Oleh: Mashur Khalid
Bangsal Menggawe adalah sebuah acara tahunan yang diinisiasi oleh Pasirputih sebagai sarana bagi warga masyarakat lokal di Pemenang untuk menyalurkan ekspresi kulturalnya dalam bentuk pesta rakyat. Pesta ini secara spesifik memilih lokasi di Pelabuhan Bangsal atas pertimbangan bahwa Pelabuhan Bangsal merupakan titik lokasi yang menghubungkan berbagai ragam kehidupan masyarakat Pemenang sekaligus menjadi ikon budaya. Bangsal Menggawe diniatkan sebagai sebuah pesta rakyat yang akan dikelola oleh warga masyarakat secara gotong-royong atas dasar kepemilikan bersama.
Perhelatan Festival Bangsal Menggawe tahun ini nampak berbeda dengan sebelumnya. Perbedaannya terletak pada beberapa hal, yakni; Pertama, skema persebaran seniman residensi yang melingkupi 5 desa di kecamatan Pemenang dan Tanjung. Lima desa yang dimaksud adalah desa Pemenang Barat, Pemenang Timur, Menggala, Sigar Penjalin, dan desa Medana. Kedua, pelibatan 9 tokoh dengan latar belakang yang beragam sebagai Dewan Pertimbangan Bangsal Menggawe. Ketiga, tentu saja terletak pada tema yang hendak diangkat yakni ‘Montase Air’.
Dalam tulisan ini, penulis hendak mencoba merekam hasil pertemuan antara kurator Bangsal Menggawe (Lutvanur Rahman dan Muhammad Sibawaihi) dengan Dewan Pertimbangan Bangsal Menggawe 2024. Adapun Dewan Pertimbangan yang dimaksud adalah Asma’at (Kades Pemenang Barat), Datu Aryanata Banyuaji (Camat Pemenang), I Nengah Karuna (Tokoh Masyarakat), Ihsan (BPD Sigar Penjalin), Nursyida Syam (Penggerak Literasi), Metawadi (Tokoh Masyarakat), Agus Heri Purnomo (Geolog), Muliawan (Tokoh Masyarakat), dan L. Mintarja (Tokoh Masyarakat).
Pertemuan antara kurator dan Dewan Pertimbangan di atas dilakukan tentu saja bertujuan untuk merancang serta mendiskusikan agenda-agenda pada perhelatan Bangsal Menggawe kedepan, terutama yang berkaitan dengan program residensi seniman di beberapa lokasi di kecamatan Tanjung dan Pemenang. Selain itu juga pertemuan antara kurator dan dewan pertimbangan ini diinisiasi untuk mengupas lebih dalam isu yang hendak direspons dalam Bangsal Menggawe tahun ini yakni tentang air dan segenap kompleksitasnya.
Pertemuan Pertama; Perkenalan dan Mengupas Tema
Hari Senin, 29 April 2024, pertemuan perdana antara kurator dan dewan pertimbangan bangsal menggawe dilaksanakan. Bertempat di Halaman Pasir Putih sekitar pukul 20.00 Wita. Dewan pertimbangan yang hadir waktu itu adalah Metawadi, L. Mintarja, Asma’at, dan Ihsan. Pada kesempatan itu, sebagaimana perkenalan pada umumnya, sebagai seorang, Lutvanur Rahman memperkenalkan diri kepada dewan pertimbangan yang hadir. Begitu juga sebaliknya, masing-masing dari dewan pertimbangan memerkenalkan diri.
Selepas perkenalan, Muhammad Sibawaihi salah seorang kurator Bangsal Menggawe mengambil kendali diskusi serta merumuskan agenda-agenda pembahasan pada pertemuan itu. Ia mencoba menggali lebih dalam isu tentang air di Lombok Utara selama 4 atau 5 tahun terakhir, terutama persoalan air yang ada di kecamatan Tanjung dan Pemenang. Tentu saja satu persatu dari dewan pertimbangan Bangsal Menggawe mulai menanggapi.
Analisa yang menarik dari Asma’at (Kades Pemenang Barat) ketika menjelaskan tentang sungai sebagai salah satu ekosistem air. Beliau mengatakan, “realitas yang terjadi di masyarakat sekarang berbeda dengan di masa dahulu, sekaligus menandakan pergeseran paragidma berfikir masyarakat kekinian. Kalau dahulu, sungai itu menjadi sumber kebutuhan hidup, air diambil dari sana, mencuci beras, dan kebutuhan lainnya. Namun sekarang, masyarakat menjadikan sungai sebagai alternatif tempat pembuangan sampah”. Ia juga menyayangkan hal itu, sekaligus menegaskan: “jika perilaku semacam itu dibiarkan, akan ada dampak besar yang terjadi”, lanjutnya.
Sembari mengingat memori masa lalu, Asma’at menceritakan, “di masa dahulu, ketika terjadi banjir, maka warga percaya banjir itu membawa berkah. Dikatakan berkah, karena dari sungai yang banjir itu banyak kepiting, udang, dan lain-lain. Tapi sekarang, banjir yang terjadi di sungai itu membawa musibah.” Asma’at juga menegaskan bahwa air merupakan sesuatu yang sangat identik dengan ritual masyarakat muslim, seperti air dibutuhkan untuk melaksanakan wudhu, ritual ziarah kubur, dan lain sebagainya.
Sebagai sosok kepala desa yang tentu saja bersentuhan langsung dengan hiruk-pikuk permasalahan sosial-masyarakat, tentu saja Asma’at banyak mendapatkan informasi tak terkecuali informasi tentang persoalan air di wilayah Pemenang. Ia mengatakan, “air merupakan persoalan yang rentan dengan masalah. Belum lama ini, saya mendapatkan informasi terjadi gesekan antar masyarakat di Terengan dan di Kerujuk karena disebabkan oleh persoalan air.”
Di akhir penyampaian Asma’at mencoba mengingatkan bahwa musibah yang sebenarnya terjadi seperti kekeringan, banjir, dan longsor bermula dari satu penyebab yakni ulah manusia. Senada dengan apa yang disampaikan oleh Ihsan ketika penyampaiannya nampak menegaskan pada aspek etika dan adab manusia terhadap alam semesta.
Berbeda dengan Metawadi yang mencoba menanggapi isu tentang air itu lebih dalam. Ia mengatakan bahwa, “air itu tidak hanya memiliki dimensi materil/bendawi, tetapi juga memiliki dimensi bathini. Bahwa air memiliki kedudukan yang sangat sakral.” Ia juga menegaskan bahwa ketika air tidak dijaga atau melakukan kerusakan terhadap ekosistemnya seperti penebangan pohon secara membabi buta, maka menyebabkan kualitas air itu menjadi rusak. Metawadi mengungkapkan bahwa di dusun Tebango (desa Pemenang Timur) terdapat titik-titik energi yang dipercaya oleh masyarakat yang jika diaktivasi maka nilai spiritualitas itu akan muncul kembali. Karena itu, di Tebango ia menginisiasi ritual Puja Sera sebagai upaya untuk mengaktivasi titik-titik energi tersebut.
Di sisi lain, Lalu Mintarja mencoba menyederhanakan isu tentang air melalui pengajaran orang tua kepada anaknya dahulu, yang sadar atau tidak sadar bahwa sikap itu adalah edukasi tentang air kepada anak-anak. Lalu mintarja menyampaikan bahwa di masa dahulu setiap minggu terkahir bulan Safar biasanya kita sekeluarga bersama-sama mandi di pantai, yang kemudian dikenal dengan Mandi Safar. Ada juga Rebo Bontong, bahwa hal itu secara tidak langsung mendekatkan pengetahuan kita terhadap air.
Malam semakin larut. Nampaknya diskusi berlangsung semakin seru. Informasi-infromasi yang disampaikan dewan pertimbangan semakin menambah bagasi pengetahuan saya yang waktu itu sebagai notulen yang mencatat kalimat demi kalimat dari apa yang disampaikan kurator dan dewan pertimbangan.
Pada pertemuan itu, selain menggali lebih dalam informasi tentang air dan segala keterkaitannya dari dewan pertimbangan, Lutvanur Rahman (Kurator Bangsal Menggawe) mencoba berbagi tentang skema dan cara kerja air sebagai landasan eksperimentasi seniman dalam proses penciptaan nantinya dalam perhelatan Bangsal Menggawe tahun ini.
Air memiliki beberapa fase/sifat yang tentu saja menjadi landasan kerja seniman dalam Bangsal Menggawe kali ini.
Fase pertama, evaporasi atau menguap. Pada fase ini seniman menjadi warga. Ada beberapa kegiatan yang bisa dilakukan oleh seniman nantinya di fase ini seperti mengunjungi Setya Wihara, pencarian mata air, menyusuri sungai, mencari tuna, mandi di pantai/sungai, mengikuti ritual yang sedang dilakukan warga, menimba air, survei tanaman, melihat penanaman mangrove, melihat pembuatan gula merah, dan tentunya wawancara bersama warga terkait hal-hal menarik di lokasi residensi masing-masing.
Menurut Lutvanur Rahman, pada fase menguap atau evaporasi ini, seniman benar-benar melebur bersama warga. Tentu saja, agar terjalin hubungan antara seniman dan warga di lokasi residensi.
Fase kedua,kondensasi atau mengembun. Pada fase ini seniman berproses bersama warga. Bahwa di kecamatan Pemenang atau pun Tanjung terdapat komunitas-komunitas yang bisa dijadikan sebagai mitra seniman dalam berproses, semisal Gerbong Tua (Rangsot), Klub Baca Perempuan (Jambianom), Warga yang tinggal didekat muara (Sira, Muara Putat, Telok Kombal), warga Kerujuk (Hulu Sungai). Pada fase ini juga seniman berproses bersama entitas yang memiliki latar belakang yang berbeda, semisal grup musik, dalang, dan lain-lain . Termasuk juga Lomba Serakal mulai digagas, Rengka mulai dibuat, dan Sepak Bola Pantai.
Fase ketiga, Presipitasi/infiltrasi atau fase hujan. Lutvanur Rahman menjelaskan bahwa fase ini menjadi fase puncak dari Bangsal Menggawe, dimana performativitas warga bisa kita saksikan, ritual warga, layar tancep, selakaran mulai menggema di langit Pemenang, pawai rengka, termasuk juga manifesto air bisa ditelurkan, serta membuat PAMDES (jika memungkinkan).
Selain mengupas sifat atau fase air sebagai landasan kerja seniman dalam Bangsal Menggawe tahun ini, kurator mengajak Dewan Pertimbangan untuk intens bertemu untuk mendiskusikan tahap demi tahap dalam proses kegiatan Bangsal Menggawe selanjutnya.
Pertemuan Kedua; Mendiskusikan Agenda
Pertemuan kedua antara kurator dan dewan pertimbangan dilaksanakan hari Minggu tanggal 19 Mei 2024, bertempat di Halaman Pasir Putih sekitar pukul 20.00 wita.
Pada pertemuan ini, salah satu kurator Bangsal Menggawe (Muhammad Sibawaihi) mengajak kepada dewan pertimbangan untuk merumuskan program seniman selama seminggu pertama. Ada beberapa usulan dari dewan pertimbangan yang hadir, akan tetapi dari semua pendapat tersebut menyepakati agar di awal-awal para seniman melebur melalui kegiatan silaturrahmi dengan masyarakat.
Silaturrahmi yang dimaksud tentu saja bukan sebatas perkenalan antara seniman dan warga yang didatangi, tetapi pengenalan terhadap medan baik secara geografis, demografis, maupun isu-isu yang sedang viral di lokasi tersebut.
Selain mengusulkan tentang program silaturrahmi ke masyarakat di masing-masing lokasi residensi, dalam pertemuan tersebut beberapa dewan pertimbangan sangat berharap hasil akhir dari Festival Bangsal Menggawe nantinya bisa merumuskan semacam aturan-aturan lokal yang kemudian disebut awik-awik, yang mengikat masyarakat desa dalam penggunaan air di masa mendatang. Usulan ini diutarakan oleh Asma’at, Datu Aryanata Banyuaji, Ihsan, I Nengah Karune yang saat ini memiliki latar belakang sebagai birokrat.
Selain itu, Nursyida Syam yang selama ini berkutat dalam persoalan sosial dan Pendidikan menyambut dengan sangat antusias hadirnya perhelatan bangsal menggawe kali ini. Dari perhelatan bangsal menggawe ini, ia berharap lahir semacam kurikulum tentang air yang bisa saja menjadi bahan pembelajaran bagi sekolah PAUD, mengingat sekolah PAUD di Lombok Utara saat ini nampak menjamur. Kehadiran kurikulum air bagi sekolah PAUD, selain memiliki muatan lokalitas, tentu saja sebagai upaya edukasi kepada anak-anak sebagai generasi sejak dini.
Kehadiran kurikulum air ini juga senada dengan pendapat Agus Heri Purnomo yang saat ini bekerja di Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lombok Utara dan sejak awal memang fokus dalam kajian-kajian penanggulangan bencana di Lombk Utara.