan sambal yang terdiri dari cabai, tomat, terasi dan garam yang telah diulek. Dan terakhir ditambah bawang goreng.
Setelah semua pembuatan menu makanan selesai, maka yang terjadi adalah waktu bertukar rasa dan cerita bersama para warga yang telah hadir sambil makan-makan. Kata Bang Husin, “Selama saya residensi, maka ini adalah pesta yang sebenarnya. Masak bersama dan makan-makan”.
Setelah itu, secara resmi pameran Lumbung Kelana pun di buka. Tidak hanya anak-anak, ibu-ibu dan bapak-bapak pun terlihat begitu antusias melihat pameran itu.
Kegiatan Seniman Memasak juga selesai dengan bahagia, dan tentu meninggalkan beberapa catatan penting untuk perbaikan kegiatan Seniman Memasak selanjutnya.
Baca Juga: DELAPAN HARI MERIMBANG BALING
Catatan Kaki:
1: https://www.fixer.id/lumbung-indonesia diakses tanggal 20 Februari 2022.