Skip to main content

Sabtu, 16 April 2022 sekitar pukul 14.00 WITA seorang kawan memposting tulisan di laman Facebook mengenai relief Candi Borobudur. Postingan tersebut menjelaskan bahwa terdapat 226 relief pada dinding Borobudur yang berhubungan dengan musik. Instrumen Gambus diyakini menjadi salah satu yang terukir pada dinding Candi Borobudur. Hal menarik pada postingan tersebut disebutkan bahwasannya Gambus yang terukir pada dinding Candi Borobudur datang dari Suku Sasak Lombok. Benarkah?

Di hari yang sama, sore menjelang waktu berbuka puasa saya bersama kelompok musik Yoiakustik diundang pentas di kediaman kawan lainnya. Katanya sekaligus launching website mengenai pendataan profil unsur budaya yang terdapat di Nusa Tenggara. Selain Yoiakustik, kelompok Darbuka Lombok turut tampil memainkan musik dimana Gambus menjadi salah satu bagian dalam pementasannya.

“Oh ini dia Gambus yang tadi siang disebut sebagai alat musik dari Lombok oleh postingan di Facebook,” gumam saya.

Tangan saya reflek mengetik kata Gambus melalui mesin pencarian Google di gadget untuk membaca singkat soal menyoal Gambus. Bukan Sasak atau Lombok yang muncul, melainkan “Indahnya alat musik Gambus Khas Riau”.

Saya membacanya sekilas, laman tersebut berkali-kali menyebut bahwa alat musik Gambus berasal dari wilayah Timur Tengah –Semenanjung Arab – yang dibawa ke Nusantara oleh para pedagang.

Pada laman web lainnya, Wikipedia sebagai laman ensiklopedi populer hanya menyebut Sumatera, Kalimantan dan Gorontalo sebagai referensi sejarah keberadaan Gambus. Meskipun hanya berdasar pada dunia internet, realitanya eksistensi Gambus di kalangan masyarakat Sasak Lombok belum sepenuhnya diketahui masyarakat luas di luar Lombok. Ini PR kita bersama.

Pendeknya pengetahuan saya mengenai Gambus menjadikan simpulan-simpulan “dunia” per-Gambus-an menjadi bias. Hingga pada hari Senin, 18 April 2022 seorang karib dari Yayasan Pasir Putih Lombok Utara mengajak saya untuk berdiskusi merespon tulisan lain mengenai eksistensi Gambus di Pemenang Lombok Utara.

Seketika saya mengingat-ingat kembali apa saja yang saya ketahui tentang alat musik Gambus?

Dilihat dari bentuk organologinya alat musik Gambus memiliki kesamaan, serupa dengan alat musik dari beberapa wilayah lain; Oud dari Saudi Arabia, Biwa dari Jepang, Lute dari Inggris, dan Ud dari Turki.

Tentu saja bukan hanya Gambus, hampir seluruh alat musik yang berada di Indonesia selalu memiliki kemiripan-kemiripan dengan alat musik di negara lainnya. Tanda bahwa kebudayaan memang selalu berdifusi luas.

Saya jadi teringat pusat awal mula peradaban kuno muncul yaitu Atlantis. Dalam bukunya Prof. Arysio Nunes dos Santos, Ph.D, yang menguraikan sebuah teori menempatkan secara definitif bahwa Atlantis berada di wilayah Indonesia, Malaysia, Thailand dan Brunei.

Jika teori ini benar, berarti bukanlah sebuah khayalan bahwa seluruh peradaban di dunia dimulai dari Indonesia. Termasuk penyebaran kesenian hingga alat musiknya. Panel-panel sejarah pada Relief Candi Borobudur yang diperkirakan dibangun sekitar tahun 750 masehi adalah salah satu referensi tambahan yang menguatkan keberadaan ragam instrumen musik di Indonesia.

Baca Juga: REPOSITORI BALEDATA: ARSIP DALAM PARADIGMA GENERASI MUDA

Puk Kartanah Dan Regenerasi Gambus Kepada Sang Cucu

dikusi perihal gambus di lombok utara
Yuga Anggana saat merespon tulisan Muhammad Rusli Oka perihal musik tradisional Gambus bersama komunitas Pasirputih Lombok Utara

Hadirnya tulisan Rusli Oka pada laman berajahaksara.org tentang keberadaan musik Gambus di Pemenang semakin menguatkan eksistensi musik Gambus di Pulau Lombok: soal waktu keberadaan hingga perkembangannya kini. Dari tulisan itulah saya menjadi tahu Puk Kartanah – penggiat musik Gambus – sudah memainkan musik do’a dan shalawat tersebut sejak tahun 1945 di Lombok Utara.

Pada tulisan Rusli Oka fokus ketertarikan saya adalah keberhasilan Puk Kartanah dalam meregenerasi musik Gambus. Metode yang digunakan oleh Puk Kartanah dalam regenerasi seni tradisi adalah cara yang konvensional yang biasa dilakukan secara alamiah oleh seniman lainnya, mengenalkan musik tradisi pada keturunan, anak, cucu.

Namun di wilayah lain kini metode tersebut tidak berjalan efektif. Jangankan terlibat, berminat pun tidak. Banyak faktor yang mempengaruhinya, globalisasi masih bisa kita katakan menjadi tersangka utama yang meracuni pikiran generasi muda sehingga menganggap seni-seni tradisi seperti Gambus adalah kuno dan usang.

Puk Kartanah dengan strateginya mampu menghalau anggapan itu di pikiran cucunya. Rasa penasaran saya turut bangkit untuk mengetahui lebih jauh apa motivasi sang cucu sehingga tertarik untuk melanjutkan permainan musik Gambus?

Dari kajian referensi kecil kecilan, bukan standar ilmiah – Musik Gambus di Indonesia tidak berangkat dari fungsi musik ritual yang biasanya bernilai sakral. Maka musik tradisi (turun temurun) tersebut di Lombok Utara menjadi lebih fleksibel untuk dikembangkan sedemikian rupa. Maka tak heran jika pada sebuah pertemuan Rizal (pemusik Gambus muda ‘kekinian’) berinovasi mengkolaborasikan Gambus dengan musik Reggae dan Dangdut.

Dugaan sementara apresiasi masyarakat mengenai hasil inovasi  musik yang dilakukan Rizal dan kawanannya menjadi salah satu motivasi mereka dalam mempertahankan Gambus kolaboratifnya.

Kekayaan Intelektual Komunal dan Keterkaitannya dengan Air

Diskusi Gambus di Lombok Utara oleh Komunitas Pasirputih dengan menghadirkan akademisi dan praktisi
Diskusi Gambus di Lombok Utara oleh Komunitas Pasirputih dengan menghadirkan akademisi dan praktisi

Penelitian ilmiah mengenai Gambus Sasak juga menjadi hal yang perlu dilakukan. Selain sebagai referensi yang kuat, hasil penelitian ilmiah mengenai ke-khas-an Gambus Sasak nantinya dapat menjadi bahan pendukung pencatatan Gambus Sasak sebagai Warisan Budaya Tak Benda, hingga menjadi pertimbangan Gambus Sasak diakui UNESCO.

Namun langkah sederhana yang bisa kita lakukan adalah mendokumentasikan kekhasan bentuk sajian Gambus Sasak baik secara audio maupun visual.

Langkah lainnya tentu mendaftarkannya sebagai Kekayaan Intelektual Komunal, hingga membentuk wadah atau lembaga untuk pengembangan lanjutan. Untuk sementara ini sependek pengetahuan saya di Lombok sudah terbentuk Ikatan Keluarga Pementing Gambus Sasak (IKPGS), namun program serta visi misi IKPGS sendiri saya belum mengetahuinya.

Hal lain dan terakhir yang muncul di benak saya adalah teori mengenai hubungan musik dengan air. Seorang peneliti Jepang bernama Masaru Emoto mengklaim bahwa air itu hidup dan banyak dipengaruhi oleh bebunyian.

Jika bebunyian dimainkan dengan niat atau energi baik maka sempura bentuk Kristal pada air, pun sebaliknya jika bebunyian dimainkan dengan niat atau energi yang tidak baik maka rusaklah bentuk Kristal air. Sedangkan 80% unsur yang terdapat pada diri manusia adalah zat cair (air), maka betapa musik begitu berperan besar terhadap diri manusia.

Musik Gambus yang notabene menggaungkan do’a-do’a serta puja puji pada Tuhan dan Nabi menjadi salah satu musik yang berkontribusi besar pada energi baik manusia. Maju terus musik Sasak!.