Skip to main content

Oleh: Mashur Khalid

Muara Putat berlokasi di Dusun Muara Putat, Desa Pemenang Timur, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara. Muara atau estuari ini berbatasan langsung dengan Selat Lombok di sebelah barat, dekat dengan dermaga Bangsal di bagian barat laut sebagai tempat penyeberangan kapal menuju Gili Matra (Meno, Air, dan Trawangan). Sebelah utara berbatasan dengan sungai yang menjadi pembatas antara Muara Putat dan Dusun Cupek, Desa Sigar Penjalin, Kecamatan Tanjung. Sebelah timur berbatasan dengan Dusun Karang Montong, sementara sebelah selatan berbatasan dengan Dusun Karang Petak.

Dalam perhelatan Festival Bangsal Menggawe tahun ini, Muara Putat merupakan salah satu lokasi residensi seniman. Oleh karena itu, dalam catatan harian ini, penulis hendak merekam perjalanan menuju Muara Putat dan pertemuan-pertemuan bersama warga di sekitar pemukiman dalam rangka menyukseskan perhelatan Bangsal Menggawe tahun 2024 yang mengusung tema ‘Montase Air’. Selain sebagai upaya mengarsip, mungkin saja akan berguna bagi khalayak yang hendak ingin tahu seperti apa kondisi kekinian di Muara Putat.  

***

Hari itu, Selasa 11 Mei 2024 adalah hari yang cukup cerah. Cuaca terasa sejuk dan udara di langit Pemenang terasa segar masuk ke pernapasan. Selepas rapat persiapan Festival Bangsal Menggawe, saya dan Muhammad Rusli berkunjung ke Muara Putat. Sebelum berangkat ke tempat tersebut, tentu saja kami mendatangi kepala kewilayahan Muara Putat untuk meminta izin sekaligus memberi tahu bahwa kami akan berkegiatan di sekitar lokasi Muara Putat. Sebelumnya beliau memang sudah saya kenal. Sekitar pukul 15.30 wita, kami bertemu di kediamannya yang tak jauh dari jalan utama, jalan raya Pemenang-Tanjung. Sesampai di sana, saya memperkenalkan sahabat saya dan mengutarakan maksud serta tujuan kami berkunjung, yakni negosiasi lokasi residensi seniman dalam rangka Festival Bangsal Menggawe tahun ini.

Bersama Pak Kadus Muara Putat

Mendengar Bangsal Menggawe akan dilaksanakan tahun ini, nampaknya ia cukup antusias, karena memang perhelatan Bangsal Menggawe sebelumnya, Muara Putat menjadi salah satu lokasi acara. Meskipun demikian, Pak Kadus mencoba menguliti ihwal apa gerangan yang memantik dari Muara Putat sehingga tahun ini dijadikan sasaran lokasi residensi seniman. Tentu saja, pertanyaan Pak Kadus sigap dijawab oleh teman saya (Muhammad Rusli) bahwa Muara Putat merupakan salah satu wilayah pesisir yang cukup memicu kegelisahan karena saban tahun beberapa area di dekat pemukiman warga mengalami banjir rob akibat pasang surut air laut. Selain itu, saya juga mencoba menanggapi bahwa isu yang hendak kami respons dalam perhelatan Bangsal Menggawe kali ini adalah isu tentang air. Karenanya, menjadikan Muara Putat sebagai salah satu lokasi residensi menjadi cukup penting karena berada di wilayah pesisir.

Nampaknya, Pak Kadus cukup memahami apa yang kami sampaikan, lantas mengarahkan kami untuk segera berkunjung ke pemukiman warga yang berada dekat dengan pesisir pantai dan menyarankan kami menemui Pak Jalal salah seorang tokoh masyarakat disana. Tanpa basa-basi, kami mengucapkan terima kasih atas sambutannya yang hangat lantas pamit undur diri.

Hamparan sawah di dusun Muara Putat

Rupanya, pemukiman warga yang akan kami kunjungi tersebut tak begitu jauh dari kediaman Pak Kepala Dusun. Sekitar seratus meter, hanya saja menuju lokasi pemukiman, harus menyeberangi jalan utama. Kedatangan saya waktu itu adalah kali yang pertama ke Muara Putat. Berbeda dengan Muhammad Rusli yang sudah sering datang kesana. Sepanjang perjalanan menuju ke pemukiman warga, pandangan saya tertuju pada luasnya bentangan sawah, padi yang menghijau, serta pepohonan yang menjulang tinggi. Namun, tak lama pemandangan alam yang indah itu saya saksikan, seketika perasaan saya berubah tak karuan, karena menyaksikan ratusan meter area sawah milik warga terkena banjir rob. Hal miris lainnya adalah beberapa rumah masih nampak berdiri kokoh di atas area sawah yang terkena banjir rob tersebut, entah masih ditempati oleh pemiliknya atau tidak, kami belum tahu. 

 

Pak Jalal sedang memperbaiki jaring

Sekitar pukul 16.15 wita, kami bertemu dengan Pak Jalal yang kelihatannya sedang sibuk memperbaiki jaring. Tentu saja tak mengherankan bagi saya, mungkin juga kawan-kawan, karena masyarakat pesisir, dimanapun itu, tentu saja harus akrab dengan peralatan-peralatan nelayan seperti jaring, pancing, panah, perahu dan peralatan lainnya. Kami memperkenalkan diri serta mengutarakan maksud dan tujuan kami datang berkunjung.

Pak Jalal Selaku RT Muara Putat

Sama halnya dengan Pak Kadus Muara Putat, Pak Jalal yang ternyata dipercaya sebagai RT di tempat itu sangat antusias dengan adanya program Bangsal Menggawe. Bahkan, bagi Pak Jalal, kegiatan-kegiatan kesenian di muara Putat, wilayah yang menjadi tanggung jawabnya saat ini, sudah tidak asing lagi. Karena beberapa tahun lalu, teman-teman Pasirputih menggelar nobar film di sini, ungkap Pak Jalal.

Mendengar cerita Pak Jalal, tentu saja kami tambah bersemangat, lantas mengutarakan maksud kami yang lain, yakni hendak menawarkan kepada Pak Jalal, apakah nantinya ia bersedia rumahnya ditempati oleh seniman residensi atau mungkin saja ia menawarkan alternatif lainnya. Selain sosok yang akrab, nampaknya Pak Jalal juga adalah pribadi yang jujur dan polos. Menanggapi tawaran kami, ia mengaku bahwa rumahnya tak begitu layak untuk ditempati, selain ukurannya relatif kecil yang hanya muat untuk menampung dia, istri dan kedua anaknya, Ia menceritakan bahwa kamar mandi hanya satu, itu pun ada di dalam. Namun demikian, ia memiliki alternatif lain, bahwa jika memang nantinya seniman yang datang akan berdiam di sini, rumah itu bisa ditempati—tangannya sembari menunjuk rumah yang tak jauh dari berugaq tempat kami duduk. “Akan tetapi, kondisinya sederhana seperti itu”, ia melanjutkan.

Perkampungan dusun Muara Putata, Hilir Tiu Roton

Tentu saja keterbukaan Pak Jalal atas tawaran yang kami ajukan sangat kami hormati. Selepas tujuan awal dari kedatangan kami haturkan serta mendengar antusias dan respons Pak Jalal yang sangat baik, tema obrolan kami berubah tak karuan. Sembari ditemani kopi hangat, Pak Jalal bercerita banyak tentang kondisi warga ketika pemilu beberapa bulan kemarin, Pak Jalal juga bercerita tentang etika sopan santun kepada orang tua. Kedengarannya, selain dipercaya sebagai RT, Pak Jalal sosok yang dituakan oleh warga di tempatnya. Selain itu juga, beberapa tahun lalu, ia sempat bekerja di dinas pertanian Lombok Utara.

Nampaknya, hari sudah mulai gelap. Mentari di upuk barat sudah mulai menguning pertanda malam hendak tiba. Waktu menunjukkan pukul 18.00 wita, kami pamit undur diri serta mengabarkan bahwa nantinya kami akan kembali datang ke kediaman Pak Jalal. Tentu saja beliau sangat senang serta menunggu kedatangan kami lagi.

***

Seminggu setelah pertemuan pertama, yakni 17 Mei 2024, saya dan dua teman saya (Rudi dan Iwan), Kembali berkunjung ke kediaman Pak Jalal. Kedatangan kami yang kedua ini untuk memastikan kepada beliau bahwa rumah yang ia tawarkan sebagai tempat tinggal seniman selama residensi kami sepakati. Termasuk juga negosiasi terkait bagaimana skema konsumsi seniman nantinya, apakah swadaya dari warga atau dengan adanya subsidi dari Panitia Bangsal Menggawe.

Lanskap Pelabuhan Bangsal dari dusun Muara Putat

Sekitar pukul 14.30 wita, kami berangkat dari sekretariat Pasirputih yang jaraknya tak begitu jauh, membutuhkan waktu kurang lebih sekitar 15 menit. Sayangnya, Pak Jalal sedang tidak ada di rumahnya waktu itu. Tapi untungnya, tak lama kami menunggu, istrinya keluar dan mengabarkan bahwa Pak Jalal sedang keluar dan sebentar lagi ia akan pulang. Istrinya meminta kami menunggu di berugaq.

Tak lama kami duduk di berugaq, pak Jalal datang dari arah timur, kami pun langsung bersalaman dan menanyakan kabar beliau karena cukup lama tak bertemu. Pak jalal sangat senang kami datang dan meminta kepada istrinya untuk segera membuatkan kopi. Kelihatannya, ajaran orang tua untuk berlaku baik kepada tamu cukup terpatri di tengah keluarga Pak Jalal, sampai-sampai kami yang saat itu bertamu tak dibiarkan menunggu lama dan selalu disambut dengan hangat. Tak berselang lama, dari berugaq yang kami tempati, terlihat langkah istri Pak Jalal menuju ke arah berugaq tempat kami duduk dan membawa beberapa gelas kopi hangat ditangannya.

Rumah yang ditawarkan pak Jalal

Sembari menikmati kopi yang disuguhkan, kami memulai pembicaraan, sekaligus mengabarkan bahwa seniman akan datang ke muara putat pada tanggal 18-19 Mei. Kening Pak Jalal terlihat mengerut, pandangannya mengarah ke bangunan yang berdiri kokoh berada tak jauh dari tempat kami duduk, yakni rumah yang sejak awal ia tawarkan untuk ditempati oleh seniman selama residensi.

Kekhawatirannya mulai memuncak, lantas mengatakan kepada kami, “laguk kondisi bale tia ngak tia ti, lamun mele, arak kos-kosan kon muara putat, kira-kira kumbek?/ kondisi rumah itu ya seperti itu, kalau mau ada kos-kosan di muara putat, bagaimana kira-kira?”.

Mendengar pernyataan Pak Jalal, saya berusaha untuk meyakinkan beliau dan menjelaskan bahwa seniman yang akan datang tentu saja tidak bertujuan untuk merepotkan kita, lebih-lebih Pak Jalal selaku tuan rumah. Mereka datang ke tempat kita, bertemu warga untuk belajar bersama, dan warga juga bisa belajar bersama mereka, mereka datang tentu saja bukan untuk tujuan pelesir.

Mendengar apa yang saya sampaikan, kelihatannya Pak Jalal berdiam dan mencoba memahami kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut saya. Dengan suara perlahan, ia menyampaikan,

“laguk tamu lek luah daerah poh ni, kira-kira kumbe?/tapi ini tamu dari luar daerah yang akan datang, bagaimana?’.

Kekhawatiran yang dirasakan Pak Jalal tentu saja sering dialami banyak orang, terutama ketika didatangi oleh tamu dari luar. Jangankan tamu yang tak dikenal sama sekali, sanak keluarga yang hendak berkunjung, atau keluarga yang pulang dari merantau saja, rumah harus dipersiapkan sebaik mungkin. Tetapi kembali lagi saya sampaikan ke Pak Jalal, bahwa menjamu seniman tidak seperti menjamu pemerintah, yang jangankan penginapan, tempat rapat saja harus hotel mewah. Seniman punya cara tersendiri untuk hidup, berproses, terlebih hal yang paling sederhana yakni tempat tinggal. Kadang rumah mewah sudah disediakan, tetapi mereka malah tidur di tempat yang lain. Aneh, bukan!

Nampak dalam kondisi rumah tersebut (1)

Terus kumbeq tan nya pada mengan laun ni ?/terus bagaimana cara mereka makan nantinya?”, lanjut  Pak Jalal.

Pertanyaan yang dilontarkan Pak Jalal cukup mengarah kepada tujuan kedatangan kami untuk kali yang kedua itu. Menanggapi pertanyaan Pak Jalal terkait pola konsumsi seniman selama residensi, saya kembali bertanya kepada beliau, “bagaimana jika swadaya warga pak?”.

Pak Jalal malah tertawa ringan, lantas memberitahu kami bahwa jika konsumsi seniman selama tinggal di sini akan ditanggung warga, apalagi rencananya selama sebulan, tentu saja cukup berat. Tetapi, jika mau dan mungkin bisa jadi pertimbangan, saat ini istri saya usaha catering, persoalan harga nanti bisa saja diatur. Mendengar jawaban Pak Jalal kami menganggukkan kepala, dan akan mempertimbangkan kembali tawaran dari Pak Jalal.

Kelihatannya memang benar, bahwa istri Pak Jalal saat ini sedang bisnis kuliner dan catering dari rumahnya. Jangankan dua orang tamu, setiap bulan istrinya mendapatkan pesanan ratusan kotak snack dan nasi dari dinas sosial untuk dibagikan ke anak yatim piatu dan lansia di Lombok Utara.

Nampak dalam kondisi rumah tersebut (2)

Kembali lagi saya senang dan menaruh hormat atas keterbukaan dan sikap ramah-tamah Pak Jalal dalam merespons tawaran-tawaran yang kami ajukan. Sebelum beranjak undur diri, saya meminta izin kepada Pak Jalal untuk mengecek kondisi bagian dalam rumah yang dimaksudkan oleh Pak Jalal sebelumnya. Bagian dalam memang cukup layak untuk ditempati, meski kondisi lantainya belum terpasang keramik, hanya saja terop, piring, dan beberapa peralatan banjar masih ada di dalam ruangan. Kabarnya rumah itu adalah dijadikan ruangan untuk menampung alat-alat banjar untuk sementara waktu.

Setelah melihat kondisi bagian dalam rumah, saya keluar melihat bagian samping kiri dan kanan bangunan rumah untuk menemukan kamar mandi, namun sayangnya tidak ada. Sebagai panitia penyelanggara, tentu saja kondisi seperti itu harus segera dipikirkan dan menjadi pertimbangan bersama.

Nampak depan rumah yang ditawarkan pak Jalal

Saya kembali ke berugaq dimana kami duduk semula, menyeruput kopi yang cukup nikmat menemani obrolan kami sore itu. Karena tujuan semula telah selesai, kami berpamitan dengan Pak Jalal dan mengabarkan bahwa kondisi rumah yang demikian adanya akan menjadi pertimbangan kami.

***

Singkat cerita, karena berbagai pertimbangan di tingkat panitia terkait kondisi rumah, rumah yang semula ditawarkan Pak Jalal tak jadi ditempati oleh seniman. Namun, Muara Putat sebagai salah satu lokasi residensi seniman tentu saja tak ada perubahan.

***

Hari selasa, 28 Mei 2024, kami datang lagi ke Muara Putat menemui Pak Jalal. Saya datang bersama Rudi salah satu teman seniman yang bertugas menemani seniman residensi di masing-masing lokasi. Selain Rudi, saya juga membersamai Alam Kundam salah satu seniman residensi yang terpilih dalam program Bangsal Menggawe tahun ini.

Alam Kundam, Rudi dan Pak Jalal

Kedatangan kami itu tentu saja bukan bermaksud negosiasi lokasi, tetapi dalam rangka menemukenali lebih dalam medan atau lingkungan yang menjadi fokus lokasi riset seniman. Secara persebaran seniman berdasarkan lokasi residensi, Alam Kundam memang tidak ditempatkan di Muara Putat, tetapi di Dusun Terengan, Desa Pemenang Timur, Kecamatan Pemenang. Kendatipun demikian, tentu saja Alam membutuhkan riset dan observasi di wilayah hilir karena sebelumnya ia fokus observasi di wilayah hulu yakni di Terengan. Di terengan sendiri terdapat mata air yang kemudian dikenal dengan nama Tiu Roton (Kawasan wisata mata air di Dusun Terengan bagian atas) dan aliran air dari sungai Tiu Roton itu mengalir ke sungai pet-pet dan bermuara di pesisir Muara Putat.

Pada saat kami turun meninjau hilir sungai Tiu Roton yakni di Muara Putat, kami menemukan banyak sekali tumbuhan bakau di sekitar muara. Tentu saja tanaman tersebut dilestarikan oleh warga di sekitar pesisir Muara Putat karena manfaatnya yang besar sebagai penahan abrasi.

Tembok pembatas (tanggul) yang rusak akibat banjir rob

Di sela-sela obrolan, saya mencoba mengulik tentang awal mula banjir rob yang terjadi di Muara Putat. Tetapi dari pernyataan Pak Jalal tidak diketahui secara jelas sejak kapan awal mula banjir rob itu terjadi. Menurutnya, di masa-masa awal, banjir rob tidak terlalu parah, area sawah yang terkena dampak hanya sedikit, tidak seperti sekarang. Akan tetapi sejak pelabuhan Bangsal dibangun, pelan-pelan banjir rob semakin melebar hingga ratusan meter sawah warga terdampak. Banjir rob di sekitar Muara Putat juga diperparah lagi oleh sebuah perusahaan yang berada dekat dengan area sawah yang terkena banjir rob yang membangun bronjong di sekitar sungai Muara Putat.

Nampaknya, memang setiap pembangunan harus diperhitungkan secara matang dampak negatif dan postitifnya, terlebih jika berbicara keberlangsungan lingkungan. Jangan sampai karena kepentingan bisnis pariwisata, keberlangsungan lingkungan beserta ekosistemnya justru mendapatkan imbas buruk. Menurut keterangan Pak Jalal, beberapa tahun lalu sudah ada pertambangan yang melirik area pesisir Muara Putat untuk dijadikan sebagai lokasi tambak udang, tetapi karena warga bersatu-padu dan memiliki bayangan terhadap dampak buruknya, warga sepakat menolak dan sampai sekarang, pihak pertambangan tersebut tidak berani datang kembali.

Rumah warga yang terkena banjir rob

Saat ini di area pemukiman pesisir Muara Putat terdapat 42 kepala keluarga yang tinggal di sana. Tentu saja, mayoritas masyarakat memiliki mata pencaharian sebagai nelayan. Tetapi pemuda dan warga yang masih usia produktif, banyak juga yang bekerja di dunia pariwisata seperti staf hotel, di tiga gili. Namun syukurnya—menurut cerita Pak Jalal—meskipun mereka bekerja di dunia pariwisata yang notabene di gili Trawangan—mereka tidak lupa diri, selalu ingat dan pulang saat hari jum’at dan ketika ada kegiatan sosial-masyarakat lainnya. Oleh Pak Jalal, mereka yang sudah berpenghasilan dan mapan bekerja di pariwisata dikenakan iuran atas nama jamaah dengan jumlah yang berbeda, yakni lebih dari mereka yang belum bekerja, malahan saat mendapatkan rizki lebih dari biasanya, dengan inisiatif sendiri, mereka menyumbang ke jamaah, masjid, maupun musala. Iuran yang terkumpul dari berbagai sumber itu, dialokasikan kembali untuk kebutuhan sosial warga setempat, terutama jika ada kepatenan (kematian), seperti untuk membantu biaya pembelian kain kafan, menelung (zikir hari ke tiga), memituq (zikir hari ke tujuh), dan menyiwaq (zikir hari ke sembilan).

Selain itu juga sebagai upaya untuk melindungi ekosistem sungai, di Muara Putat terdapat awiq-awiq yang lagi-lagi diprakarsai oleh Pak Jalal dan warga, dimana setiap orang yang hendak mencari ikan, udang, kepiting, dan lain sebagainya tidak diperkenankan menggunakan potas, setrum, dan jaring. Tetapi jika sekedar memancing tentu saja itu sangat diperbolehkan. Sekali lagi, awiq-awiq yang dibuat itu sebagai upaya untuk menjaga ekosistem air di sungai Muara Putat agar tidak tercemar.

Aktivitas warga Muara Putat sebagai nelayan

Sebagaimana masyarakt pesisir lainnya, di Muara Putat juga memiliki ritual selamatan laut. Ritual itu disebut nyawen. Tradisi ini biasanya diinisiasi oleh kelompok nelayan Muara Putat dan kelompok nelayan yang ada di Dusun Sira. Acara nyawen biasanya dilaksanakan satu kali dalam satu tahun yang pelaksanaannya melibatkan tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, tuan guru, dan warga di sekitar pemukiman, berdoa bersama menghaturkan hajat dan doa agar rizki yang diperoleh dari hasil melaut mendapatkan keberkahan.