Skip to main content

Penulis: Mashur Khalid

Pagi di Dusun Karang Subagan Daya selalu dimulai dengan riuh suara anak-anak. Dari sebuah bangunan sederhana bercat hijau muda, tawa mereka terdengar bersahutan, kadang diselingi lagu-lagu anak yang dilantunkan dengan penuh semangat. Di sanalah TK Maca Pasirputih (selanjutnya disebut TK Maca) berdiri—sebuah lembaga pendidikan formal untuk anak usia dini yang lahir dari keyakinan bahwa belajar tidak semestinya kaku dan jauh dari kehidupan sekitar. Di tempat ini, huruf dan angka dipelajari berdampingan dengan kisah tentang laut, sawah, dan kampung mereka sendiri.

TK Maca bukan sekadar ruang belajar, melainkan juga ruang tumbuh bagi imajinasi dan keberanian. Lembaga ini digagas oleh kolektif Pasirputih pada tahun 2022, sebuah komunitas seni dan budaya yang sejak lama aktif di Pemenang, Lombok Utara. Dengan semangat yang sama seperti kegiatan-kegiatan mereka sebelumnya—menghidupkan kembali nilai lokal, memperkuat gotong royong, dan membangun kesadaran kritis—Pasirputih menjadikan TK Maca sebagai perpanjangan dari cita-cita pendidikan yang membumi. Ia berdiri bukan hanya untuk mengajarkan anak membaca dan berhitung, tetapi juga untuk menumbuhkan rasa cinta terhadap lingkungan sosial dan alam tempat mereka hidup.

Berada di bawah naungan Pasirputih, TK Maca memantulkan cara pandang kolektif itu dalam kesehariannya. Letaknya di Dusun Karang Subagan Daya, Desa Pemenang Barat, Kecamatan Pemenang, membuat sekolah ini tak pernah jauh dari denyut kehidupan masyarakat pesisir. Di halaman belakangnya, anak-anak sering bermain sambil mengumpulkan daun kering sembari menikmati semilir angin yang bertiup dari laut. Kegiatan belajar kerap berpindah dari dalam kelas ke halaman warga yang menanam sayur. Di sanalah pendidikan menjadi sesuatu yang alami—tidak terpisah dari kehidupan, melainkan berkelindan dengannya.

TK Maca dikelola oleh Martini Supiana (sehari-hari disapa Ana), seorang perempuan yang telah lama berkecimpung dalam kegiatan seni dan pendidikan anak usia dini. Ia tidak sendiri. Bersama lima perempuan Pemenang lainnya—Eni Supiana, Wahyunnisaq, Windi, Sri Wahyuni dan Fida—Ana membangun suasana belajar yang hangat dan partisipatif. Mereka bukan sekadar pengajar, tetapi juga pendengar dan pendamping yang menganggap setiap anak memiliki caranya sendiri untuk memahami dunia. Di tangan mereka, TK Maca tumbuh menjadi ruang yang lembut namun kuat: tempat di mana pendidikan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, bukan beban yang harus dihafal, melainkan pengalaman yang dijalani bersama.

Sebagai lembaga pendidikan formal, TK Maca Pasirputih memiliki cara pandang yang khas terhadap konsep belajar. Di bawah bimbingan Pasirputih, sekolah ini menggagas kurikulum yang menitikberatkan pada seni dan budaya lokal—dua hal yang dianggap tidak hanya sebagai pengetahuan, melainkan juga sebagai cara hidup. Seni di TK Maca tidak berdiri sebagai mata pelajaran tersendiri, melainkan sebagai pendekatan untuk menyampaikan nilai-nilai lokal kepada anak-anak. Melalui gambar, lagu, gerak tubuh, dan permainan, anak-anak diajak memahami dunia mereka dengan cara yang menyenangkan dan penuh makna. Di setiap tembok kelas yang penuh warna, terselip semangat agar sejak dini mereka mengenali dan mencintai akar budaya tempat mereka tumbuh.

Dalam perjalanan mengembangkan metode belajar yang kontekstual, para pengelola TK Maca memperkenalkan satu kegiatan yang kemudian menjadi ciri khas sekolah ini: mewaran. Dalam bahasa masyarakat Lombok Utara, mewaran berarti bercerita. Kegiatan ini bukan sekadar guru membacakan dongeng di depan kelas, tetapi juga proses bersama untuk mendengarkan, menafsirkan, dan berbagi pengalaman. Setiap minggu, guru-guru TK Maca akan duduk bersama anak-anak di lantai, kadang di halaman Pasirputih, membentuk lingkaran kecil. Mereka bercerita tentang legenda lokal, tentang asal-usul kampung, tentang laut yang dijaga, atau tentang tokoh-tokoh yang menanamkan nilai kebaikan dan kerja keras.

Anak-anak mendengarkan dengan penuh antusias, sesekali menyela dengan pertanyaan polos yang justru memperkaya makna cerita. Melalui mewaran, para guru tidak hanya menanamkan kebiasaan mendengarkan, tetapi juga menumbuhkan rasa ingin tahu serta kepekaan terhadap nilai-nilai yang hidup di sekitar mereka. Di akhir cerita, sering kali anak-anak diminta menggambar atau menirukan adegan yang mereka dengar. Dengan begitu, mewaran menjadi pengalaman belajar yang utuh—mengasah imajinasi sekaligus menanamkan nilai-nilai sosial dan moral yang bersumber dari budaya lokal.

Selain mewaran, ada satu kegiatan lain yang menjadi bagian penting dari keseharian TK Maca, yaitu menggibung. Tradisi ini sudah lama dikenal di Lombok sebagai bentuk makan bersama dalam satu wadah atau dulang. Di TK Maca, menggibung dijadikan metode belajar yang melibatkan anak-anak, guru, bahkan orang tua murid. Mereka membawa makanan masing-masing dari rumah, kemudian dikumpulkan dan dinikmati bersama di halaman sekolah. Suasana selalu riuh dan akrab; aroma nasi, sayur, dan sambal bercampur dengan tawa anak-anak yang berebut duduk di dekat guru favorit mereka.

Kadang, kegiatan menggibung tidak hanya dilakukan di sekolah. Guru-guru TK Maca bersama orang tua murid kerap menggelar acara serupa di tempat lain—seperti di Bangsal Asri, pantai yang letaknya tidak jauh dari pelabuhan Bangsal. Di sana, anak-anak belajar sambil menikmati udara laut, melihat perahu nelayan, dan bermain pasir. Dalam setiap kegiatan, menggibung menjadi lebih dari sekadar makan bersama; ia berubah menjadi ruang belajar sosial yang hidup, tempat anak-anak belajar menghargai kebersamaan dan memahami arti berbagi dengan cara yang sederhana namun menyentuh.

Melalui tradisi menggibung, TK Maca ingin menanamkan nilai gotong royong sejak usia dini. Anak-anak belajar bahwa makanan tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk teman-teman di sekelilingnya. Mereka belajar menunggu giliran dan membersihkan wadah bersama setelah makan usai. Nilai-nilai seperti saling menghormati, kesetaraan, dan kepedulian tumbuh secara alami tanpa perlu banyak penjelasan. Dari hal-hal kecil semacam ini, TK Maca membangun dasar karakter anak-anak Pemenang yang kelak tumbuh menjadi generasi yang tidak tercerabut dari nilai sosial budayanya.

Tidak berhenti di sana, TK Maca juga menginisiasi kegiatan lain yang tak kalah bermakna: lampaq-lampaq. Dalam bahasa Sasak, lampaq-lampaq berarti berjalan-jalan atau tamasya. Namun bagi TK Maca, lampaq-lampaq bukan sekadar kegiatan rekreasi, melainkan juga proses belajar di luar ruang kelas. Anak-anak diajak mengunjungi berbagai situs budaya di Lombok Utara—seperti Masjid Kuno Bayan, Museum Desa Genggelang, dan sejumlah tempat lainnya yang menyimpan jejak sejarah serta tradisi masyarakat.

Setiap perjalanan lampaq-lampaq selalu dimulai dengan cerita singkat dari guru tentang tempat yang akan dikunjungi. Sesampainya di lokasi, anak-anak diajak mengamati, bertanya, dan mencatat hal-hal menarik yang mereka temui. Ada yang kagum melihat ukiran tua di dinding masjid, ada pula yang tertarik dengan alat-alat pertanian tradisional di museum. Bagi para guru, lampaq-lampaq adalah langkah nyata untuk mendekatkan anak-anak dengan khazanah kebudayaan Lombok Utara, agar mereka tumbuh dengan rasa memiliki terhadap warisan yang harus dijaga bersama.

Setiap pagi, halaman TK Maca Pasirputih selalu dipenuhi tawa dan teriakan kecil yang berpadu dengan irama rebana. Anak-anak, dengan seragam warna-warni, berdiri membentuk barisan sambil mengikuti gerakan senam tari rudat yang dipandu oleh Martini Supiana. Gerakannya lincah, penuh semangat, kadang disertai teriakan kecil khas anak-anak yang menirukan aba-aba sang guru. Tak jarang, para orang tua yang menunggu di pinggir halaman ikut larut dalam suasana itu—menepuk tangan, ikut menggerakkan tubuh, atau sekadar tersenyum menyaksikan anak-anak mereka menari. Jika Ana (panggilan akrab Martini Supana) berhalangan, Wahyunnisaq akan mengambil alih peran sebagai instruktur, menjaga ritme dan keceriaan tetap menyala di pagi hari. Kegiatan ini sederhana, namun mengandung makna yang dalam: rudat bukan hanya menjadi bentuk aktivitas fisik, tetapi juga jembatan antara tradisi dan kehidupan sehari-hari anak-anak Pemenang.

Rudat sendiri merupakan kesenian tradisi yang sudah lama hidup di Lombok Utara, terutama di wilayah Pemenang. Ia menggabungkan unsur tari, musik, dan syair pujian yang sering ditampilkan dalam perayaan keagamaan maupun hajatan masyarakat. Di bawah asuhan Zakaria, seorang maestro rudat yang dihormati karena ketekunannya, kesenian ini terus tumbuh dan dikenal luas. Zakaria tidak hanya melatih para penari dewasa, tetapi juga membuka ruang bagi anak-anak untuk mengenal gerak dan irama rudat sejak dini. Di tangan orang-orang seperti dia, rudat tidak sekadar pertunjukan, melainkan juga wahana pendidikan kultural—tempat nilai-nilai seperti kebersamaan, disiplin, dan penghormatan kepada tradisi diajarkan melalui tubuh dan musik.

Pada tahun 2019 lalu, dalam rangka Festival Bangsal Menggawe, rudat mendapatkan bentuk kehidupan baru. Bersama Muhammad Gozali, Zakaria mengeksplorasi kesenian ini menjadi tarian yang lebih terbuka terhadap unsur-unsur kontemporer tanpa kehilangan akar tradisinya. Upaya ini menjadi titik balik penting: rudat yang sebelumnya mulai jarang digemari generasi muda kembali mendapat tempat di hati warga Pemenang lintas generasi. Melalui perekaman dan publikasi di berbagai kanal media sosial, rudat bukan hanya tampil di panggung, tetapi juga hadir di layar-layar gawai masyarakat luas. Kini, berkat kerja-kerja pelestarian dan pendidikan semacam ini, anak-anak TK Maca menari rudat bukan semata mengikuti gerakan—mereka sedang menghidupkan ingatan kolektif, menjaga napas tradisi yang diwariskan dengan penuh kasih dari generasi ke generasi.

Kegiatan senam tari rudat di TK Maca pun akhirnya menjadi salah satu agenda rutin setiap pagi. Di balik gerakan yang ceria dan penuh semangat itu, tersimpan niat yang lebih besar: mendekatkan anak-anak pada kesenian dan tradisi yang tumbuh di sekitar mereka. Melalui tubuh dan irama, mereka belajar mengenal identitas budayanya sendiri—bahwa menjadi bagian dari Pemenang berarti juga menjadi bagian dari tradisi yang terus hidup dan bergerak. Dari sana, TK Maca tidak hanya mengajarkan literasi dan angka, tetapi juga menanamkan rasa bangga dan cinta terhadap warisan seni yang menjadi akar kehidupan mereka.

Sejak berdiri, TK Maca Pasirputih tidak hanya menjadi ruang belajar bagi anak-anak di Pemenang, tetapi juga ruang dialog bagi para seniman yang datang dalam program residensi Festival Bangsal Menggawe. Setiap tahun, ketika festival berlangsung, sejumlah seniman yang berinteraksi dengan masyarakat kerap menjadikan TK Maca sebagai sumber inspirasi atau bahkan ruang kolaborasi. Para seniman melihat bagaimana proses belajar di sekolah ini begitu dekat dengan dunia seni—kreatif, partisipatif, dan terbuka terhadap pengalaman. Di tengah riuh persiapan festival, anak-anak TK Maca sering terlihat terlibat dalam kegiatan seni sederhana: menggambar, bernyanyi, atau membuat instalasi kecil dari bahan alam. Bagi banyak seniman, TK Maca adalah cerminan dari pendidikan yang berpihak pada kehidupan dan imajinasi.

Pada edisi Bangsal Menggawe bulan Mei hingga Juni 2025, perhatian itu datang dari Gisela Maria, salah satu seniman residensi yang cukup intens merespons keberadaan TK Maca. Selama masa tinggalnya di Pemenang, Gisela kerap berkunjung ke sekolah itu, duduk di antara anak-anak, dan mengamati bagaimana guru-guru mendampingi proses belajar dengan cara yang lembut. Ia tidak datang sebagai tamu atau pengamat, melainkan sebagai rekan belajar yang ingin berbagi. Melalui pendekatan artistik yang ia miliki, Gisela membantu guru-guru merancang aktivitas yang memadukan unsur visual, permainan, dan eksplorasi material sederhana—membuat anak-anak belajar tanpa merasa sedang diajari.

Gisela Maria sendiri adalah seniman dengan latar belakang pendidikan Desain Komunikasi Visual. Ia telah lama bekerja sebagai fasilitator kegiatan bagi anak-anak di berbagai komunitas, terutama di ruang-ruang alternatif yang berfokus pada pendidikan non-formal. Baginya, dunia anak-anak adalah ruang yang penuh kemungkinan—tempat di mana rasa ingin tahu, kepekaan, dan ekspresi dapat tumbuh tanpa batas. Dari keyakinan itulah, ia kemudian menginisiasi sebuah ruang belajar bernama children fowerrr, wadah yang menumbuhkan kreativitas anak-anak melalui kegiatan berbasis seni, permainan, dan kolaborasi lintas usia.

Pengalaman dan keyakinan Gisela berkelindan erat dengan semangat yang diusung TK Maca. Ia percaya bahwa anak-anak adalah subjek yang berdaya, bukan sekadar penerima ilmu pengetahuan. Maka, tugas seorang guru bukan lagi mentransfer pengetahuan secara sepihak, melainkan menjadi fasilitator yang mendampingi proses penemuan makna oleh anak-anak itu sendiri. Perspektif ini sejalan dengan praktik yang selama ini dijalankan di TK Maca—di mana guru-guru seperti Martini Supiana dan rekan-rekannya tidak hanya mengajar, tetapi juga belajar bersama anak-anak setiap hari. Dalam perjumpaan semacam ini, TK Maca dan Gisela Maria saling memperkaya: sekolah menemukan inspirasi baru, sementara sang seniman menemukan makna lain dari praktik pendidikan yang hidup di tengah masyarakat.

Kini, sejak diinisiasi oleh Pasirputih, TK Maca Pasirputih tampak semakin tumbuh dan berkembang. Perubahan fisiknya mencerminkan perjalanan yang panjang dan penuh kerja gotong royong. Dulu, anak-anak belajar di bawah bangunan sederhana beratap ilalang, bertiang bambu, dan beralaskan tikar yang menutupi lantai retak. Kini, sekolah itu telah berdiri lebih kokoh dengan bangunan permanen yang tampak rapi dan terang, menjadi ruang belajar yang layak sekaligus hangat. Alat permainan edukatif pun mulai melengkapi sudut-sudut kelas, membantu anak-anak belajar melalui permainan yang kreatif dan menyenangkan. Meski di sisi lain fasilitasnya masih terbatas dan banyak yang perlu dilengkapi, semangat para pengelola dan dukungan masyarakat membuat TK Maca terus bertransformasi menjadi tempat yang tidak hanya mengajar, tetapi juga menumbuhkan harapan tentang pendidikan yang berakar di tanahnya sendiri.

TK Maca Pasirputih kini bukan sekadar lembaga pendidikan formal, tetapi juga penanda bagaimana pengetahuan, seni, dan budaya dapat berpadu dalam satu ruang yang hidup. Dari tangan-tangan perempuan Pemenang yang sabar dan penuh kasih, sekolah ini tumbuh menjadi ruang belajar yang berakar pada nilai-nilai lokal dan kepekaan terhadap lingkungan sekitar. Di setiap cerita yang dituturkan, di setiap gerakan rudat yang diulang, dan di setiap kegiatan menggibung yang digelar, tersimpan keyakinan bahwa pendidikan terbaik adalah yang membuat anak-anak mengenali dirinya sendiri sekaligus dunia tempat mereka berpijak. TK Maca menunjukkan bahwa pendidikan tidak harus megah dan penuh aturan kaku; ia bisa sederhana, tapi tetap bermakna dan membebaskan.

Lebih dari sekadar sekolah, TK Maca adalah cermin dari cara masyarakat Pemenang memaknai pendidikan sebagai bagian dari kehidupan bersama. Ia tumbuh dari semangat kolektif Pasirputih dan warga yang percaya bahwa masa depan dapat dibangun dari hal-hal kecil: dari tawa anak-anak yang belajar membaca di bawah pohon, dari cerita-cerita lokal yang dihidupkan kembali, hingga dari gerak tubuh yang menari mengikuti irama rudat. Semua itu adalah bentuk kesadaran bahwa menjaga kebudayaan berarti juga menjaga masa depan. Di tengah arus modernisasi yang terus bergerak cepat, TK Maca berdiri teguh sebagai ruang kecil yang mengajarkan satu hal besar—bahwa pendidikan sejati selalu berpihak pada kehidupan, pada manusia, dan pada tempat di mana ia tumbuh.

ruhul jihad
RUHUL JIHAD, Penggubah Realitas LokalEsai

RUHUL JIHAD, Penggubah Realitas Lokal

Mohamad TamrinMohamad TamrinDecember 17, 2021
Refleksi 17 Tahun Lombok Utara: Menyulam Ingatan, Menenun HarapanReportase

Refleksi 17 Tahun Lombok Utara: Menyulam Ingatan, Menenun Harapan

Mashur KhalidMashur KhalidAugust 11, 2025
Residensi Seniman; Kisah Sumur Mual dan Sumur TelagaReportase

Residensi Seniman; Kisah Sumur Mual dan Sumur Telaga

Muhammad RusliMuhammad RusliJune 2, 2024