Jaffar (2018) dalam bukunya [In] Toleransi: Memahami Kebencian dan Kekerasan Atas Nama Agama, menyebut bahwa: “Indonesia adalah sebuah negara yang serba majemuk. Majemuk suku bangsanya, bahasa dan budaya, juga agamanya”. Kemajemukan yang dikatakan peneliti Wahid Institut itu sangat jelas dapat disaksikan dalam kehidupan masyarakat Indonesia di berbagai daerah, termasuk di Lombok Utara, sebuah kabupaten yang berada di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Lombok Utara saat ini sudah berusia 14 tahun sejak berpisah dari kabupaten Lombok Barat pada tahun 2008. Kabupaten ini memiliki lima kecamatan, yakni Pemenang sebagai kecamatan yang berada diujung barat, kecamatan Tanjung sebagai pusat kota, kecamatan Gangga, Kayangan, dan kecamatan Bayan di ujung timur. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Lombok Utara tahun 2021, Kabupaten yang secara resmi dibentuk berlandaskan undang-undang nomor 26 tahun 2008 ini memiliki penduduk lebih kurang 251.451 jiwa. Sementara itu, dari sisi kepercayaan, penduduk Lombok Utara menganut tiga agama yaitu Islam, Hindu, dan Budha. Sedangkan dari sisi bahasa, tradisi dan budaya masyarakatnya, setiap kampung memiliki perbedaan dan keunikan masing-masing. Dari segi bahasa misalnya, masyarakat di setiap kecamatan bahkan desa di daerah ini memiliki perbedaan seperti dialek dan logat.
Sebagaimana yang disinggung sejak awal, Indonesia adalah negara yang majemuk. Kemajemukan yang ada tampak menjadi karakteristik unik bagi negara ini. Bahkan, jelas sekali tertulis pada lambang negara, yakni Garuda Pancasila sebuah semboyan yang berarti:
“Berbeda-beda tetapi tetap satu” (Bhinneka Tunggal Ika). Karenanya, keragaman dan perbedaan merupakan sebuah kenyataan yang harus diterima dengan sepenuh jiwa.
Namun tentu saja menjaga kebhinekaan adalah bukan perkara mudah. Pasalnya, kerap kita dengar dan saksikan di pelbagai media, bagaimana kemajemukan dan persatuan bangsa ini seringkali diuji. Dengan demikian, jika tidak dijaga bersama, konflik bisa saja terjadi sewaktu-waktu, bahkan dapat disulut oleh sebab yang tak disangka-sangka. Lebih-lebih, Indonesia sebagai sebuah negara yang multi, baik dimensi budaya, agama, ras, etnis, suku dan lainnya. Begitu pula dengan kabupaten Lombok Utara, yang dimana karakteristik kemajemukan selalu melekat padanya, memiliki tantangan tersendiri bagi segenap warganya agar hidup harmonis di tengah kemajemukan itu. Berangkat dari situ pula, penggalian terhadap kearifan lokal dan upaya kampanye nilai-nilai kerukunan menjadi kebutuhan mendesak untuk dilakukan, semata-mata untuk menghindari disharmonis di tengah-tengah warga yang plural.
Penulis memandang bahwa kearifan lokal yang ada di suatu daerah memiliki keterhubungan dengan isu toleransi beragama yang cukup ramai diperbincangkan akhir-akhir ini. Dalam tulisan Fidiyani (2013 dan Muhdina (2015) menyebutkan, bahwa: “kearifan lokal berperan besar dalam membangun toleransi beragama, misalkan tradisi Aboge di Temanggung, budaya Sipakatau, Sipakalebbi, dan budaya Siri di Makasar”. Terlebih lagi, keterhubungan itu kian tampak bila mana media dimanfaatkan sebaik mungkin untuk kampanye nilai kearifan lokal. Penulis juga memandang bahwa nilai-nilai kearifan lokal mampu menjawab segala tantangan di masa kini dan kedepan, dimana informasi kian tak terbendung (disrupsi informasi). Tak terkecuali juga, tantangan ketika pariwisata dieksploitasi sedemikian rupa dengan dalih membawa perubahan bagi ekonomi suatu daerah.
Karena itu, dalam tulisan ini terdapat tiga bahasan yang perlu disampaikan. Pertama, tulisan ini membahas mempolongsebuah kearifan lokal yang ada di Kabupaten Lombok Utara sebagai basis pergerakan kolektif. Kedua, toleransi beragama dan strategi kampanye. Ketiga, peluang dan tantangan di masa depan: seputar teknologi dan pariwisata. Tiga tema ini akan dibahas tentu dengan memperhatikan hasil-hasil penelitian terdahulu, serta berdasarkan gagasan Konferensi Mempolong Pemenang (KMP) 2022 yang diinisiasi oleh Pasirputih bekerjasama dengan Forum Kerukunan Antar Umat Beragama (FKAUB) Kabupaten Lombok Utara.
Mempolong, Sebuah Kearifan Lokal Sebagai Basis Pergerakan Kolektif
Mempolong adalah sebuah kearifan lokal yang dimiliki warga kabupaten Lombok Utara. Dari sisi bahasa, ‘mempolong’berasal dari kata ‘polong’ yang berarti ‘saudara’. Kata ini merupakan salah satu idiom lokal yang hanya diucapkan oleh masyarakat Dayan Gunung (sebutan lain untuk daerah Lombok Utara). Istilah ‘mempolong’ merupakan falsafah hidup warga yang tak hanya digunakan oleh segelintir warga, tetapi telah membudaya bahkan merupakan sikap dan cara untuk saling mengingatkan antar satu warga dengan warga lainnya, bahwa persaudaraan selalu melekat pada diri warga tanpa memandang latar belakang yang berbeda.
Menurut Metawadi, salah seorang tokoh agama Budha, mempolong tidak hanya sekedar konsep dan bahasa yang kita dengar sehari-hari, tetapi ia merupakan way of life (jalan hidup) masyarakat Lombok Utara. Menurutnya, sejarah kemunculan istilah mempolong telah lama sekali, yakni sejak abad 7 Masehi, diambil dari kitab Sutasoma karangan Empu Tantular yang kemudian sampai saat ini diucapkan oleh warga sebagai sebuah nilai kerukunan di tengah masyarakat Lombok Utara yang plural.
Mengutip pendapat Ahmad Ijtihad di berajahaksara.org, kata mempolong memiliki makna yang mendalam dalam lingkungan sosialnya. Dari kata ini, kita dapat merincikan setiap fragmen sosial budaya menjadi bahan baku untuk membangun kasih sayang antar sesama.[1] Berpijak dari pendapat ini, jelas sekali bahwa terminologi mempolongsebagai sebuah kearifan lokal memicu lahirnya nilai kerukunan antar umat beragama.
Secara konseptual, kearifan lokal sendiri didefinisikan sebagai identitas atau kepribadian sebuah bangsa yang menyebabkan suatu bangsa tersebut mampu menyerap, bahkan mengolah kebudayaan yang berasal dari luar atau bangsa lain menjadi watak dan kemampuan sendiri (Wibowo, 2015:17). Kearifan lokal merupakan adaptasi dari istilah local genius sebagaimana yang dikemukakan oleh Quaritch Wales pada tahun 1948-1949. Istilah tersebut mengacu kepada eksistensi kebudayaan lokal yang sedang berdialog dan berdialektika dengan kebudayaan asing. Kemampuan kearifan lokal dalam menghadapi gempuran budaya asing dikarenakan ia merupakan produk kebudayaan yang didasarkan pada kebutuhan masyarakat terhadap nilai dan norma sebagai panduan dalam bertutur, bertindak dan sebagainya (Njartrijani, 2018; Widyanti, 2015).
Suatu hal bisa disebut sebagai kearifan lokal, bilamana memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) mempunyai kemampuan defensif terhadap budaya asing; (2) memiliki kemampuan akomodasi terhadap budaya asing; (3), memiliki kemampuan integrasi terhadap budaya asing; (4) memiliki kemampuan kendali dan kontrol terhadap budaya asing; (5)mempunyai kemampuan mengarahkan pada perkembangan dan keberlanjutan budaya (Ayatrohaedi, 1986).
Kearifan lokal menyangkut banyak hal, yaitu ketuhanan, pertanda alam, lingkungan hidup, pembangunan rumah, pendidikan, perkawinan dan kelahiran, makanan, siklus kehidupan manusia dan watak, kesehatan dan bencana alam. Sedangkan bentuknya meliputi norma-norma lokal yang dikembangkan, pantangan dan kewajiban; ritual dan tradisi masyarakat serta makna dibaliknya; lagu-lagu rakyat, legenda, mitos dan cerita rakyat yang biasanya mengandung pelajaran atau pesan-pesan tertentu yang hanya dikenali oleh komunitas lokal; informasi data dan pengetahuan yang terhimpun pada diri sesepuh masyarakat, tetua adat, pemimpin spiritual; manuskrip atau kitab-kitab suci yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat; cara-cara komunitas lokal dalam memenuhi kehidupannya sehari-hari; alat-bahan yang dipergunakan untuk kebutuhan tertentu; dan kondisi sumber daya alam/lingkungan yang biasa dimanfaatkan dalam penghidupan masyarakat sehari-hari (Wagiran, 2012).
Kearifan lokal merupakan identitas budaya (cultural identity) yang lahir dari konstruksi wacana tentang dunia yang dialami masyarakat yang dibuktikan dengan artikulasi bahasa, baik menggunakan medium tuturan maupun tulisan, terkait peran dan hubungan antar sesama dalam masyarakat. Ia harus dipahami sebagai sesuatu yang diciptakan oleh kesadaran masyarakat sendiri dan bukan ditemukan (Barker, 2005). Kearifan lokal berperan penting dalam menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di masyarakat, mencakup masalah ekonomi (Mujahidin, 2017), pemerintahan khususnya dalam penataan ruang (Kristiyanto, 2017), pendidikan (Fajarini, 2014), pengurangan resiko bencana (Marfai, Rahayu, & Triyanti, 2015), dan konflik bernuansa agama (Abdullah & Dkk, 2008: 13).
Berpijak pada pandangan inilah, mempolong sebagai sebuah kearifan lokal warga Lombok Utara, memiliki keterhubungan dengan toleransi beragama. Karena kearifan lokal tersebut mengikat warga secara kolektif tanpa melihat latar belakang agama yang berbeda.
Makna ‘bersaudara’ yang terkandung dalam mempolong, sebagai sebuah sapaan sehari-hari di tengah-tengah komunitas warga, menjadi bukti nyata bahwa kearifan lokal ini dijadikan sebagai sebuah gerakan kolektif. Mempolong merupakan identitas lokal yang dibuktikan dengan artikulasi bahasa yang menyiratkan sebuah pesan, bahwa warga dengan kemajemukannya diikat oleh sebuah persaudaraan. Mempolong merupakan bagian dari bahasa lokal yang digunakan warga secara umum, yang dengannya tersirat makna kemajemukan dalam bingkai keharmonisan.
Toleransi Beragama dan Strategi Kampanye
Istilah toleransi berasal muncul dari bahasa Latin Tolerare yang berarti “dengan sabar membiarkan sesuatu”. Pengertian toleransi secara luas adalah suatu perilaku atau sikap manusia yang tidak menyimpang dari aturan, dimana seseorang menghormati atau menghargai setiap tindakan yang dilakukan orang lain (Ihsan, 2009: 24-25). Dalam bahasa Arab, istilah toleransi dipadankan dengan samanah atau tasamuh, artinya sikap lapang dada atau terbuka dalam menghadapi perbedaan yang bersumber dari keperibadian yang mulia (Enginer, 2004: 8). Dengan demikian, keterbukaan dalam mengakui keberadaan kepercayaan lain, sifatnya bukan dipaksakan, melainkan lahir dari hati nurani.
Dalam konteks sosial budaya dan agama, toleransi berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Satu misal, toleransi beragama dimana penganut mayoritas dalam suatu masayarakat mengizinkan keberadaan agama lain (Digdoyo dan Eko, 2018: 46)
Toleransi sebagai sebuah istilah dalam konteks agama dan sosial budaya juga dapat berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap golongan yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Misalnya, toleransi beragama dimana penganut agama mayoritas mengizinkan keberadaan agama minoritas lainnya. Jadi, toleransi antar umat beragama berarti suatu sikap manusia sebagai umat yang beragama dan mempunyai keyakinan, untuk saling menghormati dan menghargai manusia yang beragama lain (Giddens, 1987:73).
Kata yang berlawanan dengan toleransi adalah istilah intoleransi. Jika toleransi dimaknai sebagai sebuah sikap yang mulia, maka sebaliknya dengan intoleransi. Istilah intoleransi dimaknai sebagai sikap yang menghambat atau menentang pemenuhan hak-hak kewarganegaraan yang dijamin konstitusi, khususnya terhadap kelompok yang tak disukai atas dasar identitas tertentu seperti etnis, orientasi seksual, asal-usul kebangsaan, baik seagama maupun berbeda agama (Jaffar, hal, 52)
Terdapat dua faktor yang menjadi penghambat toleransi antar umat beragama. Dua faktor tersebut dianggap sebagai pemicu lahirnya tindakan intoleransi, yakni faktor kultural dan struktural (Ibid, 2018:77). Kedua faktor pemicu tersebut saling berkaitan. Pada level kultural, intoleransi muncul lantaran menguatnya gerakan-gerakan intoleransi akibat globalisme. Salah satunya gerakan yang menolak demokrasi dan Pancasila serta sikap takfir (pengkafiran) kepada mereka yang tak sejalan dengan doktrin mereka.
Di level struktural sendiri, menurut Jaffar, erat sekali kaitannya dengan penegakan peraturan Perundang-undangan yang mendukung prinsip-prinsip toleransi dan pluralisme. Kaitan dengan hal ini, kapabilitas dan kapasitas birokrasi di dalam menjalankan konstitusi dan peraturan-peraturan di bawahnya juga menjadi perkara penting. Visi dan keberanian pemimpin, baik di tingkat lokal dan nasional juga hal penting lainnya.
Kerukunan antar umat beragama di Lombok Utara memang cukup terpelihara. Hal tersebut bisa dibuktikan dengan tidak adanya kasus-kasus yang dipicu oleh isu agama. Selain itu, jika dilihat lebih jauh, terdapat situs-situs tertentu di beberapa wilayah di Lombok Utara sebagai bukti terpeliharanya kerukunan dan keberagaman antar warga. Misalnya, keberadaan Tempat Pemakaman Umum (TPU) yang berlokasi di Sumur Mual, Desa Pemenang Barat, Kecamatan Pemenang. Tempat pemakaman ini dikhususkan untuk setiap warga yang meninggal dunia dari tiga agama yakni Hindu, Budha dan Islam. Meski masing-masing agama memiliki lokasi yang berbeda, dengan jaraknya yang berdekatan dan berlokasi di TPU yang sama, menjadikan kawasan ini unik, dan dapat melambangkan keberagaman dan kerukunan.
Begitu pula dengan masjid Shirothal Mustaqim Karang Subagan, Desa Pemenang Barat. Rumah ibadah umat Islam ini menjadi bukti nyata kerukunan antar umat beragama telah terbangun sejak lama. Menurut sejarah, ketika masjid ini dibangun, warga dari tiga agama yakni umat Islam, Hindu dan Budha bergotong royong saat proses pembangunannya. Tak hanya cerita sejarah, akan tetapi sampai detik ini, saat bangunan masjid mengalami kerusakan dan hendak diperbaiki, pelibatan sejumlah tokoh dari tiga agama tersebut niscaya dilakukan.
Tampaknya, keberadaan wisata religi yang berada di Dusun Telok Dalem Kern, Desa Medana, Kecamatan Tanjung yang diyakini sebagai tempat dimakamkannya leluhur yang bernama Raden Wira Dana menjadi bukti nyata bahwa kerukunan antar umat beragama di Kabupaten Lombok Utara amat kuat dan terjaga. Pasalnya, keberadaan makam ini, posisinya berdekatan dengan Pura, rumah ibadah yang sering dikunjungi umat Hindu. Tak hanya di satu kali kesempatan, tetapi sering kali pengunjung dari dua agama yakni Islam dan Hindu ini bersamaan di satu lokasi. Dan sejauh ini, tak pernah sedikit pun kita mendengar terjadi kisruh antar pengunjung di lokasi tersebut walaupun dari latar belakang keyakinan yang berbeda-beda.
Terakhir, sebagai bukti nyata bahwa warga Lombok Utara menjunjung tinggi nilai toleransi antar pemeluk agama, bahwa pada tahun 2017 desa Tanjung dan desa Pemenang Timur diresmikan menjadi desa sadar kerukunan dari 34 desa se-Indonesia. Menariknya, ditetapkannya dua desa ini sebagai desa sadar kerukunan bukan hanya karena terdapat agama yang berbeda-beda di dalamnya, tetapi budaya dan tradisi masyarakatnya yang beragam pula menjadi alasan desa ini disebut sebagai desa sadar kerukunan.
Selain itu, toleransi antar umat beragama akan semakin tampak apabila ditunjang oleh keterlibatan media di dalamnya.Hal ini dapat terlihat dari salah satu inisiasi Pasirputih, yakni Konferensi Mempolong Pemenang (KMP) 2022. Dengan memanfaatkan media, kerja-kerja Pasirputih yang sejauh ini lebih banyak terfokus di Kecamatan Pemenang Kabupaten Lombok Utara, dapat tersebar ke seluruh pelosok di Lombok Utara atau bahkan melampauinya. Kampanye melalui media secara maksimal, dapat memberi pengaruh lahirnya sikap toleransi di tengah-tengah masyarakat. Inisiasi kegiatan sebagai ruang pewacanaan tentang toleransi beragama penting juga dilakukan.
Konferensi Mempolong Pemenang (KMP) diinisiasi oleh Pasirputih bekerja sama dengan Forum Kerukunan Umat Beragama Kabupaten Lombok Utara dan dilaksanakan pada bulan Juli 2022 lalu. Selain sebagai sebuah strategi kampanye toleransi beragama dengan pendekatan seni, Konferensi ini sesungguhnya adalah sebuah inisiasi pertemuan, diskusi, dan dialog lintas agama, etnis, gender dan generasi untuk meneruskan strategi kebertahanan dalam menghadapi tantangan zaman berlandaskan kekuatan mempolong demi Pemenang yang lebih bermartabat.
Pada pelaksanaannya, Konferensi Mempolong Pemenang (KMP) ini di lakukan selama sehari dan dibagi menjadi 4 sesi, yaitu (1) Orasi Pemuda Lintas Agama, (2) Mimbar Para Pakar, (3) Forum Grup Discussion (FGD), dan (4) penanda tanganan di atas kain putih sepanjang 10 meter sebagai sebuah statment setiap elemen warga untuk menjaga keharmonisan Pemenang.
KMP memang dilakukan selama sehari, yakni pada puncak acaranya. Akan tetapi, sebelum acara puncak, terdapat beberapa agenda seperti lomba poster dengan tema mempolong yang dibuka secara umum bagi warga Lombok Utara. Sejak pengumuman lomba ini dirilis, rupanya masyarakat cukup antusias sehingga banyak yang mendaftarkan diri sebagai peserta lomba. Terdapat satu hal yang menarik sebagai agenda penyemarak menjelang puncak acara KMP, yakni kegiatan mural dijadikan sebagai pendekatan untuk menyuarakan ide gagasan mempolong. Aneka karya mural yang dibuat adalah respon dan statement para seniman dalam bentuk visual dalam merespons tema mempolong yang diwacanakan, sekaligus sebagai sebuah bukti keharmonisan serta kerukunan di tengah-tengah warga Pemenang yang plural.
Sampai sekarang karya para seniman dengan beragam bentuk ini bisa kita saksikan di eks-Terminal Bangsal Pemenang. Pemilihan lokasi mural ini juga menjadi hal menarik lainnya. Menurut Sibawaihi (2015) dalam jurnal akumassa.org menjelaskan bahwa: “Bangsal merupakan pusat pengetahuan budaya masyarakat Pemenang”. Tak hanya menjadi pusat pengetahuan budaya masyarakat, sejak dahulu, banyak orang datang ke tempat ini untuk tujuan berdagang. Kaitan dengan ini, pada paragraf yang berbeda, ia juga menjelaskan, bahwa:
“Bangsal sejak dahulu menjadi pusat perdagangan. Banyak saudagar-saudagar dari berbagai daerah datang dan berbisnis di Bangsal. Itulah mengapa penduduk pesisir yang terkena percampuran budaya (akulturasi) dengan pedagang asing yang singgah, lebih mudah menerima perbedaan. Sebab, dalam transaksi perdagangan di antara keduanya, mereka mencoba saling mengerti dan memahami kebudayaan masing-masing”.
Tantangan Masa Depan: Seputar Teknologi dan Pariwisata (Peluang dan Tantangannya)
Menurut Harari dalam Tamrin (2022), kemajuan ilmu pengetahuan sebagai awal terjadinya Revolusi Sains yang boleh jadi akan mengakhiri sejarah dan mengawali sesuatu yang sepenuhnya berbeda. Dalam bidang teknologi komputasional sejak ditemukannya Enigma, sebuah mesin pemecah algoritma oleh Alan Turing, bisa dibilang sebagai lompatan kemajuan dalam bidang komputer dan pada akhirnya apa yang kita kenal sekarang: Google, Facebook, Twitter, Windows, dan lain sebagainya merupakan turunan dari penemuan tersebut.
Perkembangan tekhnologi dan informasi merupakan penanda kemajuan sains membawa manusia saat ini pada era baru yang kemudian disebut sebagai era disrupsi informasi. Lewat berbagai aplikasi yang berbasis internet—yang kemudian diistilahkan dengan media sosial, hadir jutaan informasi dalam hitungan menit. Manusia menjadi bebas melakukan apa saja, mereproduksi informasi serta menyebarluaskannya kembali.
Satu sisi, manusia di era ini amat sangat dipermudah. Segala jenis pekerjaan yang semula memerlukan waktu cukup lama justru dipersingkat dengan hadirnya seperangkat media tersebut. Dengan bantuan alat canggih serupa di atas, setiap orang bebas mengakses informasi seperti apa yang diinginkan. Di sisi lain, hadirnya seperangkat media itu, justru membuat ketakutan tak berdasar akan wajah ‘gelap’ sendi tertentu kehidupan manusia. Sebut saja, sendi agama.
Seperti yang sering disuarakan, ketika internet atau media-media semakin digandrungi sebagaimana saat ini, para pihak otoritas agama tak lagi digemari. Sederhananya, persoalan keagamaan kelihatan tak lagi dipertanyakan kepada sosok agamawan, akan tetapi dipasrahkan sepenuhnya kepada mesin pencari dan media-media sosial yang tersebut di atas.
Hal ini tentu menjadi sebuah kekhawatiran. Sebab, jika berpijak pada cara pandang era saat ini, sebetulnya kehadiran media yang berbasis pada internet (media sosial) itu hadir sebagai tantangan bagi para pemangku otoritas keagamaan (ustadz, kiyai, tuan guru, pedanda, biksu dan lainnya), atau lembaga negara yang khusus membidangi persoalan keagamaan. Artinya, apakah segenap ilmu agama yang mereka miliki, masih bisa survive dengan kecanggihan teknologi hari ini.
Akan tetapi, berbeda dengan hal di atas, dalam sebuah artikel di New York Times yang terbit 16 Mei 2002, menyebutkan bahwa fenomena keagamaan dibanyak negara yang memanfaatkan beragam media, mulai dari kaset, radio, video, televisi dan internet disebut sebagai “agama menemukan tekhnologi” (Jaffar, 2018:251). Berpijak pada pandangan ini, sesungguhnya media dan agama merupakan dua lembaga yang saling menopang.
Munculnya ragam media sosial memang membentuk watak baru dalam kehidupan sosial dan komunikasi masyarakat era ini. Persinggungan mereka tak lagi sebatas dunia nyata tetapi dunia maya. Bahkan, tak sedikit yang menghabiskan waktu dengan jejaring-jejaring yang ada di ‘dunia kedua’ (dunia maya) mereka dibandingkan dunia nyata. Maka, berangkat dari sini, media sosial yang merupakan bukti dari penemuan dalam bidang komputasional sekaligus sebagai penanda kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, menjadi ruang kreatif untuk menyebarluaskan ide gagasan seperti toleransi beragama dan mengkampanyekan nilai kearifan lokal (mempolong). Bahkan, media sosial juga menjadi ruang ampuh untuk melakukan kontra narasi atas paham-paham yang justru memicu lahirnya sikap intoleransi.
Kehadiran seperangkat alat canggih sebagai akibat dari modernisasi yang terjadi, bukan lantas melahirkan sikap segelintir warga, semisal membentur-benturkan teknologi dengan ajaran-ajaran yang telah diyakini atau nilai-nilai lokal yang telah disepakati secara kolektif sebelumnya. Melainkan, ajaran atau nilai lokal itu sejatinya berjalan beriringan, bahkan saling bertautan dengan kecanggihan teknologi yang ada.
Inilah hal utama yang disuarakan oleh salah seorang orator muda ketika Konferensi Mempolong Pemenang (KMP) diselenggarakan: teknologi; peluang dan tantangan masa depan. Dimana, ia merasa gelisah dengan laku bermedia sosial orang saat ini yang justru memperlihatkan pengaruh negatifnya yang lebih besar dari pada hal yang positif. Tetapi, sekali lagi, terlepas dari substansi orasi yang disampaikan pemuda itu, hadirnya media sosial sebagai bukti kecanggihan teknologi saat ini, membawa manusia kepada cara pandang baru untuk melihat sebuah persoalan serta bagaimana menghadirkan sebuah solusi.
Persoalan berikutnya yang disuarakan salah seorang orator ketika kegiatan KMP di selenggarakan adalah menyoal pariwisata dari kacamata peluang dan tantangannya. Seperti diketahui, pariwisata merupakan penyangga ekonomi terbesar bagi kabupaten yang relatif muda di Nusa Tenggara Barat ini. Adanya tiga Gili (Trawangan, Meno, dan Gili Air), tampak sekali menjadi penyokong terbesar Pendapatan Asli Daerah (PAD). Walaupun daerah ini secara potensial bisa berkembang dari segi pertanian, peternakan, hingga lautnya, tetapi sejauh ini, pariwisata dijadikan sebagai tulang punggung daerah.
Sebagaimana daerah pariwisata lainnya, di daerah ini setiap hari wisatawan baik domestik maupun mancanegara berdatangan. Media pemberitaan daerah, radarlombok.co.id melaporkan, wisatawan domestik yang masuk ke tiga Gili berjumlah 40 persen dan 60 persen untuk wisatawan mancanegara. Media ini juga mencatat, setiap hari 400 sampai 500 wisatawan mancanegara masuk ke tiga Gili yang langsung dari Bali menggunakan fastboat.[2] Hal senada juga dilaporkan tribunlombok.com, bahkan media ini juga memberitakan, setahun lalu, sejak bulan Mei hingga Agustus, pengunjung ke tiga Gili telah mengalami peningkatan.[3]
Terlepas dari angka-angka itu, dunia pariwisata ini mengakibatkan penduduk lokal sehari-hari berinteraksi denganwisatawan asing yang datang dengan aneka ragam tujuan. Entah bisnis, berlibur, riset, dan lain sebagainya. Tak sedikit pula di antara tamu-tamu itu menetap dalam jangka waktu yang cukup lama hanya untuk menikmati panorama daerah yang disuguhkan. Karena kabupaten ini berstatus sebagai daerah pariwisata sebagai penyumbang pendapatan asli daerah tertinggi, banyak pihak yang cukup diuntungkan, seperti pedagang kaki lima, kusir Cidomo, sopir travel, angkot, UMKM, hotel, hingga karyawan mendapat imbas positif dari dunia pariwisata yang ada.
Secara ekonomis, imbas positif dunia pariwisata kepada warga secara umum hingga berdampak pada pendapatan asli daerah memang tak bisa dipungkiri. Tetapi, akulturasi budaya akibat pergumulan masyarakat lokal dengan wisatawanasing juga hal lain yang penting pula disoroti. Perubahan pola pikir, cara pandang, hingga tingkah laku penduduk asli sedikit-tidak berubah dari sebelumnya. Tampak menyedihkan sekali jika akulturasi budaya yang terjadi justru sampai pada titik westernisasi (pemujaan terhadap Barat yang berlebihan).
Pada fase inilah tantangan itu kian tampak. Akibat dari dunia pariwisata yang terus menerus digarap, Pribumi justru dihadapkan dengan budaya baru, cara pandang, pola pikir, hingga tingkah laku yang berpotensi menggerus keasliannya. Bahkan, mengancam warga lupa akan budaya nenek moyangnya sendiri. Tentu, hal ini tak akan terjadi terjadi jikabudaya-budaya baru imbas dari dunia pariwisata disikapi warga dengan amat bijak bestari dibarengi nilai-nilai kearifan lokal yang terus dijunjung tinggi.
Karena itu, hal terbaik yang perlu dilakukan adalah bagaimana menyeimbangkan pariwisata dengan pengetahuan lokal serta kontrol diri terhadap budaya-budaya luar. Kearifan lokal tetap dijunjung tinggi tanpa harus mencela budaya baru akibat pariwisata yang terus dikelola. Pemerintah setempat pun tentunya tak boleh berdiam diri untuk mengedukasi masyarakat serta mengkampanyekan nilai-nilai kearifan lokal secara masif sebagai penyeimbang budaya-budaya baru itu.
Pada intinya, untuk menyongsong tantangan masa depan, di era informasi semakin tak terbendung dan dunia pariwisata semakin gencar digalakkan, secara khusus di kabupaten Lombok Utara, dibutuhkan sebuah kesadaran historis setiap elemen masyarakat. Masyarakat dengan keberagaman yang ada harus memiliki tekad yang sama agar kerukunan tetap terjaga di pusaran warga yang plural. Kesadaran warga tentang nilai-nilai historis yang ada di daerah ini akan membentuk watak masyarakat yang inklusif dan ramah terhadap keragaman dan perbedaan.
REFERENSI
Abdullah, I., & Dkk. (Ed.). (2008). Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ayatrohaedi (Ed.). (1986). Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya
Barker, C. (2005). Cultural Studies Teori dan Praktek. Yogyakarta: Bentang
Digdoyo, Eko. (2018). Kajian Isu Toleransi Beragama, Budaya, dan Tanggungjawab Sosial Media. Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan. Universitas Muhammadiyah Ponorogo. 3(1): 46-47
Enginer, Asghar Ali. (2004). Liberalisasi Islam, Membangun Teologi Damai Dalam Islam. (Terj. Rizqon Khomami). Yogyakarta: Alennia
Fidiyani, R. (2013). Kerukunan Umat Beragama di Indonesia (Belajar Keharmonisan dan Toleransi Umat Beragama di Desa Cikakak, Kec. Mangon, Kab. Banyumas). Jurnal Dinamika Hukum, 13(3).
Fajarini, U. (2014). Peranan Kearifan Lokal Dalam Pendidikan Karakter. SOSIO-DIDAKTIKA: Social Science Education Journal, 1(2).
Giddens, Anthony. (1987). Perdebatan Klasik dan Kontemporer Mengenai Kelompok, Kekusaan dan Konflik. Jakarta: Rajawali
Ijtihad, Ahmad. (2020). Mural Bersama; Pesan-pesan Keberagaman. Diakses pada 1 Januari 2023, dari https://berajahaksara.org/mural-bersama-pesan-pesan-keberagaman/
Ihsan, Bakir. (2009). Menebar Toleransi Menyemai Harmoni. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Imansyah, Nur. (2022) Kunjungan Wisman ke Tiga Gili di Lombok Meningkat. Diakses pada 2 Januari 2023, dari https://radarlombok.co.id/kunjungan-wisman-dan-domestik-ke-tiga-gili-di-lombok-meningkat.html
Jaffar, M. (2018). (In)Toleransi: Memahami Kekerasan & Kebencian Atas Nama Agama. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia
Kristiyanto, E.N. (2017). Kedudukan Kearifan Lokal dan Peranan Masyarakat dalam Penataan Ruang di Daerah. Rechts Vinding, 6(2).
Muhdina, D. (2015). Kerukunan Umat Beragama Berbasis Kearifan Lokal di Kota Makassar. Jurnal Diskursus Islam. 3(1).
Mujahidin, A. (2017). Peranan Kearifan Lokal (Lokal Wisdom) Dalam Pengembangan Ekonomi dan Perbankan Syariah di Indonesia. JURIS (Jurnal Islam Syariat). 15(2).
Marfa’i, M.A., Rahayu, E., & Triyanto, A. (2015). Peran Kearifan Lokal dan Modal Sosial dalam Pengurangan Risiko Bencana dan Pembangunan Pesisir; Integrasi Kajian Lingkungan, Kebencanaan, dan Sosial Budaya (Cetakan pe.). Bulaksumur, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Njartrijani, R. (2018) . Kearifan Lokal Dalam Perspektif Budaya Kota Semarang. Gema Keadilan, 5(1)
Sibawaihi, Muhammad. (2015). Bangsal Dulu Kini dan Nanti. Diakses pada 2 Januari 2023, darihttps://akumassa.org/id/bangsal-dulu-kini-dan-nanti/
Wahidah, Patayatul. (2022). Pasca Pandemi, Kunjungan Wisatawan ke Tiga Gili Meningkat 40 hingga 50 Persen. Diakses pada 2 Januari 2023, dari https://lombok.tribunnews.com/amp/2022/05/10/pasca-pandemi-kunjungan-wisatawan-ke-tiga-gili-meningkat-40-hingga-50-persen
Wagiran. (2012b). Pengembangan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Hamemayu Hayuning Bawana (Identifikasi Nilai-nilai Karakter Berbasis Budaya) (B). Jurnal Perndidikan Karakter, 2(3)
[1] https://berajahaksara.org/mural-bersama-pesan-pesan-keberagaman/
[2] https://radarlombok.co.id/kunjungan-wisman-dan-domestik-ke-tiga-gili-di-lombok-meningkat.html
[3] https://lombok.tribunnews.com/amp/2022/05/10/pasca-pandemi-kunjungan-wisatawan-ke-tiga-gili-meningkat-40-hingga-50-persen