Penulis: Mashur Khalid
Siang itu, matahari Lombok Utara menyengat tanpa kompromi. Jam tangan menunjuk pukul 13.15 Wita ketika kami meninggalkan Dusun Karang Subagan Daya, Desa Pemenang Barat. Di dalam mobil, hawa panas yang menempel di kulit mulai terkikis oleh dinginnya hembusan AC—Alya sigap menyalakannya begitu pintu mobil tertutup. Diiringi lantunan syair Gareda Temok Girang Kembali, perjalanan sepanjang empat puluh menit menuju Desa Genggelang, Kecamatan Gangga, membawa kami pada satu tujuan yang sejak awal telah menjadi prioritas: Museum Desa Genggelang.

Bagi kami di Pasirputih, museum ini bukan sekadar tempat menyimpan benda-benda bersejarah. Ia adalah ruang penyelamat pengetahuan, sebuah upaya warga untuk menjaga jejak para tetua agar tak hanyut dalam arus lupa. Inisiatifnya datang dari Sapardi—kerap disapa Amiq Khalid—bersama warga setempat, yang pada awal 2018 mewujudkan cita-cita lama: membangun rumah bagi warisan masa lalu.
Ketika mobil berhenti di depan museum, suasana terasa hidup. Tiga sepeda motor terparkir rapi, enam anak muda duduk santai di berugaq. Sejenak saya mengira mereka tamu Amiq Khalid, tetapi rupanya mereka pengunjung dari Lombok Timur. Mereka mengetahui museum ini dari kerabat yang tinggal di Genggelang. Amiq Khalid keluar menyambut kami dengan senyum ramah, meminta kami duduk sebentar di berugaq. “Silakan duduk, saya antar mereka masuk ke museum dulu, karena mereka datang lebih awal,” ujarnya.

Lima belas menit kemudian, ia kembali. Pertemuan pun dimulai. Kami memperkenalkan beberapa kawan kami yang baru pertama kali datang ke museum, dan menceritakan tentang Pasirputih dan berbagai programnya. Di pihak museum, hanya Amiq Khalid yang hadir—sosok yang sudah kami anggap sebagai orang tua sendiri. Kami mengenalnya jauh sebelum kunjungan ini, bahkan pernah berkolaborasi saat pameran arsip baledata pada 2021, di mana beberapa koleksi museum turut dipamerkan.

Amiq Khalid mendengarkan dengan seksama, lalu mulai berkisah. Tentang masa ketika benda-benda warisan keluarganya hanya tersimpan di rumah sederhana. Tentang kegelisahan yang muncul—bahwa jika tetap disimpan begitu saja, tak banyak orang yang akan mengenalnya. Sejak 2013 ia menyimpan keinginan membangun museum, namun baru pada 2014 berani bercerita kepada teman-temannya. Banyak yang menganggap idenya aneh, mustahil. Tapi Amiq sedikti pun tidak surut.
Pada 2015, ia menemui Kepala Desa Genggelang. Kala itu dijabat oleh Khairul Anwar. Gayung bersambut, kepala desa menanggapi dengan antusias, meski mengingatkan bahwa harus melalui musyawarah desa lebih dulu. Dua tahun kemudian, awal 2017, musdes diselenggarakan termasuk pembahasan tentang penganggaran museum digelar, dan awal 2018 pembangunan dimulai. Namun gempa bumi besar yang melanda Lombok Utara mengguncang segalanya. Tembok museum yang baru berdiri miring, pengerjaan pun terhenti. Baru setelah masa rehabilitasi, pembangunan kembali dilanjutkan.

Ketika koleksi dipindahkan ke gedung baru, muncul keberatan dari sebagian warga. Mereka percaya, dulu para tetua melarang pemindahan karena takut barang-barang itu dirampas penguasa. Amiq Khalid menjelaskan bahwa zaman telah berubah—tak ada lagi kolonialisme yang mengancam. Penjelasan itu membuka kesadaran mereka: museum bukan sekadar memindahkan benda, tapi memindahkan pengetahuan ke ruang yang lebih aman dan dapat diakses publik.
Meski berdiri kokoh, museum menghadapi tantangan baru: pendanaan. Amiq sering merogoh kocek pribadi untuk membeli lontar dari warga agar tidak jatuh ke tangan orang luar. Koleksi yang ada di Museum Desa Genggelang saat ini meliputi rompi Datu, kitab khutbah, manuskrip, lampu sumbu lima, cala, dan lainnya. Ia juga berencana menambah koleksi minyak-minyak tradisional.

Dari segi pengelolaan, museum masih bersifat tradisional. Tidak ada akun media sosial; promosi hanya dari mulut ke mulut. Pernah ada rencana membuat situs web sebagai media arsip digital, tapi terhenti karena pembuatnya meninggal. Beberapa pihak pernah terlibat, seperti mahasiswa Poltekpar Lombok yang membuat dokumen sejarah dan scan barcode koleksi, BRIN yang melakukan digitalisasi, hingga peneliti luar daerah yang meneliti pengobatan tradisional berbasis manuskrip museum.
Pernah pula seorang pembuat film dari Polandia datang dengan rencana membuat dokumenter museum. Tapi Amiq mengarahkan topik pada isu toleransi antarumat beragama. Pertemuan itu membawanya sampai ke Gereja Katedral Jakarta, bertemu Faus Fransiskus, dan kini filmnya sedang dalam tahap penyuntingan.
***
Mimpi Amiq Khalid belum berhenti. Ia ingin membangun homestay bagi pengunjung luar daerah yang menginap, dan Taman Baca Masyarakat untuk anak-anak yang mulai kecanduan gawai. “Harus ada cara mengalihkan mereka,” katanya. Menjelang sore, kami menyerahkan pelakat sebagai tanda terima kasih. Museum itu mungkin lahir dari mimpi satu orang, tapi menjadi rumah bagi ingatan bersama. Di antara temboknya yang sederhana, tersimpan pesan bahwa menjaga sejarah adalah bagian dari menjaga masa depan—dan di Genggelang, pesan itu terus hidup.