Skip to main content

Oleh: Mashur Khalid

Kamis 23 Mei 2024, Kelas Dongeng Air sebagai ruang berbagi pengetahuan dan pengalaman antara Dewan Pertimbangan Bangsal Menggawe dan seniman residensi dilaksanakan. Kelas ini menghadirkan tiga tokoh Dewan Pertimbangan Bangsal Menggawe sebagai pembicara, yakni Asma’at (Kades Pemenang Barat), Ihsan (Badan Permusyawaratan Desa Sigar Penjalin), dan Nursyida Syam (Pendiri Klub Baca Perempuan). Pada pelaksanaannya, diskusi ini dipandu langsung oleh Lutvanur Rahman selaku kurator Bangsal Menggawe tahun ini.

Kelas ini dilaksanakan sebagai upaya untuk menjembatani pengetahuan serta pengalaman seniman residensi yang didapatkan selama tiga hari di masing-masing lokasi, dengan pengetahuan serta pengalaman tokoh-tokoh yang sejak awal memang didapuk sebagai Dewan Pertimbangan Bangsal Menggawe.

Adapun yang menjadi tujuan dari pertemuan ini adalah untuk menambah bagasi pengetahuan para seniman tentang isu yang diangkat pada bangsal menggawe kali ini, yakni tentang air dan segenap kompleksitasnya, yang mungkin saja tidak didapatkan di lokasi residensi selama tiga hari di lokasi. Pun juga sebaliknya, pengetahuan-pengetahuan yang disampaikan oleh seniman tersebut menjadi pengetahuan baru bagi dewan pertimbangan yang mungkin saja sejauh ini belum terpikirkan.  

Diskusi yang berlangsung di halaman kantor Pasirputih tersebut dimulai dari sore hingga malam hari. Pada petemuan ini, setiap seniman juga menyampaikan temuan-temuan di lokasi residensi masing-masing.

Kelas Dongeng Air: pertemuan seniman dan dewan pertimbangan

Asma’at yang saat ini menjabat sebagai Kepala Desa Pemenang Barat, tentu saja banyak bertemu warga dan bersentuhan langsung dengan hiruk pikuk permasalahan di tengah warga. Ia menceritakan bahwa di masa lalu setiap rumah ibadah (masjid) memiliki kolam sebagai tempat untuk mengambil air wudhu, dan warga meyakini air dari kolam tersebut memiliki keberkahan sehingga banyak yang mengambil air dari kolam itu sebagai obat. Namun, seiring berjalannya waktu, kearifan lokal berupa kolam tersebut tidak lagi digunakan oleh warga dan digantikan oleh peralatan yang lebih praktis seperti kran, dan lainnya.

Sebagai seorang birokrat, tentu saja setiap pendapat-pendapatnya diselimuti oleh pemikiran-pemikiran birokratis, namun dalam persoalan air, ia sendiri sangat mengharapkan adanya semacam produk lokal seperti awik-awik yang mengatur bagaimana manajemen air oleh warga. Tujuannya adalah semata-mata menghadirkan kemaslahatan bagi warga dalam persoalan pengelolaan air.

salah satu seniman (Alam Kundam) sedang berbagi pengalaman di lokasi residensi

Selain Asma’at, hadir juga Ihsan yang dalam penyampaian materi nampak menekankan adab dan etika manusia kepada alam. Ia mengatakan bahwa jika berbicara tentang alam atau lingkungan maka secara otomatis juga berbicara tentang bagaimana perilaku manusia untuk menjaga air. Menurutnya, air tidak pernah berkurang, Tuhan Semesta alam memberikan sesuai kadar yang dibutuhkan manusia. Hanya saja adab dan etika manusia yang seiring perkembangan zaman mengalami degradasi. Karena adab dan etika manusia yang semakin hari semakin terkikis, sehingga berbuat sewenang-wenang terhadadap alam dan lingkungan. Ia juga mencontohkan prihal itu, seperti ulah oknum yang membuang sampah sembarangan sehingga menghalangi aliran air sungai, penebangan liar di hulu, hingga persoalan membangun fisik yang menyebabkan aliran sungai terdesimentasi.

Selepas solat magrib, Nursyida Syam hadir ditengah-tengah kami, menyampaikan setumpuk pengalamannya sejak tahun 2018 soal mendistribusikan air kepada warga dhuafa yang berada di bagian timur Lombok Utara,yang menurut penuturan Nursyida Syam mereka hanya memiliki dua pilihan, yakni membeli beras atau membeli air, saking krisisnya air di wilayah tersebut.

Suasana malam, ketika Nusrsida Syam berbagi pengetahuan tenatang persoalan lokal

Di awal penyampaian, sosok perempuan yang sehari-hari kerap disapa Ida tersebut mengutarakan, “air memang menjadi persoalan mendesak dan harus segera direspons oleh pemerintah”. Nampaknya, ia cukup menyayangkan kalau instansi yang seharusnya cepat tanggap justru tak segera mengambil sikap. Singkat cerita, karena didukung oleh jaringan yang ia miliki serta kegemarannya menyuarakan kerja-kerja sosial yang ia lakukan sehari-hari melalui tulisan di status facebook, kampung yang semula krisis air saat ini memiliki sumber mata air.

Ia juga menceritakan soal historis mengapa kampung tersebut mengalami kekeringan saban tahun. “Gelumpang adalah sebuah dusun yang berada di wilayah kecamatan Bayan, berdekatan dengan kaki gunung Rinjani. Sejak gunung Samalas Meletus, warga setempat mulai merasa kesulitan memperoleh air”, ungkapnya.

Kerja-kerja sosial yang ia lakukan sejak tahun 2018 tersebut mendapatkan respons baik dari masyarakat, terutama masyarakat setempat. Meskipun tak sedikit dari warga yang mengira kerja-kerja sosial yang ia lakukan bertujuan politis.

Nusida Syam

Sejauh ini ia tidak bekerja seorang diri, tetapi bersama orang-orang yang dikirim oleh Tuhan sang pencipta, dan orang-orang yang digerakkan hati serta jiwanya untuk berbuat kebaikan, termasuk juga keluarga Klub Baca yang ia dirikan. Hingga saat ini, di Gelumpang dusun yang sejak tahun 2018 lalu sering ia datangi, kini ia dan Klub Baca mendirikan sekolah PAUD bagi anak-anak di dusun tersebut.

Sebelum pemaparan ia selesaikan, beliau juga menceritakan tradisi budaya yang erat kaitannya dengan laku kehidupan masyarakat pesisir, terutama masyarakat Jambianom, dusun tempat tinggalnya. Tradisi budaya ini diceritakan tentu saja sebagai tambahan wacana dan pengetahuan seniman terkait isu yang direspons pada Bangsal Menggawe kali ini.

Ada beberapa tradisi yang sering dilakukan masyarakat pesisir, khususnya masyarakat Jambianom, dan umumnya masyarakat pesisir di Lombok Utara, yakni:

  1. Menciro, adalah salah satu penanda kesalehan social masyarakat pesisir, dimana masyarakat nelayan memiliki keyakinan bahwa apa pun yang didapatkan dari hasil melaut wajib dibagikan dan disisihkan kepada mereka yang ada di pinggir, terutama kepada kaum dhuafa, ibu tunggal, yatim piatu, dan lain-lain.
  • Belancaran: adalah sebuah tradisi yang menjadi salah satu cara cerdas nelayan untuk mendistribusikan pengetahuan terkait nelayan, pada tradisi ini biasanya diajarkan tentang bagaiaman membaca rasi bintang bagi masyarakat nelayan, membaca arah angin, keharusan menghormati wilayah teritori bagi setiap nelayan di masing-masing wilayah, dan juga berbagi pengetahuan tentang cara/teknik berenang.
  • Nyawen atau selamatan laut, menurut Nursyida Syam, pelaksanaan selamatan laut atau nyawen pertama kali dilaksanakan dilatarbelakangi oleh sebuah peristiwa mengenaskan yakni tabrakan beruntun di sekitar jalan Dusun Jambianom, hingga menelan korban. Tak berselang lama, ia bermimpi melihat sosok yang berdiri menghadang jalan, saya juga tidak tahu kenapa mimpinya tersebut sama dengan mimpi beberapa warga kampung.

Di dusun Jambianom, acara nyawen ini hampir setiap tahun dilaksanakan, tujuannya semata-mata memperoleh keberkahan dari setiap usaha nelayan yang menjadi mata pencaharian mayoritas masyarakat di Jambianom.

  • Ngangsat: adalah sebuah tradisiyang banyak dilakukan oleh warga yang tinggal jauh dari area pesisir, datang ke pantai untuk mencari isi laut. Ngangsat dilakukan ketika air laut surut dan biasanya di situ warga saling menemukenali antar satu dengan yang lain.

Di bawah terangnya sinar rembulan, dan ditemani dinginnya malam, menghantarkan kami pada akhir acara Kelas Dongen Air . Sharing pengetahuan dan pengalaman yang kami lakukan itu berjalan lancar dan penuh khidmat. Kami mengakhirinya dengan bersama-sama menikmati hidangan makan malam yang cukup sederhana.