Oleh: Ahmad Nawawi
Perempuan tua itu bernama;
Cinta kasih sayang yang tiada jeda
Tahan memikul bahagia dan sengsara
Dalam satu tarikan nafas
Setelah mandat pengorbanan dihunus
Lalu pedang menikam kehendak
Lalu pada tangan
Dia mendekap halus dan memeluk damai
Perempuan tua itu bernama;
mama Kristina Lolon
Perempuan itu duduk pada kursi plastik berwarna biru, dikedipkannya mata lentiknya yang terlihat masih merona dan semakin lucu. Aku begitu senang melihat ikatan rambutnya yang rapi. Lalu urat kulitnya mencolok, tapi giginya masih kuat mengunyah Leye – makanan tradisional – yang dia konsumsi hampir memasuki 30 tahun dan sirih pinang yang dia kunyah hampir setiap hari. Aku duduk tepat di hadapan beliau, tidak keluar sepatah pertanyaan dariku, aku hanya memandang beliau lengkap dari atas ke bawah. Mama Kristina Lolon. Warga Hoelea II menganggap perempuan sepuh itu sebagai ibu dari semua masyarakat desa. Mengapa demikian? Tentu ada kaitannya dengan beban beliau memikul kewajiban melakoni Putting.
Sebelum ke Putting, aku ingin memulai dari awal mula menapakkan kaki di Desa Hoelea II. Pada tanggal 5 Desember 2024, beranjak dari Desa Umaleu, setelah melihat dan mendengar cerita tentang Ebang – rumah adat – yang difungsikan sebagai lumbung dan menyimpan barang-barang pusaka. Setelah menyaksikan masyarakat pesisir yang tidak mempunyai budaya melaut di Umaleu, aku dan kawan-kawan residensi Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) kemudian memasuki Desa Hoelea II pada sore hari sekitar pukul 16.00 WIT. Kedatangan kami langsung disambut hangat oleh aparatur desa dan beberapa tokoh adat. Penamaan Hoelea II sebagai sebuah desa karena adanya Kampung Hoelea I, masyarakat menyebutnya dengan kampung lama yang berada di dataran tinggi Desa Hoelea. Kampung lama itu kemudian tidak lagi dihuni, sementara rumah-rumah adat mereka masih dibiarkan berdiri dan terawat dengan baik di sana. Tidak ada yang mengetahui persis kenapa terjadi perpindahan dari kampung lama ke kampung baru, hal serupa juga terjadi di Kampung Adat Lewohala tempat atau lokasi ritual pesta kacang diselenggarakan. Sekilas, aku pernah mendengar Diki Senda – salah satu narasumber di PKN – bercerita bahwa perpindahan warga dari kampung lama ke kampung baru karena ada penyebabnya seperti pernah terjadi bencana dari gunung yang menyebabkan mereka turun ke bawah dan kemungkinan karena faktor akses sumber air terlalu jauh.
Sebelum prosesi penyambutan dimulai, tetua adat memberikan himbauan agar kami memasuki kampung lama dengan berbaris rapi karena di beberapa lahan kampung lama sudah ditanami Leye/Jali-jali. Sebelumnya, aku sempat mendengar tanaman Leye dan ritual Putting dari beberapa kawan-kawan Langit Jingga Films – penyelenggara PKN – lantas membuat penasaranku semakin meningkat. Setelah tetua adat memberikan himbauan, Kaka Sandro-anggota Komunitas Langit Jingga Films – mendekatiku dan mengabari bahwa aku dan Frenki diminta berada di barisan paling depan yang akan dikalungi kain selendang.
Sambutan itu pun dimulai dari pengalungan selendang tradisional hasil tenunan mama-mama desa, lalu kami salaman satu persatu, kemudian gema musik terdengar dan tarian pun dimulai oleh para gadis manis dengan memakai kain tradisional, pinggul mereka berenggak-enggok menari seperti pohon nyiur yang sedang diterpa angin, senyum mereka simpul dan manis. Lalu, sambil diiring tarian dan musik, lantas kami digiring dan dipersilahkan memasuki rumah adat. Setelah duduk melingkar di rumah adat, sirih pinang disajikan bersama tuak sebagai simbol penghormatan tamu. Bapak-bapak meneguk tuak sembari mengunyah sirih pinang, lalu bapak kepala suku mulai membuka cerita tentang sosok pahlawan Kampung Hoelea lama yang diyakini pernah melawan penjajah dan pahlawan itu bernama Beheng Nobol.
Beheng Nobol diceritakan memiliki tubuh besar ditandai dengan bekas pijakan kaki di sebuah batu ketika dia sedang memanah musuh yang berada di pesisir pantai. Selain petilasan kakinya, ada peninggalan berupa cincin sebesar genggaman lelaki dewasa. Batu tempat pijakan kaki Beheng Nobol dan cincinnya itu kemudian dilestarikan dan dibuatkan tempat khusus sebagai simbol penghargaan atas keberanian Beheng Nobol melawan penjajah. Tidak hanya petilasan kaki dan cincinnya, tetua adat juga mengajak kami melihat senjata Beheng Nobol berupa pedang dan panah. Sayangnya, panah yang digunakan Beheng Nobol tidak ada jejaknya sama sekali. Tapi menurut mantan Kepala Desa Hoelea, panah Beheng Nobol berada di kampung sebelah walaupun belum ada yang pernah melihatnya secara langsung. Perkenalan dengan Beheng, diakhiri dengan berkunjung ke makamnya yang terletak tidak jauh dari kampung lama. Cerita tentang keberanian Beheng Nobol terus dituturkan kepada generasi-generasi Hoelea. Lalu tidak lama kemudian, ketangguhan Beheng Nobol dan seluruh cerita tentang pengorbanan dan keberaniannya, aku temui cerminannya pada cerita Leye, Putting dan mama Kristina Lolon. Leye atau Jali-jali, dalam Wikipedia disebut:
Jali, enjelai atau jelai (Coix lacryma-jobi) adalah sejenis tumbuhan biji-bijian (serealia) tropika dari suku padi-padian atau Poaceae. Asalnya adalah Asia Timur dan Malaya namun sekarang telah tersebar ke berbagai penjuru dunia. Beberapa varietas memiliki biji yang dapat dimakan dan dijadikan sumber karbohidrat dan juga obat. Bulir yang masak terbungkus struktur yang keras, berbentuk oval dan berwarna putih. Ada dua varietas yang ditanam orang. Coix lacryma-jobi var. Lacryma-jobi memiliki cangkang (pseudokarpium) keras berwarna putih, bentuk oval, dan dipakai sebagai manik-manik. Coix lacryma-jobi var. ma-yuen dimakan orang dan juga menjadi bagian dari tradisi pengobatan Tiongkok. Walaupun sekarang jali nyaris tidak lagi dikonsumsi, tumbuhan ini masih dikenal orang, seperti dalam lagu gambang kromong “Jali-jali”. Di perdagangan internasional ia dikenal sebagai Chinese pearl wheat (gandum mutiara Cina), walaupun ia lebih dekat kekerabatannya dengan jagung daripada gandum.
Leye atau Jali memang memiliki kemiripan dengan jagung. Pertama kali melihat tanaman itu di kampung lama, aku mengira bahwa itu adalah tanaman jagung karena dari bentuk daunnya hampir sama dengan jagung. Bagi masyarakat Hoelea, leye tidak hanya dipandang sebagai tanaman dan salah satu jenis pangan lokal, tapi jauh dari itu, leye dilekatkan pada sebuah tradisi budaya yang bernama puting. Puting dari segi bahasa berarti pantangan. Pantangan itu berlaku pada kegiatan memakan jenis pangan apapun kecuali leye. Menurut masyarakat hoelea, jika penerima mandat ritual puting tidak melaksanakan tugasnya, maka satu desa akan terkena musibah. Mandat ritual puting itu diberlakukan kepada istri dari anak sulung dari ketiga suku yaitu suku leohoe payung, suku tubar dan suku leohuetake. Semua istri anak sulung dari ketiga suku ini wajib memikul beban kewajiban putting-tidak memakan pangan kecuali leye- seumur hidup.
Ketika sesi diskusi terjadi di kantor Desa Hoelea, Beato – salah seorang kawan residensi – menanyakan, “apabila anak sulung mereka itu perempuan, apakah kewajiban Putting itu berlaku untuk suaminya?” kepala desa, mantan kepala desa dan ketua BPD Desa Hoelea yang waktu itu menjadi narasumber lantas menjawab bahwa kewajiban Putting itu hanya untuk perempuan saja, jika anak sulungnya perempuan maka dilakukan musyawarah adat untuk menentukan pengganti dari anak sulung perempuan tersebut, bisa turun ke istri dari adiknya atau tergantung dari keputusan musyawarah adat. Sementara cerita lain aku dengar dari bapak Lathip, “bahwa dulu ritual puting itu berlaku untuk laki-laki dan perempuan, lambat laun perubahan itu terjadi dan dibebankan hanya untuk perempuan saja”, ungkapnya. Tidak ada yang tau persis kenapa Putting hanya berlaku untuk perempuan. Yang jelas, terlepas dari isu gender,dan hak asasi manusia – yang memang menurut tokoh desa dan adat adalah tantangan bagi mereka sekarang – aku melihat itu sebagai bentuk dari kekuatan seorang perempuan yang mampu berkorban diluar dari kebiasaan dan bentuk kreativitas warga mempertahankan pangan lokal mereka.
Mama Kristina Lolon, sosok ibu seluruh masyarakat, adalah pahlawan seluruh masyarakat Hoelea. Beliau merupakan penerima kewajiban Putting setelah Nenek Dae meninggal dunia. Dari sepeninggal Nenek Dae sampai sekarang – sekitar 30 tahunan lebih – beliau berhenti mengkonsumsi pangan apapun kecuali Leye. Beliau juga tidak boleh memakai wadah makanan yang sebelumnya pernah digunakan untuk makanan selain Leye. Benar-benar steril dan bersih dari segala jenis pangan. Beliau kini telah memasuki umur 80 tahun. Ketika bercerita, beliau mengungkapkan bahwa kondisi beliau setelah melakukan Putting jauh lebih sehat dan jarang terserang penyakit. Kewajiban mengkonsumsi hanya pangan Leye itu untuk meneruskan keyakinan dari nenek moyang mereka untuk menjaga terjadinya bala atau musibah kepada seluruh masyarakat desa ketika ritual itu tidak dijalankan. Tentu terdengar sedikit lucu dan tidak adil, tapi aku melihatnya dari sudut kebudayaan, maka itulah bentuk ekspresi kebudayaan masyarakat setempat dan cara mereka mempertahankan tanaman Leye agar terus hidup dan dilestarikan sebagai salah satu jenis pangan lokal.
Tanaman Leye yang tumbuh di Hoelea dengan tanaman Leye di daerah lain sebetulnya tidak berbeda, hanya saja yang membedakan tanaman Leye/Jali-jali Desa Hoelea dengan desa lainnya terletak pada ritual Putting. Putting dalam bahasa lokal berarti “pantangan”. Beberapa suku di NTT memang selalu memiliki pantangan-pantangan untuk dikonsumsi, pada etnis Kedang tepatnya di Desa Hoelea, beberapa suku tidak mengkonsumsi jagung karena mereka meyakini bahwa nenek moyang mereka berasal dari jagung, begitulah cerita rakyat yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Adapun Leye, diposisikan sebagai makanan pokok oleh sebagian suku karena dulu ketika Desa Hoelea diselimuti awan gelap gulita, seorang kepala suku desa Hoelea lalu mencabut batang Leye dan menjadikannya anak panah lalu menembakannya ke langit seraya sesumbar, “bahwa kalau langit tidak gelap lagi, aku dan seluruh keturunanku akan menjadikan Leye sebagai makanan pokok”. Tiba-tiba kemudian langit menjadi cerah dan terang. Sejak itu kemudian di beberapa suku di Desa Hoelea diwajibkan mengkonsumsi Leye. Karena adanya ritual Putting itu, warga kemudian menanam Leye di kampung lama dan hasil panennya akan diberikan kepada penerima kewajiban Putting. Secara otomatis, penanaman Leye menjadi keharusan di kampung lama karena dia berkaitan dengan penyediaan untuk keberlangsungan budaya Putting.
Kesadaran akan keunikan Putting dan kekayaan aneka hayati yang mereka miliki kemudian memancing sebagian dari pemuda-pemuda desa bekerjasama dengan pemerintah desa setempat untuk terus mengkampanyekan agar Leye terus bisa dipertahankan melalui mekanisme pelestarian budaya Putting. Dan selain itu, untuk meningkatkan ekonomi warga, kepala desa menganjurkan agar warga mereka menanam Leye untuk kebutuhan pribadi dan untuk kebutuhan pasar. Bapak kepala desa menuturkan bahwa desa siap akan membeli hasil panen Leye dari warga dan lalu desa mengolahnya menjadi makanan siap saji lainnya. Sejauh ini, Leye sudah dikemas dan dikembangkan menjadi beberapa jenis produk, seperti kopi Leye, sereal, nasi Leye dan kue Leye. Adapun jenis biji Leye yang agak keras, warga memanfaatkannya menjadi perhiasan mata, tasbih, kalung dan lain-lain.
Ketika berdiskusi dengan kepala suku dan kepala desa, aku sempat menanyakan, “apakah ada catatan untuk pelaku Putting dari awal hingga sekarang?” Pemerintah desa dan tokoh adat menjawab tidak ada catatan tentang itu, karena dulu masyarakat Hoelea tidak mengenal tulis menulis, mereka punya tradisi tutur atau bercerita dari satu orang ke orang lain. Kemudian kepala desa menekankan kedepan perlu mengusahakan agar seluruh mama-mama yang pernah Putting agar ditulis dan dibuatkan semacam arsip khusus agar menjadi pengetahuan yang bisa dibaca oleh generasi. Leye sebagai pangan lokal memang sudah tidak banyak yang mengkonsumsi, dari penuturan warga, faktor penyebab masyarakat jarang mengolah dan mengkonsumsi Leye terletak pada kerumitan pengolahannya. Secara tradisional, pengolahan Leye cukup memakan waktu dan tenaga, mulai dari menumbuknya dengan batu sampai terpisah antara isi dan cangkangnya sampai pada tahap menumpuknya halus untuk dijadikan bahan makanan lainnya. Oleh karena itu, pemerintah desa kemudian mulai memikirkan cara agar desa memiliki mesin pengolah Leye agar bisa hasil produksinya meningkat selain dari keperluan melestarikan tradisi dan budaya Putting.
Sebelum beranjak dari Hoelea, aku terbawa dalam imajinasi liar – terlepas dari cerita rakyat yang beredar tentang pelarangan memakan jagung karena salah satu nenek moyang mereka berasal dari jagung – apakah ada kaitannya cerita itu dengan penjajah? Artinya, apakah memang cerita itu dibuat dan disebarkan oleh penjajah agar mereka bisa menguasai hasil panen jagung pribumi waktu itu? atau dia memang murni cerita begitu saja? pertanyaan-pertanyaan itu bergelantungan dan tidak untuk menuntut jawaban karena aku juga menikmati dan menganggap penting untuk terus menjaga pangan lokal dengan cara menanamnya dan terus memberi ruang ingatan pada jenis-jenis pangan itu salah satunya dengan mengaitkan makanan dengan cerita dan budaya loKal setempat. Aku kemudian teringat tentang revolusi hijau, salah satu dampak dari revolusi hijau selain dari kerusakan lingkungan adalah hilangnya ke anekaragaman jenis hayati yang bersebab karena pemerataan jenis makanan pokok dan pemerataan jenis tanaman yang akan ditanam, lalu kemudian hilangnya kebutuhan atas pangan itu dan terakhir hilangnya bibit atau benih yang terkait.
Lalu mama Kristina Lolon mendekap tanganku, lalu aku mencium tanggannya dan beliau menunjuk kearah benih Leye kemudian memberikanku botol kecil untuk menaruh benih Leye itu. Dari Leye, putting dikemas sakral, dari Putting, kesadaran akan merawat pangan lokal bisa terwujud, dan dari kesadaran pangan lokal itu, tidak rumit mengkonsepkan untuk menyusun agenda daulat pangan atau swasembada pangan tingkat desa. Meneruskan Putting adalah bagian dari meneruskan nilai kolektif untuk terus menjaga keberlangsungan makanan lokal yang berlaku.
Biografi Penulis
Ahmad Nawawi adalah warga Jl. Patimura, Dusun Midang, Desa Midang, Kecamatan Gunung Sari, Kabupaten Lombok Barat. Ia lulusan S1 Pendidikan Bahasa Arab, UIN Mataram, lantas mendapatkan gelar Master untuk bidang yang sama dari UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Ia terlibat di Pasirputih sebagai jurnalis warga, pegiat pertanian, dan pelaksana Program Aksara Tani, khususnya untuk Proyek Betaletan.