Oleh: Mashur Khalid
Festival Bangsal Menggawe tahun 2024 yang mengusung tema montase air sudah memasuki minggu kedua, dimana para seniman nampaknya telah menemukenali medan yang menjadi lokasi residensi masing-masing dengan baik. Seniman membaur dengan warga dalam berbagai peristiwa sosial yang ada dan menggali informasi dan isu seputar air. Beberapa hari yang lalu juga seniman menyusuri sungai dari hulu hingga hilir untuk mengamati kondisi-kondisi air yang ada di Kecamatan Pemenang. Menyusuri sungai ini diagendakan tentu saja karena erat kaitannya dengan isu yang hendak direspons dalam perhelatan Bangsal Menggawe tahun ini, yakni persoalan air dan segenap kompleksitasnya.
Hari Minggu (2/5/24) adalah hari yang cukup cerah. Hari yang nampaknya mendukung untuk melakukan berbagai aktivitas, terlebih hari minggu adalah hari libur kerja, tentu saja banyak orang mengisinya dengan bersantai ria, mengajak keluarga berlibur entah ke pantai, gunung, atau berkunjung ke rumah kerabat lainnya. Tetapi, entahlah, sejak beberapa tahun ini, bagi saya dan tentu saja kawan-kawan yang notabene bergerak di isu-isu kebudayaan, hari libur sudah tidak lagi menjadi sesuatu yang penting, terlebih sejak awal tahun ini, kami sudah mulai sering berkumpul membicarakan bahwa tahun ini akan menggelar Bangsal Menggawe setelah dua tahun tak dilaksanakan.
Rupanya, cerahnya langit Lombok Utara tak bertahan begitu lama. Siang hari, kabut hitam tebal menggumpal di langit, seolah memberi isyarat kepada para petani untuk segera pulang ke rumah, nelayan mengistirahatkan perahunya dan segera kembali ke rumah, memberi isyarat kepada burung-burung yang beterbangan nun jauh di sana untuk segera balik ke sangkarnya. Hujan turun sekitar pukul 13.00 wita, membasahi bumi Lombok Utara yang kurang lebih 2-3 bulan tak kunjung turun. Tentu saja ada yang bergembira, tetapi ada juga yang menyayangkan, karena mungkin turunnya hujan menunda keberangkatan mereka yang sedang memiliki hajat untuk pelesir. Tetapi, begitulah cara alam semesta. Untungnya, intensitas hujan tidak begitu besar, dan durasinya tidak begitu lama.
Pukul 16.00 wita, selepas menunaikan solat asar kami bersiap-siap menuju pelabuhan Bangsal membawa sejumlah peralatan seperti terpal yang nantinya kami gunakan sebagai alas duduk, salon beserta mikrofon, papan dan alat tulis lainnya, dan tak lupa juga menginformasikan kembali kepada seniman yang saat itu masih menyebar di lokasi residensi masing-masing agar segera datang menuju pelabuhan Bangsal. Benar sekali, bahwa sore itu kami menggelar Rapat Akbar untuk kali yang kedua setelah sebelumnya dilaksanakan pada hari minggu lalu bertempat di Pantai Sira. Rapat Akbar merupakan salah satu rangkaian acara Bangsal Menggawe 2024, sebagai ruang untuk mendengarkan ide dan gagasan seniman selama sekian hari berkeliling untuk menemukenali medan dan lokasi residensi dengan berbagai peristiwa yang disaksikan serta informasi yang mereka temukan.
Hari itu di pelabuhan Bangsal terlihat seperti hari-hari biasanya. Banyak orang berlalu Lalang, ada yang datang dan pergi, para penjual aneka jajanan, penjual karcis yang terlihat sibuk, dan wisatawan dari berbagai negara nampak berdatangan dengan barang yang dibawa. Begitulah suasana di pelabuhan Bangsal, setiap hari ramai dan berbagai macam peristiwa terjadi. Wajar saja karena pelabuhan Bangsal memang menjadi titik keberangkatan para wisatawan yang hendak menuju ke tiga gili (trawangan, meno, dan air). Tak hanya itu, bahwa pelabuhan Bangsal menjadi tempat bertemunya beragam kebudayaan, karena telah menjadi ikon pariwisatan daerah.
Rapat Akbar sebagai sebuah pertemuan yang melibatkan kurang lebih 30 orang, tentu saja tidak bermaksud mengganggu berbagai kepentingan yang ada di Bangsal saat itu. Itulah kenapa lokasi yang kami pilih sebagai lokasi Rapat Akbar adalah sebalah barat pelabuhan atau Bangsal Asri yang relatif sepi dari keramaian.
Satu persatu seniman yang sudah dikonfirmasi sebelumnya mulai berdatangan. Di sekitar Bangsal Asri juga terlihat banyak sekali warga yang berkunjung, menikmati indahnya sunset sore itu. Terlihat juga banyak anak-anak riang gembira mandi di pantai. Menurut informasi, Bangsal Asri ini adalah ruang publik yang dikelola oleh Pokdarwis sebagai tempat berlibur warga. Di Kawasan itu setiap pengunjung dengan leluasa dapat melihat tiga gili dan juga menikmati sunset, tak terkecuali kami yang saat itu hendak melaksanakan kegiatan rapat.
Pukul 18.30 wita, selepas melaksanakan solat magrib, Rapat Akbar, dipandu langsung oleh kurator Bangsal Menggawe, Muhammad Sibawaihi. Selepas menyampaikan pengantar pada pertemuan tersebut, setiap seniman diberikan waktu seluas-luasnya untuk menyampaikan temuan-temuan dan isu-isu yang berhasil dipetakan oleh seniman di lokasi residensi selama hampir dua minggu.
Semenjak tinggal di rumah salah satu warga di Rangsot, Helmi, Luber, dan Walai dari Sigisora Jakarta, mengaku cukup intens bertemu dengan warga dan pemuda di Rangsot. “Kami bertemu pemuda dan mencoba memantik ingatan mereka terkait Rangsot melalui sketsa, Dari informasi yang disampaikan salah satu pemuda Rangsot bahwa dahulu bukit Rangsot dijadikan sebagai tempat bermain layang-layang oleh anak-anak, termasuk juga kami menggali bagaimana suasana dan lanskap Rangsot di masa dahulu”, tutur Helmi.
Berbeda dengan Walai yang lebih menegaskan terkait upaya-upaya yang telah dilakukan dalam merekam bunyi di Rangsot. “Kami sudah melakukan perekaman bunyi air sejumlah sepuluh rekaman. Dari sekian banyak rekaman tersebut berbicara tentang memori dan lanskap Rangsot itu sendiri, ritual, artefak, plora dan fauna”, ucap Walai.
Pada forum itu Van Luber dari Sigisora mencoba menyitir tentang temuan-temuan selama di Rangsot berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan Sakaki, salah satu tokoh masyarakat Rangsot. Menurut Sakaki, bahwa sebelum gempa bumi, di Rangsot ada mata air, tetapi kemudian menghilang begitu saja, lantas muncul di sekitar Dusun Tembobor. Pada hari berikutnya, ia dan kawan-kawannya mencoba menelusuri aliran sungai di Rangsot dan nampaknya mereka berkesimpulan bahwa air tidak hilang begitu saja, karena ketika ditelusuri bahwa ada air di sungai yang cukup dekat dengan pemukiman penduduk tidak jauh dari rumah Ahmad Ansori, salah satu pemuda Rangsot. Bahkan, di situ ada sebuah sumur yang dinamakan Sumur Berora.
Terkait dengan penomena hilangnya mata air lalu kemudian muncul lagi di tempat yang berbeda, tentu saja hal ini tidak bisa dijelaskan secara ilmiah oleh Luber dan kawan-kawannya karena bukan ahlinya. Akan tetapi kelihatannya mereka ‘curiga’ karena mungkin saja fenomena tersebut disebabkan oleh gempa bumi 2018 atau letusan gunung Samalas di masa lampau.
Sepanjang penelusuran, mereka juga menemukan bahwa di Rangsot sendiri ada kenyataan bahwa lahan yang dahulunya dipenuhi air berubah menjadi lahan pertanian. Selain itu juga berdasarkan informasi dari Ahmad Ansori bahwa di situ ada tradisi musyawarah yang diinisiasi oleh warga yang kemudian dikenal dengan istilah Sangkep. Biasanya, pada forum ini membahas persoalan-persoalan yang berkaitan dengan sosial-masyarakat di Rangsot, termasuk juga persoalan air. Tetapi, menurut Ahmad Ansori bahwa Sangkep sudah cukup lama tidak dilaksanakan.
Mendengar penuturan Ahmad Ansori, pada pertemuan Rapat Akbar, Luber menyampaikan keinginannya untuk menginisiasi Sangkep yang tentu saja nantinya akan terfokus membahas persoalan air, termasuk juga awik-awik tentang air. Tetapi yang dibayangkan adalah awik-awik kontemporer yang relevan dengan kebutuhan masyarakat saat ini.
Melalui Indah salah satu seniman residensi di Dusun Tebango kami mendapatkan banyak informasi terkait kondisi sosial budaya masyarakat Tebango. Indah menemukan banyak hal terkait ritual warga Dusun Tebango. “Masyarakat Tebango percaya dengan konsep keseimbangan, banyak tradisi atau ritual yang mereka lakukan berkaitan dengan alam, misalnya tradisi berkomunikasi dengan alam. Satu contoh, dulu ketika tanaman warga Tebango diganggu oleh hama, mereka melakukan ritual komunikasi dengan alam. Pada ritual itu biasanya mereka menghaturkan kalimat; “kalau ini adalah kebutuhan yang engkau butuhkan, silahkan diambil dan apa yang tidak diambil, maka sisakan“, tutur Indah pada forum itu.
Selepas Indah, presentasi dilanjutkan oleh Albert Rahman Putra dari Komunitas Gubuak Kopi Solok, Sumatera Barat yang residensi di Kerujuk, Desa Menggala Kecamatan Pemenang. Ia mengatakan bahwa hutan lindung sebagai salah satu ekosistem air yang saat ini berada di Dusun Kerujuk didominasi oleh empat kepentingan yakni; petani hutan, pemerintah terkait, ekowisata, dan juga ritus yang ada disana. “Ketika kami menelisik terkait persoalan ritual atau situs yang ada di Kerujuk, maka yang selalu muncul dalam ingatan warga adalah soal Sumur Gedong dan Sumur Ganang yang mereka yakini memiliki dimensi spiritual”, ucap Albert.
Informasi yang didapatkan oleh Albert adalah bahwa ketika ada kejadian anak yang baru selesai sunatan tetapi darah dari kemaluannya tidak kunjung kering, maka oleh orang tuanya pasti dibawa dan dimandikan menggunakan air dari sumur itu. Ketika melihat sekitar Sumur Gedong, Albert juga menemukan sesajen, seperti bunga rampai, rokok yang sudah dilinting, koin, dan lain-lain. Ia juga melihat bahwa sumur itu masih ada airnya, walaupun sedikit.
Ketika menelusuri hutan Kerujuk, Albert mendapatkan informasi dari warga bahwa di hutan Kerujuk sendiri terdapat awik-awik yang menjembatani kepentingan petani hutan dan pemerintah terkait. Semisal, tidak diperkenankan bagi warga yang hendak menangkap ikan, udang, atau kepiting di sepanjang sungai Kerujuk menggunakan potas dan setrum, tidak diperbolehkan menebang pohon. Akan tetapi menurut Albert, awik-awik tersebut nampaknya belum terinternalisasi secara maksimal bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
Melalui Robby Octavian dan Ismawan, dua orang seniman yang berasal dari komunitas Muara Suara Samarinda, beberapa hari residensi di Sira (kawasan pesisir yang secara administratif masuk wilayah Desa Sigar Penjalin, Kecamatan Tanjung), bersama Ihsan (salah satu dewan pertimbangan Bangsal Menggawe) mencoba memastikan adakah lahan yang tidak dikuasai oleh pihak swasta di Kawasan pesisir Sira. Nampaknya, berdasarkan penelusuran mereka, 95 persen lahan di Kawasan pesisir Sira sudah dikuasai oleh pihak swasta.
Karena termasuk kawasan pesisir, tak heran jika di Sira banyak ditemukan hotel, vila, bungalo, dan lain sebagainya. Selain itu kawasan pesisir Sira juga termasuk kawasan pariwisata yang cukup dekat dengan tiga gili. Lahan-lahan yang semuanya hampir hak milik swasta tersebut erat kaitannya dengan muslihat pariwisata. Warga sendiri memiliki harapan-harapan terkait infrastruktur, karena mungkin dalam perspektif pemerintah, pariwisata sangat menjanjikan infrastruktur. Akan tetapi, karena hegemoni pariwisata yang begitu terasa di Lombok Utara, lahan-lahan di Sira menjadi sasaran pihak swasta.
Di masa awal, nampaknya Robby dan Ismawan menyayangkan karena di Sira sendiri tidak dilihat dan ditemukan ruang-ruang ekpresi para pemuda. Jangankan untuk diskusi, pemuda-pemuda nongkrong biasa saja jarang ditemukan. Akhirnya, untuk mengulik informasi terkait kondisi sosial masyarakat, mereka banyak nongkrong di warung dan banyak bertanya kepada para pedagang dan orang-orang sekitar, walapun ada partikel-partikel kecil seperti hadirnya ruang baca masyarakat yang bernama Pustaka Pesisir milik Pak Moza di pesisir pantai Sira.
Dari informasi yang disampaikan Rian dari Komunitas Nonblok Ekosistem, Pekan Baru, bahwa dahulu, kawasan pesisir Telok Kombal merupakan kawasan asri, dipenuhi oleh tumbuhan mangrove, kelapa, dan tumbuhan lainnya. Tetapi entah kenapa saat ini kawasan tersebut berubah tandus dan bahkan saban tahun diterjang banjir rob. Keyakinan Rian terkait asrinya kawasan itu dahulunya, karena berhasil menemukan arsip warga terkait kondisi kawasan pesisir Telok Kombal.
Rian juga telah menyusuri Sumur Suma yang cukup lekat di ingatan warga. Ia mencoba mendekati warga dan tokoh-tokoh yang ada di Telok Kombal dengan tujuan untuk menguliti sejarah atau cerita masa lalu yang bertalian dengan keberadaan Sumur Suma, namun dari warga tidak begitu terbuka karena memang mereka memiliki keyakinan bahwa jika menceritakan sejarah terkait situs tersebut, maka airnya akan mengering seketika. Ketika ditelusuri Sumur Suma itu memang saat ini memiliki banyak air.
Terkait kebutuhan terhadap air, warga Telok Kombal tidak mengeluhkan air kalau hanya untuk konsumsi dan kebutuhan hidup lainnya. Justru yang ditakutkan adalah ‘kelebihan air’ dalam arti penomena banjir rob yang saban tahun terjadi mengingat wilayah Telok Kombal masuk wilayah pesisir pantai. Termasuk juga yang dikhawatikan adalah longsor karena Telok Kombal cukup berdekatan dengan perbukitan.
Melalui presentasi Harvia, nampaknya kegelisahan yang dialaminya pada saat awal residensi karena sulit sekali menemukan remaja ataupun warga sebagai teman ngobrol, pelan-pelan mulai terbuka. Melalui pintu Titian Foundation sebuah Lembaga pemberdayaan bagi remaja-remaji dan ibu rumah tangga, ia terhubung dengan kondisi sosial masyarakat di dusun Sumur Mual yang menjadi lokasi residensi. Titian Foundation adalah key person bagi Harvia untuk membedah kondisi sekitar Sumur Mual, termasuk juga kepala dusun yang beberapa hari lalu mengantarkan Harvia melihat dua situs; Sumur Mual dan Sumur Telaga yang diyakini warga memiliki nilai historis yang cukup mendalam, termasuk dalam penamaan Dusun Sumur Mual itu sendiri.
S. La Radek salah satu seniman yang berasal dari Dompu juga cukup apik membedah kondisi Dusun Jambianom yang menjadi lokasi residensi. Jambinom merupakan sebuah dusun yang secara administratif berada di wilayah Desa Medana, Kecamatan Tanjung. Pada forum itu, Radek menyampaikan bahwa secara geografis Jambianom memiliki dua Kawasan; Kawasan perkebunan dan pesisir. Terkait dengan persoalan air, masyarakat yang tinggal di wilayah perkebunan menggunakan air sungai dan sumur bor untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara warga yang tinggal di wilayah pesisir sejauh ini menggunakan air sumur galian yang dipasangi mesin pompa air, dan air yang disuplay oleh PDAM.
Sebagai ruang ekpresi bagi pemuda, di Jambianom sendiri baru-baru ini didirikan sebuah perpustakaan yang bernama Semesta Bahari, sebuah perpustakaan yang bertempat di
pesisir Jambianom. Sejauh ini, Radek cukup intens bertemu dengan pengurus perpustakaan tersebut, bahkan ditawari mengisi kelas di perpustakaan. Nampaknya, sama seperti Harvia, perpustakaan Semesta Bahari kelihatannya seperti key person untuk membuka ruang-ruang sosial masyarakat Jambianom, selain kepala dusun, tokoh agama, klub baca perempuan, dan lainnya.
Sejauh jni Radek juga cukup mengamati situasi sosial di Jambianom, melebur dengan w
arga dalam tradisi yang kerap kali dilakukan warga seperti menciro. Radek juga banyak mendapatkan informasi terkait ritual nyawen sebagai sebuah tradisi masyarakat pesisir Jambianom. Ia juga menemukan praktik transplantasi terumbu karang yang sempat dilakukan kelompok nelayan, namun karena biayanya cukup besar akhirnya praktik itu tidak dilanjutkan.
Peresentasi terakhir disampaikan oleh Alam Kundam yang sejauh ini cukup fokus dalam membidani seni musik. Dalam proses residensi, Alam Kundam nampaknya menemukan apa yang sejauh ini diinginkan, bahwa kaitan dengan proses pengkaryaan yang di acara puncak Bangsal Menggawe nantinya dipresentasikan, Alam akan menghadirkan karya Tari Rudat Air, karya ini ia bayangkan sebagai upaya untuk mengedukasi generasi muda di Lombok Utara dalam menjaga mata air.
Malam itu suasana di sekitar pelabuhan Bangsal sangat sepi, hanya suara kami yang terdengar. Mendengarkan presentasi dari masing-masing seniman dalam forum itu semakin menambah pengetahuan kami terkait kondisi sosial-budaya masyarakat Lombok Utara, khususnya wilayah yang menjadi lokasi reidensi seniman dalam program Bangsal Menggawe tahun ini. Waktu terus berjalan, kami terpaksa harus mengakhiri Rapat Akbar karena malam kian larut dan rasa dingin kian menusuk tulang kami.