Skip to main content

Oleh: Mashur Kholid

Senja di upuk barat mulai menampakkan diri dari balik deretan bukit Bentek yang menjulang tinggi. Pertanda malam akan segera tiba. Hari itu saya, Siba, Rizal, Ila, dan beberapa kawan lainnya sengaja tidak segera pulang dari Pasirputih, karena sahabat baru kami dari ibu kota akan segera tiba di Pemenang. Sebelumnya, kami memasak lebih banyak dari hari-hari biasa dan membeli ikan bakar serta aneka menu lainnya untuk menjamu mereka ketika telah rauh di tempat baru yang akan ditinggali selama satu bulan kedepan. Sembari menanyakan keberadaan mereka terkini, kami menunggu di bawah pohon Flamboyan yang menjulang tinggi di dekat berugaq Pasirputih.

Dari balik pagar bambu yang nampak lapuk itu terlihat dua sosok berjalan menuju ke arah sekretariat Pasirputih, lengkap dengan tas ransel besar di pundak mereka berdua. Saat itu kami tengah duduk menanti kedatangan mereka. kedatangan mereka kami sembut dengan riang gembira. Mereka berdua adalah Untung Sugiyarto dan Muhammad Aldino, dua orang seniman yang berasal dari kolektif GudRnD-Jakarta.

Kedatangan mereka tentu saja bukan untuk pelesir atau kunjungan ala-ala pejabat, akan tetapi mereka berdua akan residensi di Pemenang. Kedatangan mereka kali ini berkaitan dengan program Baku Konek yang diselenggarakan oleh Ruang Rupa Jakarta dan Dirjen Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan melalui program Managemen Talenta Nasional. Mereka berdua terpilih sebagai peserta residensi seniman. pada bulan Oktober mendatang karya-karyanya akan dipamerkan di Jakarta Biennale.

Kedatangan Seniman Baku konek

Selepas makan malam, kami ngobrol santai dan bertanya-tanya tentang kabar mereka dan juga sahabat kerabat yang ada di seberang sana (maksudnya adalah kawan-kawan GudRnD yang lain). Di sela-sela obrolan itu, tak lupa juga kami mengulik tentang apa gerangan yang membuat Dino dan Untung tertarik memilih Pasirputih sebagai kolaborator dalam program Baku Konek yang tengah dijalani. Nyatanya, memang ketertarikan mereka tak jauh dari keberadaan Mande Plastik yangdiinisiasi oleh Stuffo dan GudRnD pada perhelatan Pekan Kebudayaan Nasional bulan Oktober 2023 lalu. Tentu saja kami tak terlalu jauh ngobrol terkait hal itu, karena malam semakin larut dan dingin kian menyengat tubuh kami. Dari raut wajah mereka juga nampak rasa lelah yang tak mungkin bisa disembunyikan. Kami mempersilahkan mereka untuk menempati kamar yang sudah dipersiapkan sebelumnya, lantas memberi tahu bahwa kami harus balik ke rumah masing-masing, kecuali Rizal yang saat itu bersedia menemani mereka ketika ada kebutuhan-kebutuhan yang tak bisa mereka lakukan sendiri.

***

Mentari pagi menyembul dari upuk timur. Memperlihatkan cahayanya yang indah merekah, disambut oleh kicauan burung sembari beterbangan entah kemana meninggalkan sangkarnya. Kecuali kelelawar tentunya, karena siang hari adalah waktu tidur bagi mereka. Ayam di rumahku juga mulai berkokok berulang-ulang, layaknya alarm yang disetel para pemalas yang terus berbunyi. Tak lama, disambut oleh riuh suara tetangga yang bangun dan mulai beraktivitas. Suara sapu lidi yang saling bergesekan dengan tanah terdengar jelas di telingaku. Hiruk-pikuk kehidupan duniawi yang tak berkesudahan juga mulai terlihat permulaan pagi.

Jam 09.00 Wita, saya berangkat menuju sekretariat Pasirputih, bertemu dengan kawan-kawan yang rupanya sudah berkumpul terlebih dahulu. Seperti biasa, kami selalu berkumpul di sekretariat ngobrol tentang apa saja. Tetapi pertemuan kami hari itu tentu saja sudah terencana sebelumya, karena genderang tahapan kegiatan residensi seniman Baku Konek telah ditabuh, maka kami juga harus mempersiapkan segalanya. Sesampai di Pasirputih, anak-anak TK Maca nampak sedang asyik bermain dengan alat -alat seadanya yang disedikan di halaman sekolah. Rizal, Siba, Gozali, Ila, dan Oka juga terlihat sudah berkumpul di teras depan Mande Plastik. Biasanya kami selalu menggelar rapat di tempat itu. Dari balik jaring-jaring yang menyekat antara dapur dan ruangan Mande Plastik terlihat tumpukan piring dan gelas, serta tusuk ikan berserakan sisa acara semalam yang belum dibersihkan. Tak berselang lama dari kedatangan saya di Pasirputih, dari balik pintu kamar berbentuk segi tiga itu, Dino dan Untung keluar dengan handuk di pundaknya dan menenteng plastik hitam yang berisi sabun, odol, dan sikat gigi di dalamnya lantas berjalan menuju ke kamar mandi.

Rapat Persiapan Residensi

Pagi itu tentu saja menjadi pagi yang pertama bagi Dino dan Untung semenjak tiba di Pasirputih. Udara pagi di Pemenang terasa berbeda dengan di Jakarta. Meski tak dijelaskan secara verbal, tetapi dari gelagatnya setiap pagi tak bisa menyembunyikan kegirangan itu. Selepas mandi, Dino dan Untung segera bergabung dengan kami yang sedang duduk di teras depan Mande Plastik. Kami memulai rapat pertama, tak lain membincangkan tentang persiapan riset, observasi dan penyusunan timeline kerja yang akan dikerjakan oleh seniman residensi.

Satu minggu pertama dari lima minggu yang menjadi rentan waktu residensi, Untung dan Dino akan turun ke lapangan, menyisir segenap penjuru di Pemenang paling tidak Pemenang bagian kota, menjajal sudut-sudut kecil yang luput dari pandangan banyak orang. Observasi lapangan tentu saja bukan hal mudah, melainkan pekerjaan yang cukup rumit karena mereka akan merekam segala hal yang dilihat, bahkan mencatat aneka ragam isu yang mereka temukan. Tak hanya itu, atas ragam peristiwa dan isu yang mereka jumpai, tentu saja mereka dihadapkan oleh bayang-bayang bentuk karya yang pastinya masih abstrak di kepala mereka.

Bertemu pak Yatim, penjahit dan musisi Gareda Temok Girang.

Sore itu mereka menjajal pasar Pemenang, bertemu Pak Yatim seorang penjahit yang setiap hari mangkal disitu. Selain menekuni profesi sebagai penjahit, Pak Yatim juga bergabung dengan sebuah grup musik gambus modern di Pemenang sebagai pianis. Malamnya bertamu ke rumah pak Wahid Hasyim salah seorang pembuat lirik lagu. Bersama Pak Wahid Hasyim, obrolan cukup beragam, dari soal seni budaya hingga nyerempet ke persoalan terkini yang dihadapi warga menjadi tema obrolan malam itu. Pada hari berikutnya, ditemani Ila dan Rizal, mereka berkunjung ke Tempat Pembuangan Sampah (TPS) yang bertempat di Dusun Sumur Mual, Pemenang Barat. Untung dan Dino juga berkunjung ke studio musik gambus modern yang Bernama Gareda Temok Girang.

Bertemu Pak Wahid Hasyim

Penelusuran lapangan yang mereka lakukan beberapa hari itu tidak lantas membuat mereka memiliki kesimpulan seperti apa karya yang akan dibuat. Tetapi sebagai periset, yang tentu saja sudah sering dilakukan oleh Dino dan Untung di tempat lain, mengharuskan mereka untuk menelusuri lebih jauh hingga ke inti persoalan atas apa yang mencuri perhatian mereka. Layaknya periset kawakan, Dino dan Untung ditemani Siba selaku mentor mencatat point-point yang menjadi temuan mereka selama penelusuran beberapa hari. Pada majelis kecil itu, mereka menghimpun isu-isu lingkungan seperti persoalan sampah yang tak tertangani secara maksimal dan persoalan grup musik yang cukup menjamur di Pemenang, tak terkecuali grup musik gambus.

Bertemu L. Mintarja

Untuk memperdalam isu musik gambus di Pemenang, bila hari Dino dan Untung berkunjung ke rumah Madun salah seorang musisi dan pelopor musik gambus di Pemenang. kunjungan kala itu untuk mencari tahu sejarah dan perkembangan musik gambus khususnya di Pemenang. Madun sendiri adalah seorang musisi sekaligus pencipta lagu yang cukup populer di kalangan masyarakat Lombok Utara. Karya-karyanya dalam bentuk lagu cukup banyak yang kemudian memikat penggemar tak hanya dari daerah Lombok Utara tetapi juga dari kabupaten yang lain. Bersama yang lainnya, Madun pernah merintis sebuah kelompok musik gambus yang bernama Gambus Keser Baring-baring, yang kemudian grup musik inilah yang membuat namanya melambung tinggi di jagat permusikan gambus Lombok Utara. Selain itu, namanya juga cukup dikenal khalayak karena bait-bait lagu yang ia dendangkan sangat dekat dengan warga. Beberapa lagu yang telah ia citpakan berjudul Krisis BBM, Merantau ke Malaysia, Lokok Kopang (Sungai Kopang), dan judul lainnya yang mengangkat narasi-narasi kecil di tengah warga.

Bertemu Bang Madun Pegambus Lombok Utara

Cahaya lampu neon di pondok rumah Bang Madun bersinar redup dari balik tirai yang terbuat dari daun kelapa (kami menyebutnya Kelabang). Ditemani istrinya, ia sedang duduk di atas sebuah pelangkan seukuran 1,5 x 2 meter. Perasaan kami sungguh tak karuan melihat kondisi Madun kala itu karena ditimpa penyakit. Kami Memang benar, antara perasaan sedih dan bahagia perbedaannya sangat tipis bahkan setipis kulit ari. Perasaan kami sungguh tak berujung. Bang Madun memang telah cukup lama pensiun dari dunia musik gambus, penyebab satu-satunya adalah penyakit tumor yang sedang ia derita. Musibah itu seperti seolah membunuh kreatifitas yang telah menubuh pada dirinya. Tetapi sebagai manusia, ia hanya bisa pasrah menerima nasib yang telah ditakdirkan. Tentu saja kami sangat empati melihat kondisi Bang Madun yang demikian adanya.

Madun sendiri memang cukup layak disebut sebagai pelopor musik gambus di Pemenang, karena karya dan dedikasinya kadung dikenal khalayak. Atribusi yang melekat pada dirinya bukan semata-mata ia raih begitu saja, tetapi karena perjalanan panjang yang telah ia lalui dengan penuh keringat. Kendatipun kondisinya saat ini memaksanya untuk istirahat dari dunia permusikan, tetapi tidak serta merta membunuh gelora dan semangatnya untuk bermain penting gambus walaupun hanya sekedar untuk menghibur anak dan cucunya di rumah.  

Bertemu Mamiq Kartanah, Tokoh Gambus di Pemenang

Selama observasi dan penelusuran lapangan, Dino dan Untung tidak hanya menemukan jejak Madun sebagai tokoh yang cukup berjasa dalam mengembangkan music gambus di Pemenang tetapi terdapat satu tokoh lagi yang mereka temukan yakni Puk Kartanah. Ditemani Rizal dan Ila, mereka berdua menemui Puk Kartanah di kediamannya di Dusun Karang Baru, Pemenang Timur. Sesampai disitu, mereka menemukan Puk Kartanah dalam kondisi istirahat karena memang usianya cukup senja dan pendengarannya pun sudah tidak normal seperti sebelum-sebelumnya. Jejak puk kartanah dalam mengembangkan musik gambus di Pemenang dimulai dari puluhan tahun lalu. Tepatnya pada tahun 1945 ia telah mulai mendengar dan belajar musik gambus. Tentu saja kala itu usianya masih sangat muda dan segar bugar. Kegirangannya pada music gambus tersebut membawanya untuk merintis sebuah grup yang kemudian dinamakan Gambus Daya Bersinar yang dirintis bersama sahabatnya yang lain. Kartanah juga terlibat dalam pembentukan grup music gambus Keser Baring-Baring bersama Bang Madun. Dalam kelompok musik gambus, Kartanah sendiri dikenal sebagai pemain penting yang cukup lihai dan ia juga dikenal pandai bermain biola.

Berdasarkan penelusuran selama beberapa hari itu, nampaknya isu musik gambus dan hal-hal yang beririsan dengannya mendapat perhatian sendiri di mata Untung dan Dino sebagai seniman residensi. Perkembangan musik gambus di Pemenang dari masa ke masa yang mereka dengar dari penuturan tokoh-tokohnya mebuat mereka cukup yakin tentang keberlanjutan musik gambus tersebut, terlebih jika dikelola dengan manajemen yang baik dan menyesuaikan dengan kebutuhan kekinian. Hingga akhirnya, memasuki minggu kedua, bersama mentor program (Gozali dan Siba) mengadakan rapat untuk menentukan ide dan gagasan karya yang akan dibuat selama masa residensi Baku Konek. Rapat kali ini tidak hanya dihadiri mentor dan dua orang seniman, tetapi juga pemain musik gambus yang tergabung dalam grup musik Gareda Temok Girang, sebuah grup musik gambus yang saat ini eksis di jagat permusikan Lombok Utara.

Makan Bersama dalam rapat persiapan produksi karya bersama Group Temok Girang

Malam begitu sunyi, ditemani dingin yang mulai menusuk tulang belulang kami. Di pawah pohon Flamboyan yang rindang di pojok halaman Pasirputih, kami menggelar terpal berukuran 6×6 meter sebagai alas duduk. Dari mulut gerbang Pasirputih terlihat kawan-kawan grup musik Gareda Temok Girang berdatangan satu persatu. Memet, Miftah, Pak Yatim, Maulana, Ramdan, Irza dan lainnya berdatangan kemudian bergabung dengan kami yang saat itu tengah mengelilingi aneka makanan dan nasi liwet yang sebelumnya telah disiapkan oleh Dino dan Untung. Ketika kami rasa, kawan-kawan yang kami undang sudah hadir semua, satu persatu kami mulai mengambil piring dan menyendok nasi dan aneka kuliner khas Cirebon yang berjejeran di depan kami.

Selepas makan malam kami memulai masuk ke inti persoalan yakni memperbincangkan ide dan gagasan dari karya yang akan dibuat oleh seniman dalam hal ini Dino dan Untung. Keterlibatan kawan-kawan Gareda Temok Girang menjadi sangat penting karena selama proses residensi, mereka akan berkolaborasi untuk membuat alat musik dari tutup botol plastik, kostum dari pakaian bekas, dan pembuatan sya’ir yang nantinya akan didendangkan di akhir masa residensi sebagai presentasi karya. Atas tawaran kolaborasi seniman residensi yang diajukan oleh Siba dan Gozali sama sekali tak mendapatkan penolakan dari kawan-kawan Gareda, tentu saja karena mereka memiliki satu visi yang sama yakni ingin melihat perkembangan musik gambus di Pemenang terus lestaria. Karena siapa lagi yang akan menjadi garda terdepan untuk menjaga keberlangsungan musik gambus di Pemenang, kecuali mereka (Gareda Temok Girang) yang saat ini tengah bersentuhan dengan hal tersebut bahkan usia mereka juga masih sangat muda. Mendengar antusias dan kesediaan mereka untuk berkarya bersama membuat alat musik gambus dari tutup botol plastik, kami segera membicarakan terkait agenda-agenda penting yang dilakukan selanjutnya.  

Di hari-hari berikutnya, Untung, Dino, dan kawan-kawan Gareda terlihat sibuk mempersiapkan semua hal yang dibutuhkan. Dipandu Untung dan Dino, mereka mengumpulkan tutup botol plastik sebanyak-banyaknya dengan aneka warna. Sembari menikmati sunset mereka sengaja menjajal pesisir pantai Sira untuk menghimpun totop botol plastik yang ada di sana. Setelah beberapa hari aktivitas pengumpulan tutup botol plastik itu dilakukan namun di rasa masih cukup sedikit, mereka berkunjung ke pengepul plastik bekas yang ada di Karang Montong, Pemenang Timur. Di tempat pengepul itu, Dino dan Untung tawar menawar jika terdapat tutup botol plastik yang tak dipakai, biar digunakan oleh kawan-kawan untuk membuat karya. Gayung bersambut, pemilik dari pengepul plastik itu bersedia memfasilitasi ide yang ditawarkan Untung dan Dino tersebut.

Mengunungi Pengepul sampah plastik, mencari bahan Tutup Botol

Hari-hari berjalan seperti biasanya. Tutup botol plastik berhasil dikumpulkan dalam jumlah yang cukup banyak. Tibalah pada proses selanjutnya, yakni pembersihan, pengelompokan tutup botol plastik berdasarkan warnanya dan proses pencacahan. Proses demi proses, tahapan demi tahapan dilalui begitu saja. Tak ada aral melintang. Setelah itu, tutup botol yang telah dicacah dengan mesin yang tersedia di Mande Plastik itu dimasukkan ke open untuk dileburkan. Proses pengopenan itu dilakukan selama 30-40 menit. Setelah dikeluarkan baru kemudian dimasukkan ke mal atau cetakan dalam bentuk body penting gambus yang sudah dibuat Rizal sebelumnya. Pak Yatim yang sehari-hari harus bekerja mencari nafkah sebagai tukang jahit di pasar, kini terlihat membagi waktu. Sejak pagi sampai siang hari, ia bekerja di pasar, selepas itu segera menuju ke Pasirputih untuk membuat kostum dengan pakaian bekas dan plastik bekas yang nantinya dijadikan sebagai kostum bagi pemain musik gambus.

Daur ulang limbah plastik memang telah menubuh dengan Untung dan Dino, karena kolektif mereka di Jakarta yakni Gud RnD semenjak didirikan concern pada persoalan tersebut. Tak hanya tutup botol plastik, mereka juga mengumpulkan banner, baleho, spanduk untuk kemudian diolah menjadi bentuk baru seperti meja, kursi lipat, charger, dan bentuk lainnya. Pada kegiatan yang bertajuk Operasi Plastik dalam Pekan Kebudayaan Nasional tahun 2023 lalu mereka berkolaborasi dengan guru-guru TK Maca dan Pokdarwis beberapa desa di Lombok Utara membuat aneka macam produk seperti wayang dari plastik untuk media belajar anak-anak PAUD, tas selempang dari kantong dan spanduk, dompet, dan lainnya. Kegiatan inilah yang sebetulnya menjadi cikal bakal berdirinya Mande Plastik di Pasirputih.

Sketsa alat musik guitar yang akan dibuat dari bahan tutup botol

Masa-masa residensi terus berlalu begitu saja. Semua proses dan tahapan yang disusun telah dilalui oleh seniman dan kawan-kawan Gareda Temok Girang tanpa kendala yang cukup berarti. Selanjutnya, kami kembali mengadakan rapat yang khusus membahas tentang persiapan presentasi akhir. Lazimnya dalam sebuah residensi, presentasi akhir tak sekedar menjalankan tahapan akhir, tetapi sebagai salah satu bentuk pertanggung jawaban seniman kepada warga dimana residensi itu laksanakan. Sebagai sebuah momentum yang ditunggu-tunggu, tentu saja kami mempersiapkan presentasi yang matang hingga dapat dinikmati oleh seluruh pengunjung nantinya.

Setelah menyepakati sebelumnya, bahwa presentasi akhir seniman dalam program ini berbentuk pertunjukan musik gambus yang tentu saja mengundang keramaian, tentu saja kami mencari lokasi yang referesetatif untuk sebuah pertunjukan musik. Dari beberapa tawaran, kami menyepakati Kawasan Pokdarwis Bangsal Asri yang cukup dekat dengan Pelabuhan Bangsal Pemenang sebagai lokasi. Selain itu juga, kami tetap berkoordinasi dengan pihak kepolisian untuk mendapatkan izin dan pengamanan atas penyelenggaraan acara tersebut.

Sketsa Guitar dalam flat plastik
Memilah warna botol menciptakan corak dan motif
Mengadadon plastik tutup botol

***

Debur ombak terdengar jelas di telinga. Menghantam perahu-perahu dan boat yang bersandar menghadap tiga gili. Angin bertiup cukup kencang. Hampir saja menerbangkan kelir yang terbuat dari plastik bekas yang kami pasang sebagai baground panggung pertunjukan. Suara penting Rizal mulai terdengar menggoda. Seolah memanggil setiap manusia yang enggan untuk berkarya. Satu persatu pengunjung berdatangan dari balik gedung Angkatan Laut yang berwarna biru muda itu. Menenteng tikar dan aneka cemilan di tangannya.

Ini penting bukan sembarang penting

Ini penting alat music khas Lombok

Ini penting terbuat dari limbah

Tutup botol jadi andalan

Sampah plastik bukan masalah

Gareda merespon dengan baik

Kini Gareda menjadi lebih keren

Dengan konsep recycle sampah

Gareda mengajak kalian

Untuk bertanggung jawab atas sampah kalian

Konser GAREDA, Rizal sebagai vokalis.

Lirik lagu ciptaan Gareda Temok Girang yang didendangkan Pak Kamil mengudara di langit Pemenang. Bunyi piano yang dimainkan Pak Yatim dan petikan gitar bass dari tangan Alex mengiringi suara yang keluar dari mulut sang vokalis. Tabuhan gendang khas Gareda Temok Girang juga mulai terdengar menyusuli. Disambut dengan bunyi alat musik lainnya. Gubahan lirik lagu yang telah diistrumentasi itu menambah syahdu sore hari di pesisir pantai Bangsal. Membersamai setiap pengunjung yang mulai berdatangan menyaksikan pertunjukan sembari menikmati senja sore itu.      

Tampak depan, pentas GAREDA Temok Girang. di Bangsal Asri, Pesisir Utara – Pemenang

Dari proses residensi seniman dalam program Baku Konek yang dimana karya-karyanya lebih fokus pada persoalan daur ulang limbah plastik tersebut akhirnya saya kembali menyadari bahwa sampah atau limbah yang ada di sekeliling kita saat ini perlu kita maknai ulang. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Untung, Dino, dan kawan-kawan Gareda Temok Girang, karena jika persoalan sampah yang ada luput dari perhatian, maka pada akhirnya kita tinggal menunggu lingkungan menjadi tercemar.

Personil Temok Girang
Photo Personil Temok Girang
Photo bersama semua yang telibat dalam kegiatan ini, (Pasirputih, GudRnd, Temok Girang serta aparat dan warga setempat)