BANGSAL MENGGAWE 2024: VITALNYA FUNGSI AIR, SENIMAN JUGA BISA BERSUARA


Oleh: Agus Hery Purnomo

Bangsal Menggawe adalah event reguler yang diadakan oleh Komunitas Pasir Putih, Yayasan yang bergerak di seni dan sastra yang berpusat di Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara. Event ini adalah ruang kreatifitas seni lintas genre yang diikuti oleh seniman- seniman dengan berbagai latar belakang. Seniman yang hadir pun datang dari berbagai daerah di Indonesia. Tahun 2024 ini, Bangsal Menggawe mengambil tema “Montase Air”. Mungkin tidak semua dari kita familiar dengan istilah montase. Berdasarkan definisi di KBBI, montase diartikan sebagai hasil karya yang dihasilkan dari perpaduan berbagai sumber gambar. Dalam definisi yang lainnya, KBBI mengartikannya sebagai gambar berurutan yang bertujuan untuk melukiskan sebuah gagasan unik. Sebagaimana tema besar yang diambil, maka fokus ide dari Bangsal Menggawe kali ini adalah berkaitan dengan air.

Tidak bisa kita sangkal, air adalah kebutuhan pokok kita, baik untuk kebutuhan tubuh kita sebagai manusia, maupun untuk menunjang urusan kita sehari- sehari; bertani, berkebun, dan lain- lain. Jika air tidak terjaga keberlangsungannya, maka akan mengganggu hidup dan penghidupan kita baik sebagai individu maupun secara kolektif sebagai bagian dari masyarakat.

Tema ini sangat relevan dengan kondisi kita hari ini. Air menjadi permasalahan di hampir semua belahan dunia. Bahkan keberlangsungan air baru saja dibahas pada sebuah forum tingkat dunia di pulau tetangga kita Bali, World Water Forum (WWF), yang dihadiri oleh ribuan peserta dari berbagai negara. Tema World Water Forum di Bali adalah Water for Shared Prosperity (Air untuk Kesejahteraan Bersama). Penunjukan Indonesia tentu bukan tanpa alasan, karena Indonesia memegang peran strategis sebagai paru- paru dunia yang sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan fungsi air di planet Bumi. WWF Bali telah menghasilkan beberapa kesepakatan, diantaranya adalah bagaimana mengatasi krisis air global.

Kebijakan global atau kebijakan dalam tataran luas seperti ini pastinya sudah sering kita baca atau kita dengar. Kebijakan seperti ini akan sulit terwujud tanpa aksi nyata, terutama di level grassroots. Semua pihak, termasuk kita, dituntut untuk menjadi aktor dalam menjaga fungsi air berkelanjutan.

Terkait dengan hal tersebut, pesan mitigasi ini perlu disuarakan dengan lebih massif oleh siapapun, dimanapun, dan dengan media apapun. Masing- masing memiliki peran dan tanggung jawab termasuk untuk menjadikan pesan mitigasi air sebagai pesan berantai yang bisa menyentuh siapa saja. Dalam pengamatan orang awam, peran seniman bisa saja dilihat hanya berfokus menghasilkan karya seni. Tapi tahukah kita bahwa media seni yang dibuat oleh para seniman juga bisa menjadi media untuk mengkampanyekan pesan- pesan tertentu dengan tujuan adanya sebuah perubahan yang diinginkan?

Bangsal Menggawe 2024 ini adalah momentum yang baik untuk kita sama- sama menggaungkan pentingnya mitigasi yang terkait air. Tentu, seniman- seniman yang terlibat memiliki caranya sendiri dalam menyampaikan ide, gagasan, kritik, ataupun pesan yang ingin mereka sampaikan kepada penikmat seni ataupun khalayak umum. Dengan mengambil lokasi kegiatan di Lombok Utara, maka pusat pembelajaran dari project ini adalah Kabupaten Lombok Utara.

Jika kita menggali lebih jauh, baik dari pengalaman, cerita- cerita rakyat, ataupun tulisan- tulisan, maka Lombok Utara sangat kaya di tema ini, baik dari sudut pandang konstruktif maupun destruktif. Dalam konteks konstruktif, Lombok Utara sangat kaya dengan praktek baik yang menunjukkan awareness terhadap keberlangsungan fungsi hutan. Coba kita tengok, bagaimana komitmen Masyarakat adat di sebagian wilayah Lombok Utara dalam menjaga hutan yang mereka kelola secara turun temurun. Bahkan penulis menganggap praktek yang mereka lakukan jauh lebih progressif dari apa yang dikembangkan oleh Masyarakat modern saat ini. Di Bayan misalnya, masih ada hutan adat yang masih terjaga kelestariannya sampai hari ini berkat awig- awig yang mereka pertahankan, baik hutan adat di pesisir maupun hutan adat di bagian hulu. Ketika Masyarakat modern hanya berfokus pada urusan- urusan normatif, semisal dengan penanaman pohon “yang penting tanam”, penjagaan mereka sudah pada level kepatuhan pada local wisdom.

Di dalam ilmu kebencanaan, praktek- praktek baik (good practices) seperti ini sangat perlu untuk diangkat sebagai pembelajaran sehingga praktek baik tersebut bisa dimodifikasi, diadopsi, ataupun direplikasi di tempat- tempat lain. Disinilah peran seniman untuk bisa memperluas pesan mitigasi yang ingin disampaikan. Seniman juga pastinya memiliki idealisme mereka dalam menyampaikan apa yang mereka temukan selama obeservasi. Oleh karenanya, pendekatan destruktif juga sangat diperlukan untuk membuka benang merah yang menjadi permasalahan air selama ini.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, Kabupaten Lombok Utara telah dilanda oleh bencana hidrometeorologis yang cukup parah, baik dalam konteks surplus air maupun sebaliknya. Banjir bandang telah menunjukkan trend yang makin meninggi, baik dari segi intensitas, exposure, maupun dampak yang diakibatkan. Fenomena ini bisa kita saksikan utamanya di wilayah Kecamatan Pemenang, dimana beberapa sungai utama menjadi langganan banjir bandang. Jika kita merunut masalahnya, mungkin sebagian dari kita akan sepakat bahwa banjir bandang ini dipicu oleh fenomena La Nina atau dalam konteks yang lebih luas diakibatkan oleh climate change (perubahan iklim). Tapi, climate change tidak akan ujug- ujug terjadi tanpa faktor- faktor lain yang ikut memperparah. Climate change adalah kondisi komulatif yang faktor utamanya diakibatkan oleh kerusakan- kerusakan di muka bumi. Peningkatan climate change selama ini tidak terlepas dari bagaimana prilaku manusia terhadap kawasan hutan di sekitarnya.

Tidak hanya banjir bandang, kondisi kekeringan di Kabupaten Lombok Utara malah menunjukkan trend yang sama. Beberapa wilayah yang sebelumnya masih aman dengan kebutuhan airnya, saat ini justru terpapar oleh kekeringan. Dan beberapa wilayah tersebut bahkan berjarak tidak begitu jauh dari kawasan hutan.

Ini menjadi tantangan bagi para seniman selama melakukan observasi untuk menyimpulkan fenomena yang ingin digambarkan dalam karya seni mereka. Kita bisa menikmati hasil karya seniman sebagai karya seni, tapi jangan lupa untuk memaknainya sebagai sebuah pesan untuk kehidupan yang lebih baik di masa- masa mendatang.

Penulis:

Ahmad IjtihadAuthor posts

Avatar for Ahmad Ijtihad

Ahmad Ijtihad, lahir 5 Desember 1994. salah satu partisipan pasirputih yang aktif sejak 2016. lulusan Uin Mataram Jurusan Komunikasi. ia bertugas sebagai penanggung Jawab Lokakarya Berajahaksara Yayasan Pasirputih

Comments are disabled.