Oleh: Mashur Khalid
Salah satu seniman yang terpilih dalam program festival Bangsal Menggawe tahun ini adalah Harvia Hayati. Seniman yang sehari-hari kerap disapa Pia ini memiliki latar belakang pendidikan sarjana pada bidang Seni Kriya dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada tahun 2019. Ia juga menjadi seorang profesional bidang Kriya khususnya batik dan pemanfaatan sumber Zat Warna Alam yang menawarkan suasana positif untuk mengeksplorasi potensi daerah dan penerapannya untuk manfaat yang lebih besar bagi masyarakat, dengan keterampilan utama; batik tulis, ecoprint, ilustrasi, dan kriya dasar.
Dalam tulisan ini, hendak mencatat kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh Harvia Hayati pada minggu pertama selama mengikuti Festival Bangsal Menggawe tahun 2024 yang mengusung tema ‘Montase Air’.
Sabtu (26/05/2024), hari itu adalah hari yang cerah, langit Pemenang tak sedikitpun menandakan sebentar lagi akan turun hujan. Udara pun kian terasa segar masuk ke pernapasan. Dengan modal nekad, Harvia memberanikan diri menyusuri sungai Dusun Sumur Mual yang panjangnya kurang lebih 1-2 kilometer. Sebagai seorang seniman yang tertarik pada bidang batik tulis, ecoprint, ilustrasi, dan kriya dasar, tentu saja selama proses menyusuri sungai pandangan Harvia liar melihat apa saja yang ada di sekitar bibir sungai. Namun, tak tau kenapa pandangannya tiba-tiba mengarah ke salah satu tumbuhan yang dikenal dengan nama Bunga Lanang (warga Sumur Mual menyebutnya pohon bakak). Saking berharga dan langka ditemukan belakangan ini, Harvia menyebut bunga itu dengan sebutan bunga sultan.
Ketika diceritakan, tentu saja saya penasaran mengapa bunga itu disebut sebagai bunga sultan. Harvia mengatakan tumbuhan itu merupakan salah satu daun yang potensi pewarnaannya sangat bagus untuk ekoprint. Akan tetapi, kelihatannya Harvia menyayangkan bahwa pohon itu banyak ditebang oleh warga lantas dibuat sebagai kayu bakar. “Dulu, semasa masih kuliah di Yogyakarta, daun ini dijual dengan harga yang tinggi, tetapi banyak dari kita yang tidak tahu hal itu”, ungkap Harvia. Selama berkeliling di Sumur Mual, Harvia juga menemukan bahwa ada beberapa warga yang halaman rumahnya dipagari menggunakan pohon Lanang tersebut.
Ketika menyusuri sungai, Harvia menemukan beberapa jenis tumbuh-tumbuhan yang banyak tumbuh di sekitar sungai, seperti pohon bambu, kelapa, dan Sebagian besar kebun warga banyak ditanami pohon pisang. Ia juga menceritakan bahwa di sepanjang sungai sumur mual, sungai masih relatif bersih dari sampah. Sterilnya sungai dari sampah di sepanjang sungai Sumur Mual karena memang didukung oleh adanya Tempat Pembuangan Sampah (TPS) yang ada di dusun tersebut. Sepanjang menyusuri sungai, Harvia hanya menemukan sampah berserakan di sungai perbatasan antara dusun Sumur Mual dan Telaga Wareng.
Terkait dengan keberadaan TPS sebagai tempat pembuangan sampah, nampaknya juga harvia cukup menyayangkan karena menurutnya belum maksimal. Sebetulnya, yang dilakukan adalah sampah dipilah terlebih dahulu, dari hasil pilahan itu mana yang sekiranya tidak bisa diolah, itu yang dibuang ke tempat pembuangan akhir. Dan sampah yang bisa dioleh seperti plastik, dan lain sebagainya jika diolah dengan pengelolaan yang maksimal, hal itu bisa berdampak positif terhadap ekonomi warga.
Harvia juga mendapatkan cerita bahwa setiap tahun, sunga Sumur Mual sering terkena banjir. Ketika banjir terjadi, air kerap kali meluap hingga masuk ke sawah ladang milik warga, bahkan di Telaga Wareng, dusun yang bersebelahan dengan Sumur Mual, air sungai kerap kali meluap hingga masuk ke pemukiman warga. Terkait banjir yang terjadi di Sumur Mual dan dusun sekitar, memang menjadi berita yang saban tahun viral di tengah warga Lombok Utara.
Menurut informasi, bahwa banjir di sekitar sungai Sumur Mual diperparah lagi oleh penebangan ratusan pohon yang dilakukan ketika perbaikan jalur pusuk yang menghubungkan dua kabupaten yakni Lombok Utara dan Lombok Barat.
Sebagai orang baru yang ingin mengenal kondisi dan situasi sekitar, Harvia tentu saja berkeliling dan bertemu banyak warga dari berbagai elemen, seperti pedagang, ibu rumah tangga, remaja, dan juga petani.
Minggu pertama memang menjadi momentum yang cukup menantang bagi harvia, karena harus menguasai medan dengan baik, namun ia mengaku cukup kesulitan karena memang remaja yang semula diharapkan sebagai teman ngobrol tidak dapat ditemui karena banyak yang bekerja di tiga gili (Trawangan, Air, dan Meno). Akan tetapi, tentu saja Harvia tidak menyerah, di hari-hari berikutnya, ia berkeliling dan banyak berintraksi dengan pedagang, ibu rumah tangga, dan para petani yang menginginkan saluran irigasi menuju sawah dan ladang mereka diperbaiki sebaik mungkin, karena sejauh ini petani di Sumur Mual mengandalkan air dari aliran sungai untuk menyirami tanaman di sawah dan ladang mereka.
Pada hari berikutnya, Harvia mencoba mengenali medan dan peristiwa-peristiwa sosial di Sumur Mual dengan masuk melalui pintu sebuah Lembaga Pemberdayaan yang saat ini sekretariatnya bertempat di Sumur Mual, nama Lembaga tersebut adalah Tititan Foundation. Lembaga ini memang cukup dikenal di kecamatan Pemenang sebagai sebuah Lembaga pemberdayaan bagi ibu-ibu rumah tangga dan remaja yang memanfaatkan sumber daya alam lokal menjadi karya-karya seni. Tentu saja Harvia banyak berdiskusi dengan pengurus Lembaga itu, saling bertukar gagasan terkait program pemberdayaan yang sejauh ini juga ditekuni oleh Harvia.
Alhasil, karena hubungan dan diskusi terjalin cukup intens antara harvia dan Titian Foundation, ia diajak untuk mengikuti program pembuatan kompos yang diinisiasi oleh pengurus Titian Foundation bersama ibu-ibu rumah tangga di Sumur Mual keesokan harinya. Melalui Lembaga Titian Foundation juga, hari Sabtu (1/5/2024), bertempat di sekretariat Titian Foundation, Harvia dan ibu-ibu dari dusun Sumur Mual mengadakan pelatihan batik dengan memanfaatkan tumbuhan sekitar sebagai pewarnaan yang tentu saja kegiatan ini difasilitasi seluas-luasnya oleh pengurus Lembaga Tititan Foundation.