Skip to main content

Residensi Lumbung Kelana merupakan program residensi yang diinisiasi oleh Lumbung Indonesia – sebuah platform bersama untuk kolektif seni yang menghidupi dan dihidupi oleh tradisi dan praktik seni yang berhubungan dengan lumbung. Program residensi ini diikuti oleh 11 dari 12 kolektif seni yang saat ini tergabung dalam Lumbung Indonesia.

Diantaranya yaitu Pairputih (Lombok), Serbuk kayu (Surabaya), Hysteria (Semarang), Komunitas Gubuak Kopi (Solok), Rumah Budaya Sikukeluang (pekanBaru), Sinau Art (Cirebon) TrotoArt (Jakarta), Komunitas Kahe (Maumere), Forum Sudut Pandang (Palu), Siku Ruang Terpadu (Makassar), dan Gelangang Olah Rasa (Bandung). Tim Fixer dan Gudskul Ekosistem juga berperan aktif dalam terlaksananya program Lumbung Kelana. 

Masing-masing Kolektif seni yang terlibat menjadi tuan rumah residensi dan juga sekaligus setiap kolektif mengirimkan perwakilannya untuk menetap selama 14 hari ke kolektif yang dituju oleh masing-masing perwakilan kolektif. Para partisipan akan saling berbagi, belajar dan bertukar pengalaman kemudian dari hasil itu semua akan didiskusikan atau dipresentasikan pada akhir program residensi. Dalam program Lumbung Kelana ini yang menjadi focus kajiannya adalah untuk mengetahui bagaimana strategi kebertahanan kolektif seni yang dituju baik dalam konteks finansial, gagasan juga lingkungan.

Dalam residensi Lumbung Kelana saya sendiri mendapat tempat residensi di kolektif Sinau Art Cirebon. Selama 14 hari di Sinau Art saya belajar banyak tentang kerja-kerja artistik yang dilakukan oleh Sinau Art terutama bagaimana strategi bertahan komunitas Sinau Art baik finansial, gagasan dan sejauh mana membangun relasi antara kolektif-kolektif yang ada di Cirebon juga relasi dengan pemerintahan.

Selain belajar di Sinau Art saya juga banyak belajar sama partner saya selama residensi yakni Joni dari komunitas Trotoart Jakarta, karena dimana pada residensi Lumbung Kelana ini masing-masing kolektif yang ditempati untuk residensi menerima dua orang dari kolektif yang berbeda.

Selama residensi Lumbung Kelana di Sinau Art saya, Joni dan host yang mendampingi kami yakni Silvi, selama residensi kami membuat semacam timeline kerja supaya sasaran yang kami tuju bisa terlaksana dengan baik selama residensi berlangsung dan menjadi bahan laporan setiap harinya ke panitia Lumbung di Google drive yang sudah disediakan. 

Ngobrol dengan Mas Nico Bror, Founder Sinau Art

Presentasi dan pengenalan masing-masing kolektif menjadi awal pertama  pertemuan kami di hari pertama residensi dengan kawan-kawan sinau Art untuk mengetahui lebih jauh masing-masing kolektif dan mengenal antara peserta residensi dengan host dan kawan-kawan di kolektif Sinau Art.

Lalu pertemuan selanjutnya kami merancang dan merumuskan apa yang kemudian akan kami lakukan selama 14 hari di Sinau Art, tentu dalam persepktif dan gagasan masing-masing yang berbeda-beda dan tentu juga dengan arahan dari host atau pendamping dari Sinau Art. Dari gagasan yang saya tawarkan ke partner saya dan host yakni merespon salah satu program Sinau Art yakni Jagakali Art Festival.

Jagakali Art Festival sendiri merupakan festival tahunan yang diinisiasi oleh Sinau Art dengan merespon dan mengkampanyekan lingkungan hidup yang dikemas dalam festival budaya berskala internasional supaya menjaga nilai-nilai lokal untuk bisa dipertahankan.

Belajar Mengidentifikasi Tanaman di Sinau Art

Dalam merespon program Jagakali Art Festival saya kemudian menawarkan untuk meriset dan mengidentifikasi tanaman-tanaman farmakologi yang ada di setiap sungai yang menjadi tempat terlaksananya Jagakali dan merespon Green House yang dibuat oleh kawan-kawan sinau, dari hasil identifikasi tanaman farmakologi tersebut nantinya bisa ditaruh dan dikembangkan oleh kawan-kawan Sinau Art.

Sebelum melakukan identifikasi tanaman, saya ditemani oleh Zainal untuk mengerucutkan ide gagasan saya supaya nantintinya tidak membias, selain itu juga membuat mind map untuk mengetahui dimana saja letak jaga kali dilaksanakan dan kemudian nantinya menjadi rujukan saya untuk melakukan identifikasi tanaman-tanaman yang ada di setiap sungai yang dijadikan tempat dilaksanakannya jagakali art festival.

Riset Identifikasi tanaman bersama Mas Omo

Proses identifikasi tanaman farmakologi, saya berkolaborasi dan belajar dengan Mas Omo yang direkomendasikan oleh Silvi selaku host. Mas Omo sendiri memang focus pada kerja-kerja riset terutama meriset tentang tanaman-tanaman obat, selain itu mas Omo juga membuka praktek massage dan praktik pengobatan tradisional akupuntur yang berbasis di Cirebon.

Namun, selama proses identifikasi tanaman bersama Mas Omo tidak sesuai harapan yang awalnya akan mengidentifikasi tanaman disetiap sungai tapi setelah ngobrol santai dengan mas Omo dan Silvi selaku host maka kami memutuskan untuk mengidentifikasi tanaman obat yang hanya ada di sekitaran sungai Tabalong saja, mengingat waktu yang singkat juga timeline yang sudah dibuat.

Dalam proses  mengidentifikasi tanaman  bersama mas Omo kami mengidentifikasi dan menemukan sebanyak 40 jenis tanaman obat disekitar sungai Tabalong yang lengkap dengan meta datanya salah satunya yang kami identifikasi ialah Petai Cina yang tumbuh secara liar namun manfaatnya sangat luar biasa bagi orang yang mempunyai riwayat penyakit diabetes.

Kemudian hasil dari identifikasi tanaman tersebut kami presentasikan di akhir residensi Lumbung Kelana. Yang menarik juga selama proses identifikasi tanaman, kami menemukan tanaman-tanaman familiar dan tumbuh secara liar yang memang biasa kita temukan disekitar rumah dan sering kita temukan di sawah namun kita tidak tahu manfaatnya.

selain berkolaborasi dengan mas Omo saya juga berkolaborasi dengan Pak Kuwu. Pak Kuwu sendiri adalah salah satu anggota Sinau Art yang kolektor barang antik dan jual beli barang antik, namun di sela-sela menjual belikan barang antik dia juga sering membuat minuman herbal dengan memanfaatkan tanaman di sekitar Sinau Tabalong seperti sereh, daun telang, daun jeruk, jahe dan beberapa bahan tambahan yang didapat di pasar.

Membuat mind map saat residensi

Dalam hal ini kolaborasi dengan pak Kuwu ialah kami membuat video tutorial bagaimana cara pembuatan minuman herbal yang diracik oleh pak Kuwu yang diberi nama dengan sebutan jahe sultan. Penemuan istilah Jahe sultan sendiri pak kuwu melakukan proses yang panjang dengan mempertimbangkan manfaat dari bahan-bahan yang dijadikannya sebagai minuman herbal seperti yang disebutkan dalam obrolan santai dengan pak Kuwu.

“banyak orang yang menggunakan bunga telang dalam racikan minuman herbal tapi justru daunyalah yang bagus dan kaya dengan vitamin, oleh karena itu saya menggunakan daun telang bukan bunga telang,”  

Pak Kuwu saat diskusi

Selain manfaat dari bahan yang dipetimbangkan menjadi alasan penyebutan jahe sultan juga secara tekstur rasa pak Kuwu pertimbangkan supaya tidak sama dengan minuman-minuman herbal yang biasa dijual meskipun secara umum bahan yang digunakan hampir sama.

Sehingga dari hasil temuan selama proses tersebut pak Kuwu bisa mengklaim hasil racikannya tidak sama dengan minuman herbal yang lain dan minuman tersebut disebut dengan sebutan jahe sultan. Niatan dari membuat minuman herbal jahe sultan sendiri ialah untuk memperkuat kekebalan tubuh dan meningkatkan imun tubuh kawan-kawan yang ada di Tabalong di masa pandemi ini.

Dalam pertemuan-pertemuan selanjutnya saya juga melakukan wawancara tentang bagaimana strategi bertahan kolektif Sinau Art bersama Mas Nico Brur selaku Founder Sinau Art dan penggagas Jagakali International Art Festival.

Dalam wawancara dengan Nico Brur saya bisa mengetahui bagaimana terbentuknya Jagakali Art Festival, sejarah bagaimana terbentuknya Sinau Art dan bagaimana cara mempertahankan sinau art sampai sekarang ini karena Sinau art sendiri terbentuk cukup lama yakni sejak tahun 2006 dan dilegal formalkan di tahun 2007, tentu selama 16 tahun berproses banyak temuan-temuan yang dihadapi Sinau Art.

Apalagi tentang bagaimana cara mempertahankan anggotanya dalam kerja-kerja komunitas yang secara “finansial” tidak didapatkan, seperti Dalam obrolan santai dengan Mas Nico Brur mengatakan bahwa “kenapa kemudian di sinau art tidak menggaji anggotanya karena memang saya secara pribadi tidak mau melihat mereka menjadi karyawan di Sinau Art melainkan merekalah menjadi pemilik Sinau Art.

Jadi kalau sudah merasa memiliki tidak mungkin seorang pemilik menggaji dirinya sendiri, jadi kerja-kerja kolektif memang harus dengan hati yang ikhlas ketika kita niatkan sebagai ibadah pasti tuhan akan membalasnya, seperti sekarang ini lahan menjadi tempat tinggal sekarang adalah hasil dari kerja-kerja kawan-kawan meskipun diberi dan difasilitasi oleh pemerintah yang sifatnya sementara”.

Hubungan sinau art dengan pemerintah dan kolektif yang ada di Cirebon juga sangat baik, oleh karena itu dalam timeline kerja yang kami buat Sivi sebagai host menjadwalkan kami untuk berkunjung ke Bappeda. Dalam kunjungan di Bappeda kami banyak ngobrol tentang sejauh mana keterlibatan pemerintah dalam program-program yang diinisiasi oleh Sinau Art lalu bentuk support apa yang diberikan.

Seperti yang dikatakan oleh ketua Bappeda Kota Cirebon yakni Iing Daiman Bahwa secara kepemerintahan memang untuk mengharapkan sesuatu agak sulit namun saya secara pribadi dalam hal ini menjadi pemerintah mendukung penuh dan mensuport apa yang dilakukan oleh pemuda yang ada di Cirebon terutama sinau art mungkin membantu secara materi tidak bisa saya bantu tapi saya berusaha memberikan akses untuk kawan-kawan ke sponsor dan akses-akses lainya.

Kunjungan ke Gerebek Latar Wingking

Selanjutnya saya diajak oleh kawan-kawan Sinau Art ke salah satu tempat yang secara visual sangat bagus sekali yakni Grebek Latar Wingking. Gerebek Latar Wingking sendiri adalah sebuah acara kebudayaan yang dikemas dengan pasar tradisional yang dimana orang-orang bisa berkunjung dan menikmati jajanan tradisional yang dijual oleh beberapa warga sekitar.

Sebelum terbentuknya Grebek Latar Wingking memang kita sudah membuat semacam kajian-kajian yang sifatnya pengetahuan tentang kesejarahan yakni Ngaji sejarah yang digagas sejak 2019, lalu kemudian gagasan Grebek Latar Wingking menjadi wadah untuk belajar bersama-sama dan menciptakan gerakan kebudayaan yang masif.

Grebek Latar Wingking sendiri digagas oleh Mang Huri dan kawan-kawannya sebagai tempat yang bisa di akses oleh siapa saja dan bisa membuat sesuatu yang sifatnya positif.

diskusi sinau art
Persetasi masing-masing kolektif dan saling kenal satu sama lain antara peserta reaidesi dan host di tempat residensi

Selanjutnya di hari-hari berikutnya selaman residensi focus pada mempersiapkan materi dan kebutuhan presentasi akhir residensi. Dalam Persiapan presentasi sangat terasa sekali apa yang disebut dengan kerja kolaboratif dan kerja kolektif, saling bantu membantu untuk mempersiapkan apa yang masih belum terselesaikan sehingga presentasi akhir residensi berjalan dengan khidmat.

Meskipun waktu presentasi terkendala dengan hujan namun tidak mengubah semangat kawan-kawan sinau art dan kawan-kawan yang lain untuk menikmati dan mendengarkan presentasi kami antar Jhoni Patriatik Karla komunitas Trotoart Jakarta dan saya Ahmad Humaidi komunitas Pasirputih Lombok. 

Baca Juga: MEMBACA JEJAK SENI DI LOMBOK UTARA