Skip to main content

Sejak bulan Januari 2022 lalu. Informasi tentang program Lumbung Indonesia yang bertajuk Lumbung Kelana sudah terdengar. Pasirputih menjadi salah satu yang mengikuti program Lumbung Kelana serta tergabung dari 12 kolektif se Indonesia untuk melaksanakan program tersebut. Lumbung Kelana merupakan program residensi yang diinisiasi Lumbung Indonesia – sebuah platform bersama untuk kolektif seni yang menghidupi dan dihidupi oleh tradisi dan praktik yang berhubungan dengan lumbung. 

Program residensi ini diikuti oleh 11 dari 12 kolektif seni saat ini yang tergabung dalam Lumbung Indonesia. Diantaranya Serbuk Kayu-Surabaya, Hysteria-Semarang, Pasirputih-Lombok Utara, Komunitas Gubuak Kopi-Solok, Rumah Budaya Sikukeluang-Pekanbaru, SinauArt-Cirebon, Trotoart-Jakarta, Komunitas Kahe-Maumere, Forum Sudut Pandang-Palu, Siku Ruang Terpadu-Makassar, dan Gelanggang Olah Rasa-Bandung. Tim Fixer dan Gudskul Ekosistem juga berperan aktif dalam terlaksananya program Lumbung Kelana. 

Masing-masing kolektif yang terlibat akan menjadi tuan rumah residensi sekaligus partisipan dengan mengirimkan perwakilannya untuk bertandang ke kolektif seni yang lain. Selama 14 hari bersama dengan tuan rumah, para partisipan akan saling belajar dan bertukar pengetahuan serta pengalaman, yang hasil temuan dan pembacaannya nanti akan didiskusikan atau dipresentasikan pada hari terakhir program residensi.

Dalam Lumbung Kelana yang menjadi fokus kajian adalah strategi kebertahanan kolektif seni, baik dalam konteks finansial, gagasan, dan juga lingkungan lokal. 

Setelah kami mendengar program tersebut, kami selaku tuan rumah mempersiapkan segala sesuatunya demi keberlangsungan program tersebut. Persiapan itu pun kami mulai dari memperbaiki rumah segitiga yang digunakan untuk penginapan, memperbaiki toilet, memperbaiki dapur, dan kantor pasirputih. Perbaikan tersebut berjalan dalam dua minggu dengan kesiapan fasilitas akomodasi yang mencukupi. Setelah perbaikan, kami juga mempersiapkan partisipan yang akan kami kirim untuk mengikuti program Lumbung Kelana. Terpilihlah Ahmad Humaidi dan Hujjatul Islam. Kedua partisipan pasirputih lokasi residensinya berbeda. Ahmad Humaidi (disapa Onyong) residensi ke SinauArt-Cirebon sedangkan Hujjatul Islam disapa Jatul residensi ke Rumah Budaya Sikukeluang-Pekanbaru. Tanggal delapan belas januari mereka pun berangkat dari Lombok menuju dua lokasi residensi tersebut. 

Keberangkatan Onyong dan Jatul berbarengan dengan kedatangan dari dua Seniman residensi dari dua kolektif yang berbeda. Husin dari kolektif Rumah Budaya Sikukelung, Pekanbaru dan Hafis dari kolektif Gubuak Kopi, Solok, Sumatera Barat. Akan tetapi kedua seniman tersebut kedatangannya telat dikarenakan ada miskomunikasi dengan pihak bandara Jakarta. Akhirnya mereka mengudara ke Lombok pada esok harinya. 

Esok harinya, mereka pun mengudara dan langsung ke markas pasirputih. Hujan saat itu baru reda. Handphone pun berbunyi. Dalam panggilan handphone ku bertulis Hafis Gubuak Kopi. Saya pun mengangkatnya dan mengabarkan kebingungan dengan map yang saya kirimkan. Bingung karena map tersebut mengantarkan mereka ke jalan berbeda. Saat Hafis menjelaskan, karena dia pertama kali ke Lombok dan belum tahu jalur-jalurnya. Akhirnya mereka memberikan pak sopir untuk ngobrol dengan saya. Karena sama-sama menggunakan bahasa Sasak, akhirnya mereka pun tiba di jalan masuk menuju markas pasirputih. Setiba di pasirputih, karena hujan baru saja reda, air pun masih bergelinang di halaman. Biasanya tamu yang ke pasirputih kami langsung mengajak duduk di berugak. Tapi karena kondisi berugak saat itu ramai dan air banyak bergelinang di halaman kami pun mempersilahkan mereka duduk di kantor kerja pasirputih.  

Bincang-bincang perihal seni dan kolektivitas

Kami pun duduk, ngobrol, ngerokok dan minum kopi. Obrolan hari pertama kedatangan mereka sebatas perkenalan dan menanyakan pengalaman perjalanan sampai di pasirputih. Setelah ngobrol-ngobrol, kami mengajak mereka untuk menikmati pantai Sejuk Sire, Tanjung Lombok Utara. Untuk hari pertama ini, sengaja kami mengajak ke pantai untuk menghibur atas kepenakan selama perjalanan. Di Pantai Sira ada Moza. Moza merupakan teman kecil Gozali yang kebetulan juga ia membuka warung di Pantai Sira. Kami pun memesan kopi dan jajanan untuk menemani kami menikmati pantai. Seiring berjalannya waktu, Moza pun bercerita tentang kunjungan wisatawan selama pandemi ini. Kunjungan wisatawan masa pandemic ini memang jauh berubah dibandingkan hari-hari normal seperti sedia kala.

Berkunjung ke Pantai Sejuk Sire yang masih asri

Kunjungan masa-masa ini bisa dihitung dengan jari. Walaupun kunjungan wisatawan yang kurang, Moza tetap membuka warung sambil bersih-bersih di bibir pantai sekitaran warungnya. Ia tetap optimis bahwa pariwisata akan pulih kembali seperti sediakala. Obrolan semakin menarik sampai mentari tenggelam dan memancarkan cahaya kekuningan di langit. Munculnya cahaya tersebut memunculkan hasrat kami untuk mengabadikan momen tersebut, terlebih lagi Husin dan Hafis. Dengan girang mereka selfi cahaya tersebut menjadi latarnya. Setelah itu kami pun kembali ke markas pasirptuih untuk beristirah menyambut hari esoknya. 

Pagi pun tiba, Kegiatan selanjutnya yakni presentasi pasirputih, Sikukeluang dan Gubuak Kopi serta penyusunan kegiatan agenda kegiatan seniman residensi selama dua minggu di Pasirputih, Lombok Utara. Presentasi pasirputih dibawakan oleh Muhammad Gozali selaku direktur. Gozali (kami menyapanya) memberikan gambaran secara umum kegiatan, program dan praktik-praktik pasirputih serta gambaran umum Lombok Utara. Dalam presentasi tersebut, Gozali menceritakan dari awal pasirputih dibentuk sampai kegiatan, praktik dan program yang dilaksanakan selama ini. ‘’Pasirputih dibentuk tahun 2010 setelah workshop literasi media yang dilaksanakan oleh Forum Lenteng Jakarta’’. Dari workshop itulah, akhirnya membawa kepekaan setiap partisipan pasirputih untuk melihat dan membaca kembali potensi sekitar. Direspon-lah potensi-potensi sekitar tersebut melalui tulisan dan video. Sejak itulah pasirputih aktif dalam menulis dan muncullah program berajahaksara.org. Website ini sebagai media penyaluran karya tulis partisipan dalam merekam peristiwa sekitar.

Para Partisipan sedang belajar membuat karakter Wayang dari medium kardus

Selain menulis, partisipan pasirputih pun aktif dalam membuat video. Dari sinilah kemudian muncul program Kanal Pasirputih. kanal pasirputih pada awalnya memancing keaktivitasan partisipan dalam merekam persitiwa. Dengan berjalannya waktu dan evaluasi, dalam program kanal ini muncul program Donasi Video warga. Setelah itu, Gozali memperkenalkan program-program yang ada di pasirputih diantaranya BerajahAksara, Bioskop pasirputih, Kelas Wah, Bangsal Menggawe, Aksara Tani, The Framist, Kanal pasirputih dan Bale Data. Nah lewat program-program ini kemudian sebagai bentuk strategi mengaktivasi arsip serta peristiwa-peristiwa sosio-kultur warga di Lombok Utara. Selain pasirputih, Gozali juga menceritakan potensi dan gambaran secara umum Lombok Utara. Baik potensi geografis, sosial, seni dan budaya di Lombok Utara. Setelah Gozali presentasi, setiap coordinator program pasirputih. bercerita terkait tentang gagasan dan kegiatan yang dilakukan setiap program pasirputih. 

Setelah partisipan pasirputih presentasi, di lanjutkan ke Hafis dan Husin. Hafis mempresentasikan kerja-kerja dan prkatik yang di lakukan di Gubuak Kopi dan kerja individunya. Hafis menyinggung kerja dan praktik yang dilakukannya di Solok. Seperti Tenggara Festival, Lapuak-Lapuak di Kanjangi, Silek dan masih banyak lagi. Praktik dan kerja-kerja sebenarnya agak sama dengan pasirputih.

Di Gubuak Kopi juga dalam merekam potensi Solok memilih medium tulisan dan video. Dari hasil perekaman potensi tersebut kemudian dibaca ulang untuk melihat kemungkinan-kemungkinan baru dalam program-program yang diinisiasi.

Setelah Hafis. Husin melanjutkan presentasinya tentang kerja dan prkatik-praktik yang dilakukan di Sikukeluang. Dalam ceritanya ia menyinggung latar belakang partisipan Sikukeluang. Latar belakang partisipannya berbeda-beda. Selain itu juga, Sikukeluang memanfaatkan seni sebagai media respon terhadap peristiwa yang terjadi di sekitar. Seperti salah satu contoh festival Musik Rimbang Baling. Festival ini digagas untuk menyalurkan gagasan yang dibicarakan Sikukeluang. Karena hutan sangat dekat dengan mereka, akhirnya isu-isu yang berkaitan dengan lingkungan menjadi gagasan kerjanya. 

Presentasi kolektif pasirputih, Husin (Rumah budaya sikukeluang dan Hafis (Gubuak Kopi)

Setelah semua diantara kami presentasi. Penyusunan timeline kegiatan selama dua minggu di pasirputih, Lombok Utara. Dalam penyusunan ini ada beberapa kegiatan yang jalani, pertama Mentabeq (meminta izin) ke tokoh masyarakat, pemerintah setempat dan seniman serta budayawan di Pemenang dan Lombok Utara. Setelah kegiatan mentabeq. Kegiatan selanjutnya adalah jalan-jalan dan silaturahmi ke sanggar, komunitas, seniman dan budayawan di Lombok Utara. Selanjutnya Bincang kolektif. Bincang kolektif ini menjadi ruang bagi seniman residensi dan kawan-kawan seniman maupun budayawan di Lombok untuk berkenalan. Bincang kolektif ini dipilih dikarenakan tidak cukup waktu untuk menjangkau kawan-kawan seniman di Lombok.

Selanjutnya Workshop Dongeng dan Seni Rupa bersama ibu guru paud di Pemenang. Pada kegiatan workshop ini, kami mengajak ibu guru paud karena di dalam pengajaran paud ada pelajaran mendongeng. Nah, lewat workshop ini ingin mengajak ibu guru paud untuk mengidentifikasi cerita rakyat yang dekat dengannya, menyusun cerita di setiap karakternya baik alur dan tema cerita serta membuat karakter dengan pendekatan seni rupa. 

Pameran Wayang sebagai medium belajar oleh Komunitas Pasirputih

Lalu kegiatan terakhir kami adalah presentasi akhir. Presentasi akhir ini mencoba memamerkan hasil perjalanan seniman, temuan-temuan seniman serta hasil workshop bersama ibu guru paud. Pada presentasi Akhir ini kami mengangkat tema WaranTa. WaranTa diambil dari kosakata bahasa sasak Lombok Utara. Waran berarti cerita. Cerita dalam hal ini adalah cerita seniman residensi dan host selama berproses dua minggu di Lombok Utara. Sedangkan Ta berasal dari kata Ita yang berarti kita. Kita dalam hal ini merujuk pada seniman dan host. Pada presentasi akhir dengan tema WaranTa ini kami pilih untuk menceritakan perjalanan dan temuan seniman residensi dan host selama dua minggu. Adapun kegiatan dalam presentasi akhir WaranTa ini seperti Pameran Peta Perjalanan, Pameran Sketsa hasil respon seniman terhadap arsip pasirputih dan sketsa peristiwa, Pameran Wayang Kardus hasil workshop seniman dan ibu guru paud Pemenang, Seniman Memasak, Video Kegiatan dan Temuan, dan Video Waran Wayang Kardus oleh ibu-ibu guru paud Pemenang.