Skip to main content

Oleh : Ahmad Nawawi, M.Pd

3 Desember 2024 pada jam 17:59, saya dan tim residensi Pekan Kebudayaan Nasional-PKN-dengan tema “kedaulatan pangan” -Fase rawat pekan kebudayaan nasional- memasuki desa Atakore, Kecamatan Atadei, Kabupaten Lembata NTT. Kedatangan kami disambut oleh kepala desa serta jajarannya, Simon Kera Wawin selaku tuan tanah asli watuwawer/atakore, beberapa tokoh adat, mama-mama bersanggul kain adat dan beberapa tokoh pemuda. Prosesi sambutan adat dimulai dengan kata-kata sambutan dari tuan tanah menggunakan bahasa daerah kemudian dilanjutkan dengan prosesi perjamuan tuak yang diisi dalam wadah bambu dan diminum dengan wadah batok kelapa yang dibentuk seperti mangkuk. Sebelum meminum, tuak terlebih dahulu ditumpahkan sedikit ke tanah sebagai bentuk penghormatan pada bumi. Kata mex-salah satu tim residensi- hidup dan besar di bawah pohon tuak menjadikan tuak sebagai minuman berharga di setiap daerah NTT.

Ritual penyambutan dengan meminum tuak
menumpahkan tuak ke tanah sebagai bentuk penghormatan kepada bumi
ketika di aula kantor desa Atakore

Setelah semua tetua dan perwakilan dari tim residensi meminum tuak, kami dipersilahkan untuk memasuki aula kantor desa Atakore yang masih sangat sederhana. Di aula kantor desa itu tergantung papan data penduduk desa Atakore. ada meja kayu dan kursi plastik berjejer, lalu di belakang ada lemari berisi buku-buku bacaan dan beberapa barang imventaris desa. Di papan kependudukan itu, tercatat data penduduk dari bulan Agustus 2024 ada 239 KK secara keseluruhan dengan jumlah profesi sebagai petani 227 KK, pensiunan PNS 6 KK dan pengusaha 6 KK. Dari 239 KK itu, jumlah laki-laki secara keseluruhan ada 324 jiwa sedangkan perempuan ada 373 jiwa. Jika ditotalkan jumlah jiwa di desa Atakore sebanyak 700 jiwa dan rata-rata berprofesi sebagai petani dan peternak.

lapangan tempat melakukan ritual adat

Pada musim hujan, lembah perbukitan atakore menghijau. Pohon-pohon menganak udara segar, petani mulai menebar benih, peternak mengembalakan kambing, sapi dan babi mereka, lalu harapan untuk hidup digantungkan pada nenek moyang yang mengatur alam semesta melalui ritus-ritus yang dipersembahkan untuk leluhur. Di depan kantor desa, terdapat hamparan tanah luas yang biasa dijadikan sebagai lokasi berkumpulnya warga untuk melakukan ritual-ritual adat. Lalu di samping kantor desa, di dataran yang agak sedikit lebih tinggi, berdiri gereja dan di depan gereja ada makam salah satu pemuka agama katolik. Sedangkan di arah belakang gereja, berdiri rumah adat suku wawin dan beberapa tempat yang dianggap sakral oleh masyarakat setempat.
Desa atakore atau yang dulu bernama watuwawer, tidak bisa dipisahkan dari dapur alam atau ina karun- sebuah lokasi yang mengeluarkan hawa panas dari bumi yang sejak dulu dikelola oleh suku puhun dan suku wawin sebagai lokasi memasak makanan.

Sambutan kepala desa, kiri kepala desa pak petrus, kiri ne ketua komunitas langit jingga film.

Dari cerita bapak Petrus Ata Tukan-penulis buku Himpunan Cerita Budaya Desa Atakore- bahwa neneq moyang suku wawin dan suku puhun diyakini keluar dari dalam tanah di karun. Lalu lubang tempat mereka keluar itu disebut “melo. Lokasi dapur alam atau masyarakat menyebutnya dengan istilah ina karun dahulu bernama “Muda Gedo”. Dalam mitologi masyarakat atakore, ina kar merupakan orang pertama yang tinggal dan menetap di sana. Dikisahkan pada suatu malam, Ina Kar ingin membersihkan dan merapikan rambutnya dalam rangka untuk menghadiri pesta. Ia kemudian memarut kelapa dan membuat santan kelapa lalu disimpan dalam wadah bernama kelau –kulit buah-. Mereka kemudian bersemangat menghadiri pesta dengan pakaian, tarian, dan beberapa syair yang dipersembahkan untuk leluhur. Ketika ina kar sedang membasahi rambutnya, sebagian dari nyala damar-alat penerang- itu berubah menjadi arang. Dengan kekuatan tangannya, ia kemudian melepaskan arang itu agar nyala tidak terganggu. Ketika arang itu dilepaskan maka jatuh dan mengenai santan kelapa, akhirnya lokasi itu mendidih dan menjadi panas serta diiringi dengan bunyi dari dalam tanah- yang sampai sekarang masih terdengar. Karena lokasi ina karun itu semakin hari semakin panas, maka warga suku wawin pindah ke Nubo woloi. Kemudian mereka berpindah lagi ke Watuwawer dan menetap di tempat itu sampai sekarang.

Saya melihat ada hal lain yang menarik untuk dikulik selain dapur alam yaitu bagaimana sistem pertanian di desa atakore. Setelah pertemuan di kantor desa itu selesai, semua tim residensi kemudian dibagikan rumah penginapan yang secara langsung berbaur dengan warga setempat. Saya dengan kaka Diki Senda mendapat lokasi penginapan di rumah mama tina dan bapak (saya lupa namanya) sepasang suami istri yang memiliki anak 3, dua di antara mereka sedang bekerja di luar daerah dan satu masih sekolah tingkat menengah. Mama tina dan suaminya berprofesi sebagai petani yang menggarap lahan cukup luas,”memenuhi kebutuhan kami setahun” tutur beliau ketika saya tanya sembari santai minum kopi. mama tina dan suaminya bercerita bahwa mereka bertani untuk mencukupi kebutuhan hidup tahunan, semua hasil panen mereka simpan dan ketika mereka membutuhkan uang untuk keperluan lain seperti biaya pendidikan dan kesehatan, mereka akan membawa hasil panen ke pasar atau menunggu pemborong dari luar pulau datang, biasanya mereka datang dari Jawa.

bersilaturahmi ke rumah mama Tina

Dari cerita mama tina dan suaminya, rasa ingin tahu saya berkembang dan menjalar pada metode mereka menyimpan bahan pangan dan lokasi mereka menyimpan bahan pangan. Saya tidak langsung menanyakan itu pada mereka, karena mengingat bahwa akan ada narasumber lokal yang akan membahas seluruh potensi alam, ritual adat dan dapur alam yang ada di atakore.
Setelah ngobrol dengan mama tina, saya kemudian beranjak menuju kantor desa untuk mendengarkan pemaparan materi yang akan disampaikan oleh narasumber lokal yaitu bapak petrus. Di sepanjang perjalanan menuju kantor desa, saya melihat jagung tumbuh subur, lalu di sela-selanya tumbuh juga kacang-kacangan, ubi dan juga di beberapa halaman rumah warga ada cabai yang tumbuh dengan jagung. Di atakore, halaman rumah tidak dibiarkan kosong tanpa hasil, biasanya pohon buah seperti mangga, pisang dan alpukat kemudian jagung dan beberapa tanaman yang menjadi kebutuhan pangan. Halaman rumah kemudian menjadi aset tabungan pangan warga pada musim panen. Saya kemudian menyangka bahwa masyarakat atakore telah mempraktikan sistem pertanian tumpang sari jauh sebelum konsep tentang sistem itu diperbincangkan di ruang-ruang akademik. Sistem pertanian tumpang sari adalah pola tanam yang dilakukan dengan menanam lebih dari satu jenis tanaman dalam satu lahan pada waktu yang sama, misalnya menanam jagung disertai dengan menanam kacang-kacangan, kedelai, ubi-ubian dan bisa juga sayur-sayuran. Di atakore, saya banyak menemukan jagung ditanam dengan kacang-kacangan dan juga ubi. Di beberapa lahan saya menemukan jagung dengan sayuran, dan jagung dengan cabai. Sistem ini sebetulnya untuk menjaga-jaga jika jenis tanaman lain itu gagal, maka ada jenis tanaman lain yang bisa diharapkan panen.

Mendengarkan pemaparan seputar ritual adat dan sistem kebudayaan dalam bertahan hidup bagi masyarakat Atakore

Dalam proses penyampaian materi, bapak petrus sama sekali tidak menyinggung tentang sistem pertanian di atakore, beliau banyak berbicara tentang ritual dan rumah adat. setelah usai menerima materi, saya kemudian menanyakan kepada beliau tentang bagaimana cara masyarakat dulu menyimpan hasil panen mereka sampai bisa bertahan tahunan? Dia kemudian menjawab dengan tenang, mata pak petrus bulat dan berkecap karena terharu melihat pemuda memperbincangkan soal-soal kebudayaan dan pangan yang sudah dianggap jauh dari model potret hidup di zaman sekarang. Dia kemudian menjelaskan bahwa dulu, masyarakat di Atakore menyimpan hasil panen dan benih mereka di sebuah lumbung yang mereka sebut dengan nama Wetak. Model wetak hampir mirip seperti rumah adat, yang membedakan hanya fungsinya saja. wetak berfungsi sebagai lumbung dan penyimpanan benih unggul. Dan dibawah wetak biasaya digunakan untuk memasak. Menurut bapak Petrus Ata Tukan, karena perkembangan zaman dan perubahan karakter masyarakat dari hari ke hari, membuat keberadaan wetak punah. Kini masyarakat menyimpan makanan mereka langsung di dalam dapur pribadi saja.
Setelah selesai memberikan materi, lalu bapak Petrus mengajak kawan-kawan kolabolator menemui tuan tanah untuk diberikan simulasi bagaimana ritus “Ploe Kwar” dikerjakan. Ritus Ploe Kwar jika dilihat dari susunan katanya memiliki arti “memperlihatkan jagung” namun dalam ritus ini yang berlokasi di ina karun atau dapur alam, adalah acara mempersembahkan, memberi makan hasil panen baru, bersyukur dan memohon restu dan perlindungan kepada leluhur pada usaha tanam selanjutnya. di sela-sela simulasi itu, saya menyempatkan ngobrol dengan bapak petrus kemudian memastikan apakah benar masyarakat menanam dengan sistem tumpang sari. Bapak petrus kemudian membenarkan asumsi saya dan beliau menambahkan bahwa masyarakat petani mulai menebar benih ketika telah memasuki musim hujan, sistem itu dikenal dalam ruang akademik dengan sistem tadah hujan. Sistem tadah hujan adalah sistem pertanian yang mengandalkan curah hujan untuk bercocok tanam tanpa menggunakan irigasi. Sistem ini termasuk sistem irit biaya karena tidak memerlukan pengeluaran modal untuk pembuatan irigasi, dan biasanya sawah atau lahan tadah hujan dipanen setahun sekali. Sistem ini sesungguhnya mudah, namun tantangannya adalah ketika menghadapi perubahan iklim dan ketidak pastian curah hujan yang semakin tidak stabil bahkan tidak menentu.
Di atakore, bahkan di desa-desa lain, ada sumur besar yang digunakan untuk menampung air hujan. Air hujan digunakan untuk mandi dan keperluan lainnya. Air hujan yang jatuh ke genteng, dibuatkan pipa aliran menuju sumur besar. Saya teringat kebiasaan sebagian warga di daerah Lombok Timur-tepatnya di desa-desa yang selalu kekeringan- mereka juga mempunyai tradisi memanen air hujan untuk kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan tanaman dan ternak mereka ketika musim kemarau tiba.

Ina Karun dalam ritus ploe Kawar

Sebagai masyarakat yang hidup jauh dari perkotaan, petani di atakore pun tidak terselamatkan dari ketergantungan pada pupuk kimia dan pestisida. Dari keterangan yang disampaikan oleh kepala desa sebetulnya mereka masih ingin terus mempertahankan sistem atau cara bertani tradisional yang diwariskan oleh para pendahulu. Namun yang menjadi masalah adalah ketika program bantuan dari pemerintah pusat berupa benih, pupuk, pestisida dan bansos lainnya harus didistribusikan kepada masyarakat. Bantuan-bantuan itu tentu sangat bermanfaat tapi di sisi lain, dengan adanya benih pabrikan, pupuk buatan dan pestisida yang masuk maka lambat laun akan merubah model bertani warga. Perubahan teknik bertani tentu jangan dianggap hal yang biasa, sebab pada waktu kita mengubah cara kita menanam pangan, kita sedang mengubah pangan kita, mengubah masyarakat dan mengubah nilai-nilai kita. Begitulah hubungan sebab akibat antara manusia, pangan, lingkungan dan kebudayaan. jika melihat pertanian hanya berakhir pada ranah produksi pangan, maka ujung dari itu semua adalah peningkatan jumlah produksi yang akan merembet pada penggunaan bahan-bahan kimiawi yang sama sekali tidak baik untuk keberlanjutan ekosistem alam. Di atakore, saya membayangkan pernah terjadi metode pertanian alami yang ditawarkan oleh Masanobu Fukuoka, sebuah metode pertanian yang bekerjasama dengan hukum alam tanpa harus menguasai apalagi merusak alam. Kufuoka tidak pernah menggarap lahannya, dia hanya memakai jerami sebagai mulsa alami lalu kemudian menebar benih dan membiarkannya hidup berdampingan dengan gulma. Menurutnya, hama jahat perusak tanaman seimbang dengan hama baik yang membantu tanaman untuk hidup. Alam telah memiliki aturan keseimbangan yang tidak perlu diatur apalagi diubah sesuai dengan kebutuhan nafsu manusia.

Rehat sejenak sambil menikmati sajian bersama teman-teman residensi


Saya kemudian mencoba melihat kondisi ekonomi dan kesejahteraan masyarakat atakore yang masih dibawah rata-rata sedangkan mayoritas mereka adalah petani yang memproduksi pangan, saya teringat kemudian tulisan Gunawan Wiradi dalam bukunya “Reforma Agraria perjalanan yang belum berakhir” beliau menekankan bahwa sesungguhnya petanilah sebenarnya penentu hidup mati manusia. Lantas dari itu kemudian banyak pertanyaan menggelinding di kepala saya, kenapa masyarakat pedesaan yang memproduksi pangan mereka sendiri masih bisa mengenal kelaparan, sementara di kota-kota yang tidak memproduksi pangan malah kelebihan makanan? Pertanyaan senada pernah diutarakan oleh spitz pada tahun 1979. “Mengapa masih saja ada ratusan ribu orang, laki-laki dan perempuan yang menggarap tanah di Asia, Afrika dan Amerika, yang telah menabur benih, memanen hasil, mengembala ternak, mati kelaparan karena kekurangan pangan? Sementara mereka mati kelaparan, orang-orang yang tidak menghasilkan apapun, masih tetap hidup bahkan kelebihan makanan?” pertanyaan spitz itu sesungguhnya telah banyak saya saksikan di desa-desa dimana pangan dihasilkan. Dan semua itu tentu karena sistem sosial ekonomi yang tidak berpihak pada lapisan kaum miskin. Bahkan disebagian tempat, mereka menjual jagung, ubi dan sebagainya salah satunya hanya untuk membeli beras.


Demikianlah, di Atakore panen jagung dirayakan, sebuah gambaran masyarakat yang memang sejak dulu bergantung hidup pada hasil bumi yang melimpah. Masyarakat yang selalu menggantungkan diri dari sumber daya alam mereka. Lalu di ina karun, mereka menaruh harapan agar leluhur memberkati hasil panen mereka berikutnya, di sisi lain, mereka harus berjibaku dengan sistem dan model pertanian modern yang dianggap bisa meningkatkan produksi namun lambat laun akan membuat mereka melupakan cerita-cerita rakyat yang mereka miliki, kebudayaan dan ritual adat yang mereka miliki dan jika semua itu telah hilang, maka bahasa dan keterangan tentang sistem pertanian tradisional akan hilang dan punah.

“Ooo angin ooo, pane mei bulek ye wuhun woloye il wokai. Pane mei helem lau loyo. Leu miteme leu leote. Oo angin ooo monek ro ooo” (syair yang diucapkan suku wawin ketika meminta angin rebut menjadi teduh, saya merubah sedikit terjemahannya)
(oo angin gelombang modernisasi, ooo pergi darii gunung dan bukit. Pergi dan bersembunyi di laut yang dalam dan menetap di tempat yang gelap gulita. Ooo angin ooo)