Mengedepankan perspektif ‘warga’ dalam tulisan ini, diposisikan sebagai alat bantu untuk melihat ‘arsip’ dalam bentuk, motivasi dan relasi yang berbeda, dari ‘arsip’ yang selama ini kita ketahui melalui lembaga-lembaga negara. Yang kedua, tentu saja, upaya ini menjadi respon dan kritik atas bagaimana arsip serta upaya pengarsipan bekerja di sekitar kita, baik yang dilaksanakan oleh lembaga negara, atau warga itu sendiri. Dua analisis yang akan dikedepankan ini diajukan sebagai telaah objektif atas simpang-siurnya pelbagai dinamika kearsipan kontemporer, khususnya di Lombok Utara. Yang terakhir, tulisan ini akan mencoba menguraikan gagasan baledata sebagai inisiatif warga dalam mengelola arsip itu sendiri.
***
DEKADE YANG KOSONG
Masih terngiang di telinga saya, cerita dari Niniq Datu Artadi, bagaimana Asisten Kontrolir Van West Lombok mengambil paksa catatan, piagam, dan berbagai benda lainnya milik Kedatuan Sokong Kembang Dangar, pada tahun 1946. Niniq Datu Artadi sedikit berkaca, menceritakan bagaimana orang tua pada masa itu tidak bisa melawan, saat moncong senapan laras Panjang diarahkan ke kepala mereka[1]. Di lain kesempatan, di bawah rintikan hujan di berugak Pasirputih, Datu Danu Winata menceritakan bahwa salah seorang tetua saat itu hendak keluar melawan dengan sebilah keris. Namun oleh keluarga dan warga, beliau dilarang untuk melawan. Sebab apa daya? Tak sampai ujung keris menusuk kulit para perampas tersebut, kepala mungkin sudah tertembus peluru. Bagi Niniq Datu Artadi para perampas tersebut tentu saja bertanggungjawab atas ‘kebutaan’ atas sejarah generasi saat ini, khususnya di Lombok Utara.
Selanjutnya, tahun 60-an menjadi tahun getir bagi hampir seluruh komunitas adat di Lombok Utara. Dinamika politik dan ideologi di Indonesia kala itu, memberikan dampak yang signifikan bagi kehidupan masyarakat adat di Lombok Utara. Adat-istiadat yang menubuh tiba-tiba saja tertuduh menjadi musuh. Mereka yang mengenakan pakaian adat seperti bongot(ikat kepala) atau yang mencota (mengenakan kain) dituduh menganut paham komunis. Demikian juga mereka yang melaksakan ritual adat atau aktivitas yang ‘berbau’ adat lainnya, maka akan segera dilaporkan ke pihak berwenang, meski dengan tuduhan yang tidak jelas. Kondisi ini melahirkan ketakutan bagi masyarakat adat, khususnya di Lombok Utara, untuk melanjutkan aktivitas kebudayaan mereka. Aparat negara mulai dari Hansip (Pertahanan Sipil), ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), Polisi dan Pegawai Negeri memiliki kesan menakutkan dan menyeramkan. “Jika Hansip sedang berpatroli, tak ada satupun orang yang berani keluar. Semua orang diam di dalam rumah sambil gemetar,” tutur Datu Artadi.
Ninik Raden Suta Gede, salah seorang tokoh budayawan Lombok Utara, menceritakan kepada saya, bagaimana beliau mempelajari aksara sanskerta secara sembunyi-sembunyi agar bisa membaca takepan-takepan lontar. Di lain kesempatan, Raden Prawangsa Jayaningrat menyampaikan bahwa Ninik Raden Suta Gede dengan sengaja mengajak Sang Guru untuk berlayar mencari ikan. Berlayar mencari ikan hanyalah alasan saja. Tujuan utamanya adalah untuk belajar membaca takepan lontar tersebut. Sang Guru tidak lain adalah Datu Artadi. Datu Artadi sendiri, suatu ketika sedang melakukan ziarah ke makam leluhur. Ziarah ini semacam menjadi tradisi bagi beliau. Saat sedang berziarah itulah beliau dilaporkan dan akhirnya ditangkap oleh Hansip, lalu diserahkan ke pihak berwajib. Pihak berwajib sendiri bingung, pasal apa yang harus ia gunakan untuk memenjarakan Datu Artadi. Dalam kebingungan itulah beliau menduga-duga apa yang sebenarnya terjadi. Apakah benar negara membelenggu aktivitas adat-istiadat masyarakat, atau ada kepentingan kelompok dan golongan tertentu yang ingin menghancurkan adat-istiadat itu? Jawabannya sampai saat ini masih belum ditemukan.
Agak miris memang, sebab, meskipun hak masyarakat adat telah diatur dalam batang tubuh Undang-undang 1945 pasca amandemen yaitu Pasal 18B ayat (2) tentang tata pemerintahan, Pasal 28I ayat (3) tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) tentang Kebudayaan[2], kebebasan melaksanakan adat-istiadat di Lombok Utara, menurut pengakuan Ninik Raden Suta Gede, baru dirasakan pada awal 1990-an. Dengan demikian, Dua periodisasi tersebut ternyata menjadi alasan kuat kekosongan aktivitas kebudayaan di Lombok Utara. Kekosongan inilah yang menyebabkan hampir empat generasi mengalami masa ‘kebutaan’ terhadap sejarah dan kebudayaan Lombok Utara. Kekosongan aktivitas kebudayaan, dalam konteks masyarakat Lombok Utara adalah berarti kekosongan laku pengarsipan. Kenapa demikian?
ARSIP DALAM PANDANGAN WARGA
Sebelum terlalu jauh, ada baiknya kita memperjelas apa itu arsip. Memperjelas arsip secara definitif dirasa penting untuk memahami berbagai istilah yang memiliki hubungan dengan kata ini seperti mencatat, mengelompokkan, menyimpan, memelihara dan lain sebagainya. Dari berbagai definisi arsip, saya ingin mengajukan dua upaya pemberian makna tentang arsip. Pertama adalah yang dikemukakan oleh Mirmani (2011:10) bahwa arsip adalah informasi yang terekam, sementara yang kedua adalah Effendhie (2019:1) menjelaskan bahwa arsip adalah repository memori yang dapat memberikan bukti terpercaya untuk mengetahui dan menyelidiki masa lalu.
Kedua definisi yang cukup umum di atas, sengaja dipilih untuk mengeluarkan arsip dari definisi yang biasa digunakan oleh lembaga-lembaga tertentu, yang kerap menyempitkan makna arsip menjadi hanya dokumen tertulis atau surat menyurat. Di satu sisi, definisi ini memberi ruang untuk mengkaji bentuk lain dari arsip. Kedua pengertian tersebut, senada dengan apa yang disampaikan Ricks et al. (1992:3) bahwa arsip adalah informasi dalam bentuk rekaman, tanpa memandang sarana atau ciri khasnya, yang dibuat atau diterima oleh suatu organisasi dan yang berguna bagi kegiatan organisasi tersebut.
Merujuk dari definisi di atas, kita bisa menarik satu kesimpulan bahwa segala kegiatan mencatat atau merekam informasi-dalam bentuk apapun- yang dilakukan oleh masyarakat adalah bagian dari kegiatan mengarsip-meski kata mengarsip belum/jarang digunakan oleh masyarakat. Dengan demikian, segala upaya yang dilakukan oleh masyarakat Lombok Utara dalam rangka membekukan informasi melalui sesajen, ritual, arsitektur, simbol, seni tradisi, aksara lontar, dan bahkan cerita rakyat yang disimpan dalam memori dan disebarkan melalui tutur atau lisan adalah bentuk pengarsipan itu sendiri. Tentu saja sampai tahap ini, kita akan membebaskan apakah bentuk perekaman tradisional itu valid atau tidak. Karena tahap validasi tersebut tentu saja memiliki ruang diskusi tersendiri.
Dengan demikian, kembali ke pernyataan saya sebelumnya, bahwa kekosongan aktivitas melaksanakan tradisi dan adat-istiadat akibat perampasan peninggalan leluhur dan dinamika politik 1960-an, berarti kekosongan masa pengarsipan di Lombok Utara, adalah tidak keliru. Sebab, dalam masyarakat tradisi berbagai pengetahuan dibekukan (direkam/dicatat) atau disimpan dalam varian medium yang cukup beragam.
Memori yang terletak di dalam otak manusia memiliki kemampuan untuk mengkode, menyimpan, mempertahankan dan mengingat informasi atau pengalaman masa lalu. Memori atau ingatan ini menjadi medium yang paling kentara dalam penyimpanan informasi.
Model inilah yang paling banyak ditemukan dalam dalam kehidupan masyarakat Lombok Utara, di mana cerita-cerita, ajaran leluhur, ajaran agama dan berbagai informasi lainnya disimpan dalam ingatan, dan disampaikan ulang dalam bentuk bahasa lisan. Itulah kenapa masyarakat tradisi memiliki tradisi lisan yang cukup kaya seperti kidung, lelakaq (semacam wejangan dalam bentuk pantun), waran (cerita rakyat), dan lain sebagainya.
Akan tetapi terkait dengan memori ini, Effendhie (2019:14) menjelaskan bahwa tidak ada memori yang dapat melestarikan masa lalu dengan utuh. Oleh karena itu, memori selalu terikat dan tarik menarik antara yang dimiliki individu dengan memori yang dimiliki secara kolektif. Namun, keduanya adalah bersifat rapuh, sebab bagaimanapun ‘ingatan’ manusia memiliki keterbatasan; mudah diubah dan dibentuk. Oleh karena itu, manusia telah menciptakan pengganti yang dapat menyimpan dan menyediakan memori ke bentuk yang tidak dapat berubah atau berubah dalam waktu yang lama. Artefak, aksara, simbol, arsitektur dan bahkan tata ruang, tata sosial, atau bahkan Effendhie (2019:16) menyebutkan kondisi geografis juga dapat berfungsi memperbaiki memori manusia yang rapuh tersebut.
Maka tidak heran jika ditelaah lebih jauh, berbagai informasi pengetahuan tersimpan dalam berbagai medium di masyarakat Lombok Utara. Bale Beleq misalnya, dalam penelusuran baledata, dapat diidentifikasi sebagai lokasi yang menyimpan berbagai jenis peristiwa penting seperti maulid adat dan ritual lainnya. Demikian juga dengan bangunan Masjid Beleq Bayan dengan segala simbol yang melekat di dalamnya, serta arsitektur Bale Mengina (rumah adat masyarakat Lombok Utara) yang disinyalir digunakan untuk menyimpan relasi sosial (fungsi gender), ajaran agama dan pengetahuan pertanian[3].
Dalam konteks kekinian, Bale Beleq malah berkembang secara fungsi. Kini, Bale Beleq juga dimanfaatkan sebagai tempat menyimpan benda-benda bersejarah peninggalan leluhur seperti keris, lontar, pakaian dan berbagai pusaka lainnya. Bahkan di Desa Genggelang, tepatnya di Dusun Kerta Gangga, Bale Beleq bertransformasi menjadi museum desa. Ruang ini kemudian dimanfaatkan oleh warga untuk mengumpulkan berbagai jenis benda yang tercecer, yang sebelumnya memang menjadi milik Bale Beleq, atau menjadi tempat bagi individu untuk menaruh koleksi pribadinya.
Selanjutnya di masa digital seperti sekarang ini, khususnya di Lombok Utara, medium pencatatan/perekaman malah menjadi semakin banyak dan beragam. Akan tetapi yang menarik dari beragam medium tersebut, baik dari bentuk yang paling susah dicerna sebagai medium mengarsip, sampai yang paling kentara dan atau dari medium yang paling tua sampai yang terbaru, hadir di tengah masyarakat secara bersamaan dan saling melengkapi. Di satu sisi terjadi gesekan antara satu dengan lainnya, di sisi lain hal ini membuka peluang untuk melihat bagaimana masing-masing medium bekerja saat ini.
ARSIP DAN FUNGSINYA
Bagian ini saya mulai dengan sebuah premis, bahwa arsip hanya akan bekerja ketika dia diberikan ruang akses bagi publik. Tujuannya adalah sangat jelas yakni untuk penyebaran informasi dan pengetahuan yang disimpan oleh masing-masing medium perekaman tersebut. Akses itu sendiri bentuknya bisa bermacam-macam, bergantung kepada bagaimana subjek arsip memandang hal tersebut.
Sebagai contoh, arsip yang tersimpan di Bale Beleq yang berupa lontar, kitab-kitab, keris, pakaian dan lain sebagainya itu, hanya bisa diakses di waktu-waktu tertentu saja. Raden Prawangsa Jayaningrat, seorang mangku yang bertanggung jawab mengelola Bale Beleq Sokong Kembang Dangar, menyampaikan bahwa setahun sekali benda-benda yang ada di dalam Bale Beleq dikeluarkan untuk dibersihkan. Benda-benda tersebut juga tidak sembarang dikeluarkan. Harus dilaksanakan ritual tertentu. Ritual mungkin bermaksud sebagai perantara meminta izin kepada leluhur, dan di satu sisi bisa dibaca juga sebagai bentuk penghormatan kepada benda-benda peninggalan tersebut. Dengan demikian, akses publik terhadap benda-benda tersebut hanya terjadi pada waktu ia dikeluarkan dari Bale Beleq.
Berbeda dengan Bale Beleq Sokong Kembang Dangar, Museum Desa Genggelang yang merupakan alih fungsi dari Bale Beleq, memiliki semangat membuka akses publik seluas-luasnya. Kesadaran Mamiq Khalid, pelopor Museum Desa Genggelang, akan kurangnya pengetahuan publik terhadap sejarah, memantiknya untuk tidak lagi melihat benda-benda yang ia kumpulkan sebagai barang yang kaku. Bahkan beliau dengan lugas menyampaikan keinginannya agar berbagai kalangan datang dan belajar tentang pengetahuan yang terkandung dalam benda-benda koleksi Museum Desa Genggelang.
Dua model sudut pandang warga dalam memandang benda-benda peninggalan leluhur di atas adalah serupa dengan cara memandang medium lontar. Fakta tentang sedikitnya orang yang mampu membaca lontar[4] membuat Ninik Raden Suta Gede mengembangkan dan mengalihwahanakan medium lontar ke medium yang lain. Ninik Raden Suta Gede sampai saat ini tercatat melakukan melakukan kerja alih bahasa dari bahasa Sanskerta ke Bahasa Indonesia, serta mengubah aksara Sanskerta ke alfabet. Sudah tiga lontar yang beliau alih bahasakan yakni Tapel Adam pada tahun 2018, Serat Menak Kaping I ‘Lukmannahakim pada tahun 2019, dan Serat Menak Kaping II ‘Yunan’ pada tahun 2020. Saat ini beliau sedang mengalih bahasakan Serat Menak Kaping III. Selain itu, beliau juga melakukan perekaman audio berbentuk digital, sebagai usaha mempopulerkan cara baca dan tembang lontar. Dari 10 tembang yang beliau rekam, beberapa tembang telah berhasil dikumpulkan oleh baledata antara lain Durma, Kinanti, Maskumambang, Mijil, Pangkur dan Sinom[5].
Berbeda dengan Raden Suta Gede, I Nengah Karuna mendapati lontar yang ia miliki sebagai warisan leluhur, yang mau tidak mau, akhirnya dijaga dan dirawat serta dibatasi aksesnya terhadap publik. Lontar-lontar bersama beberapa benda lain yang dimiliki oleh I Nengah Karuna, sesekali ia keluarkan untuk dibersihkan, namun tetap membutuhkan ritual-ritual tertentu yang tetap ia laksanakan.
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa arsip-arsip yang berada di tengah-tengah warga memiliki model akses yang berbeda. Akses sangat ditentukan oleh bagaimana subjek arsip memandang arsipnya. Saya tidak mengatakan bahwa setiap subjek wajib membuka kran akses kepada publik. Setiap subjek memiliki hak untuk membuka seluas-luasnya, atau dibuka untuk kalangan terbatas, bahkan hanya untuk diri sendiri. Keputusan setiap subjek adalah patut untuk dihormati. Seperti misalnya bagaimana Denny Armand, salah seorang putra dari pelukis H. Muzahar (Alm), yang tidak berkenan lukisan ayahnya didigitalisasi oleh baledata. Meski baledata memiliki argumentasi yang kuat, bahwa beberapa lukisan almarhum adalah sangat penting untuk membaca karakter sosial dan geografis beberapa lokasi di Lombok Utara, baledata tetap menghormati keputusan yang bersangkutan untuk sementara waktu menutup akses publik terhadap karya-karya almarhum ayahnya.
Sementara itu, untuk konteks hari ini, dengan perkembangan teknologi digital dan tersedianya berbagai platform media sosial, kita tengah melihat bagaimana terjadi distorsi antara apa yang dimaksud dengan ruang private dan ruang publik itu sendiri. Oleh karena itu, sangat menarik untuk melihat sudut pandang baledata, sebagai sebuah inisiatif, yang berupaya melakukan kerja-kerja pengarsipan dengan memanfaatkan media digital.
BALEDATA
Baledata merupakan akumulasi dari kerja pendokumentasian berbagai aspek kehidupan masyarakat yang sudah dimulai Pasirputih sejak 2010. Pasirputih membayangkan adanya pusat data yang dikelola oleh warga, yang-jika tidak secara keseluruhan, paling tidak sebagian-bisa mengakomodir kebutuhan riset, penulisan, pembacaan, pewacanaan dan geliat intelektual di Lombok Utara. Dalam berbagai kesempatan, Pasirputih sering sekali menyinggung bagaimana pentingnya arsip bagi setiap warga, dan terutama bagi sebuah kabupaten baru seperti Lombok Utara yang kini sedang dalam tahap membangun. Arsip adalah cermin diri. Arsip membantu memahami masa lalu, serta membantu munculnya langkah antisipatif dan inovatif. Seperti sering diungkapkan oleh banyak orang, arsip memiliki peran vital untuk merancang program, membuat kebijakan, atau intinya untuk membangun masa depan yang lebih baik.
Selama 11 tahun usia Pasirputih saat ini, tidak ada satupun tokoh masyarakat, tokoh budaya, seniman, akademisi yang pernah dijumpai oleh Pasirputih, yang tidak setuju tentang pentingnya arsip di Lombok Utara. Apalagi jika bercermin dari kondisi saat ini di mana generasi muda Lombok Utara bisa dikatakan ‘buta’ terhadap sejarah dan kebudayaan Lombok Utara. Terlebih lagi jika melihat belum adanya kata sepakat terkait pengetahuan dasar tentang ritual, adat-istiadat, seni dan berbagai aspek kebudayaan lainnya.
Jika di depan saya telah menuliskan tentang dekade kekosongan, sebuah masa kekosongan pengarsipan, maka baledata mengambil semangat ‘sejarah itu adalah hari ini’. Hari ini, tak bisa lagi berpangku tangan melihat realitas Lombok Utara. Menyerahkan persoalan arsip yang sangat penting ini hanya kepada Lembaga negara. Apalagi telah terbukti bahwa Lembaga negara tidak bisa berbuat banyak. Alex Sihar, Staf Khusus Direktorat Jenderal Kebudayaan, dalam Diskusi Hikayat Pengarsipan pada 10 November 2021 yang lalu telah menyampaikan bahwa dibutuhkan sinergi semua kalangan dalam kerja pengarsipan ini. Maka, kerja pengarsipan tidak menerima kata terlambat. Komunitas sebagai representasi warga pun selayaknya mengambil peran untuk melakukan hal ini. Saya mengamini apa yang disampaikan Otty Widasari, pendiri Forum Lenteng Jakarta dalam diskusi yang sama pada 4 November 2021, bahwa komunitas adalah pengarsip organik. Ketika ia melanjutkan kerja literasi secara bersama-sama, maka ia akan menjadi sebuah gerakan yang mutakhir. Apa yang disampaikan Otty tersebut mengindikasikan pentingnya komunitas sebagai representasi warga, melandaskan program pada pencatatan, pengarsipan dan tentu saja pengkajian arsip tersebut. Kata mutakhir yang digunakan Otty merujuk pada sebuah inovasi dan lompatan, sementara inovasi dan lompatan tidak mungkin terwujud tanpa adanya dilandaskan pada kerja kearsipan.
Maka dengan semangat tersebutlah, melalui baledata, Pasirputih mencoba melanjutkan kerja pendokumentasian kebudayaan Lombok Utara melalui medium digital, melakukan kerja pengumpulan arsip-arsip yang tercecer di berbagai lokus, melakukan kajian-kajian tentang bagaimana arsip dan geliat pengarsipan warga, serta tentu saja membuka ruang akses atas dokumen-dokumen tersebut melalui strategi kekinian. Yang terakhir, melalui baledata, Pasirputih berharap bisa melakukan kerja aktivasi arsip ke dalam berbagai program yang melibatkan warga. Akses yang coba ditawarkan baledata setidaknya menjadi kritik terhadap pengetahuan yang selama ini didominasi oleh kalangan tertentu. Dengan cara inilah demokratisasi pengetahuan, kesetaraan pengetahuan warga bisa dicapai.
KESIMPULAN
Lombok Utara pernah berada dalam situasi, yang dalam tulisan ini disebut sebagai situasi kekosongan kegiatan kearsipan. Ruang kosong ini, secara tidak langsung berdampak pada kegamangan generasi saat ini dalam melihat sejarah dan kebudayaan Lombok Utara. Sementara itu, dari zaman ke zaman, arsip dalam kaca mata warga Lombok Utara terdiri dari beragam medium yang memungkinkan-tergantung konteks saat itu-untuk merekam dan menyimpan informasi atau pengetahuan. Akan tetapi berbagai cara pandang dan fungsi arsip di masa ini, melahirkan peluang lain dari kerja kearsipan itu sendiri. Oleh karena itu, baledata, sebagai sebuah gagasan kerja kearsipan yang diinisiasi Pasirputih mencoba melakukan pembacaan dan menawarkan semangat baru demi persebaran pengetahuan yang merata.
Baca Juga: REPOSITORI BALEDATA: ARSIP DALAM PARADIGMA GENERASI MUDA
REFERENSI
Jurnal:
Arizona, Yance 2013, Masyarakat Adat Dalam Kontestasi Pembaruan Hukum, Makalah Seminar Pemberdayaan Sosial Komunitas Adat, hal: 8-12, Jakarta: Bappenas.
Effendhie, Machmoed 2019, Arsip, Memori, dan Warisan Budaya, Jurnal Publikasi dan Pameran Arsip
Katalogus baledata 2021, See: https://www.instagram.com/baledata.id/
Mirmani, Anon 2011, Pengantar Kearsipan, Jakarta: Universitas Terbuka.
Ricks, et al. 1992, Information and Image Management: a records systems approach, Third Edition, Cincinnati: South-Western Publishing.
Film:
Hikayat Dayan Gunung 2018, Muhammad Sibawaihi, Yayasan Pasirputih dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, lihat: https://www.youtube.com/watch?v=gp5yMuBS9hA
[1] Keterangan ini bisa dilihat di film Hikayat Dayan Gunung, Sutradara Muhammad Sibawaihi.
[2] Arizona, Yance 2013, Masyarakat Adat Dalam Kontestasi Pembaruan Hukum, Makalah Seminar Pemberdayaan Sosial Komunitas Adat, hal: 8-12, Jakarta: Bappenas.
[3] Terkait dengan fungsi Bale Mengina kami dapatkan selama proses riset di Kampung Tradisional Segenter, Kecamatan Bayan.
[4] Membaca dalam konteks ini tidak hanya merujuk kemampuan membaca aksara sanskerta, namun juga merujuk kepada kemampuan menerjemahkan dengan baik, menembang, dan memahami cengkok cara baca Lombok Utara yang memang berbeda dari cara baca di wilayah lain di Lombok.
[5] Katalogus baledata, 2021.