Skip to main content

Oleh: Luthfan Nur Rochman dan Muhammad Sibawaihi

Adegan #1

Hujan berhari-hari membangunkan air bah dari Hutan Mur Payung. Lalu ia bergerak, melata melahap bibir sungai yang rapuh, menghantar gemuruh ke kampung-kampung di Rangsot.  Air bah menggemuruh, membangunkan Amaq Kaka. Sedari sehari lalu, ia khawatir. “Tanggul kecil tidak proporsional yang dibangun penguasa beberapa saat lalu itu, tidak akan mampu menahan emosi air seperti malam ini”.  Kemudian ia bergerak ke berugaq mengambil tali dan linggis, lalu menerobos melawan gelap, sementara di telinganya gemuruh semakin dekat. Di belakangnya, anak jari dan Inaq Kaka mengikuti takut-berani menghalangi Amaq Kaka.

Anak jari dan semua warga tahu, Amaq Kaka selama ini berkhidmat, meniti jalan air di hutan Mur Payung. Ia yang menandai mata-mata air. Ia menuntun warga Rangsot dan sekitarnya memasang pipa-pipa kecil yang berubah menjadi nadi kehidupan warga rangsot. Ia juga yang memikul pohon-pohon dan menanamnya di pinggir kiri-kanan sungai. Dan sekali lagi, malam ini, Amaq Kaka akan mempertaruhkan dirinya, menerobos batas boleh-tidak boleh, demi air tetap mengalir menjadi anugerah bukan bencana. 

Amaq Kaka berdiri di tepi sungai dan bergegas mengikat tali di pinggangnya, kemudian ia tambatkan tali itu di sebuah pohon di dekat sungai. Lalu tangan kanannya kuat menggenggam linggis. Ia maju-mundur. “Jangan bodoh, Amaq Kaka! Engkau bisa mati!” Amaq Kaka diselimuti keraguan sekaligus kehendak bebasnya sebagai manusia merdeka. Suara air bah bergemuruh. Air bah melahap ladangnya. “Sebentar lagi air bah ini akan melahap kampungku!” Ia maju-mundur, diselimuti keraguan sekaligus kehendak bebasnya sebagai manusia merdeka.  “Jangan bodoh, Amaq Kaka! Engkau bisa ditangkap petugas!” warga kampung kecil itu mulai berdatangan, mendengar kabar Amaq Kaka hendak menjebol tanggul kecil itu. “Jangan bodoh, Amaq Kaka! Engkau bisa masuk penjara!”

Amaq Kaka tidak peduli. Ia terjun! “Amaq Kaka…!” warga kampung kecil berteriak. Lalu membisu menahan nafas. Hanya suara gemuruh yang memekakkan telinga. Lalu tubuh kecil Amaq Kaka muncul, sedang linggis di tangan kanannya mulai ia angkat. “Aku hanyut atau kita semua hanyut! Aku mati atau kita semua mati!” Kemudian ia mulai menghujam tanggul. Tubuh kecilnya timbul-tenggelam. Sementara hujan semakin deras. Suara bah terus bergemuruh diselingi suara dentuman tanggul yang dihujam linggis.”

Adegan #2

Di suatu sore, seperti biasa, warga Teluk Kombal berbagai usia tumpah ruah di pantai Teluk Kombal. Para pemuda datang berkelompok sembari membawa dua-tiga bola kaki. Anak-anak kecil berlarian mengejar sayong (ombak kecil) yang maju-mundur. Sementara para Inaq-Inaq kaka tengah menyiapkan minuman dan makanan ringan untuk amaq-amaq Kaka yang tengah beristirahat di bawah pondok dari bambu seadanya, yang beratap seng bekas reruntuhan gempa Lombok 2018. 

Amaq Kaka dan beberapa orang tua memanggil-manggil para anak jari yang hendak hendak bermain bola, membuat mereka urung menuju lokasi lapangan bola yang kini lebih mirip endapan lumpur. Para anak jari duduk melingkar. “Wahai Anak Jari, ingatlah ingat. Kita berada di ujung daratan dan di atas bibir pantai. Sebentar, angin utara akan datang dengan jutaan gulungan ombak, pantai kita yang semakin ringkih ini dengan ganas dilumatnya.  Sementara di musim hujan nanti, air yang tidak bisa diikat oleh daerah hulu akan memicu air bah dan banjir bandang.” 

Kala itu, Amaq Kaka dan beberapa orang tua sedang bergotong-royong membuat tanggul sederhana. Mereka berharap, para anak jari bisa bergabung membantu mereka. Memang benar, angin utara yang mengundang jutaan gulungan ombak rutin datang setiap tahun,  membuat daratan Teluk Kombal mundur 100 meter dari apa yang dahulu diingat oleh warga. Sementara, sejak pohon-pohon di kawasan hulu semakin sedikit, fenomena air bah dan banjir bandang semakin sering terjadi dan menambah kekhawatiran warga.

Para Inaq kaka datang membawa suguhan teh atau kopi dan  gobet (makanan dari ubi). Sembari menyantap gobet, mereka bercerita tentang Teluk Kombal di masa lalu. Masa di mana kawasan pesisir masih hijau dipenuhi rumput. Saat itu, pantai menjadi pusat kebudayaan mereka. Berbagai peristiwa dikekola warga secara mandiri, mulai dari ritual Nyalemetang Telok, konser musik dan pertandingan olahraga. Kondisi itu kini 180 derajat terbalik. rumput berubah menjadi rumah-rumah kepiting. Pohon-pohon kelapa mati kering. Sedangkan halaman rumah sudah berubah menjadi rawa.  Namun, obrolan mereka tiba-tiba dikejutkan oleh panggilan para Inaq kaka untuk segera menyelesaikan pekerjaan mereka sebelum hari semakin gelap. 

Para anak jari mengambil karung beras, lalu mengisi karung-karung itu dengan pasir. Amaq Kaka dan beberapa orang yang memiliki tubuh lebih kekar kemudian menjejerkan karung-karung itu di sepanjang garis garis pantai. Inisiasi mandiri semacam ini dilakukan Amaq Kaka dan warga sejak beberapa tahun terakhir. Inisiasi yang mungkin tidak banyak bisa menahan amarah air laut ini dilakukan karena janji-janji manis penguasa untuk menyelamatkan warga Teluk Kombal dari banjir rob urung terealisasi. Privatisasi lahan oleh korporasi di sepanjang pantai telok kombal menjadi salah satu alasan kenapa tanggul sampai saat ini tidak dibangun. Sedangkan pemilik modal berlomba-lomba mereklamasi bibir pantai yang sudah terkikis, mempercepat pengikisan di bibir pantai di depan pemukiman warga. 

***

Cacahan kisah air dan para pekasih-nya di dusun-dusun di Lombok Utara hari ini merupakan serpihan dari ingatan semesta yang merupakan hakikat dari Air. Air yang sifatnya mengikuti wadah, dibangun dari gerak (termasuk diam), emosi, dan pemaknaan atas alirannya sepanjang zaman. Air membagi dirinya di makhluk dan benda-benda, maka sejatinya kita semua adalah air. Dalam sejarah, ketika tubuh air menyeruak berlimpah atau hilang di daratan, akibat guncangan tektonis, vulkanis, maupun iklim, manusia mengkonstruksi struktur pengetahuan untuk mengelola jalurnya yang mendua: mengasihi dan menghancurkan.

Bangsal Menggawe yang tumbuh dari praktik membingkai, melihat problematika dan gagasan air di sekitarnya sebagai bingkaian-bingkaian yang perlu dimontase. Montase, yang dikenal sebagai istilah filem untuk menyusun bingkai untuk menimbulkan pemaknaan baru atas sebuah gagasan, dirasa menjadi langkah strategis untuk melihat bagaimana air-air ini dimaknai hari ini untuk beragenda ke depannya. Ada empat agenda yang kami identifikasi sebagai langkah strategis yang dapat merangkum persoalan air secara komprehensif lewat gerak montase, yang mencakup identifikasi peralatan, kurikulum air, awig-awig (hukum adat) dan aktivasi masyarakat.

Maka dengan meminjam siklus air sebagai konsep dan metode memontase, Bangsal Menggawe menata evaporasi (penguapan air laut), kondensasi (pengembunan menjadi awan), presipitasi (hujan), dan infiltrasi (penyerapan air tanah) menjadi rangkaian yang dilalui partisipan Bangsal Menggawe dan warga-warga di sembilan dusun di Lombok Utara. Dengan menginisiasi pertemuan fragmen air dari berbagai lokasi di kepulauan dengan Lombok Utara, kami mengundang para seniman untuk belajar menjadi pekasih di masing-masing dusun. Dengan metode dan sejarah air yang mereka bawa dari latar belakang mereka, para seniman menguapkan ‘ingatan air’ dari warga-warga dusun. 

Berbagai strategi dilakukan oleh para seniman yang berusaha larut di dalam persoalan warga, dari air mengalir menuju persoalan sosial, sejarah dan gesekan warga dengan sistem. Mereka mengelola aliran ingatan, keluhan, dan gagasan warga dengan berbagai gerak menampung mengalirkan hingga menanggul. Proses pembelajaran menjadi pekasih membuat kami menyadari bahwa persoalan air ini menjadi awal dari pembicaraan tentang peradaban yang akan diciptakan mulai dari hari ini. Gangguan yang dipicu dari penggalian seniman dalam proses penguapan itu menjadi bekal teman-teman residen seniman untuk mengembunkan kelompok fokus warga di masing-masing lokasi untuk menjadi awan yang siap menghujani Lombok Utara.

***

Adegan #3

“Siooo… Siooo…!!! Siooo… Siooo…!!!”

Suara Inak dan Amaq Kaka mengusir burung-burung yang hinggap di atas bulir-bulir padi yang tengah menguning. Meski didera matahari terik, senyum sumringah nampak terukir di wajah mereka. Bagaimana tidak, dari ribuan hektar sawah di Tebango. Hanya beberapa orang yang dalam waktu dekat memanen sawah mereka. Sementara petani yang lain, mengalami gagal panen karena ladang mengering dan atau diserbu hama.

“Kita harus bersyukur kepada Sang Budha, atas anugerah yang ia berikan.” Ungkap Inaq Kaka. “Benar. Kita juga harus berterimakasih kepada para orang tua kita, yang mewariskan pengetahuan bertani kepada kita.” Lanjut Amaq Kaka. 

Inaq dan Amaq Kaka mencoba merawat sawahnya dengan gaya leluhurnya. Ia menyanggah warisan revolusi hijau yang menyeragamkan pestisida unggul untuk mengejar swasembada pangan yang kemudian mengubah gaya bertani masyarakat Indonesia. Penghormatan Inaq dan Amaq Kaka pada air dan alam secara keseluruhan diyakini sebagai asbab keberhasilan tanaman mereka. Dengan bimbingan Amaq Mangku, di mata air, Amaq Kaka melafalkan doa-doa sembari menaruh sanggah (tempat sesajen dari bambu)  sebagai bentuk penghormatan. Amaq Kaka juga menancapkan sanggah  pada aliran air yang mengalir ke sawahnya. Selain itu, warisan ‘memasa’ (berbahasa/berdialog) kepada alam adalah selalu dilakukan.  Amaq kaka menangkap hama yang hinggap di padinya, dan berbisik padanya untuk mengambil apa yang menjadi miliknya, dan menyisakan jatah untuk petani yang menanamnya. 

Ketika tiba masa panen, satu are dari 9 are sawah itu rusak padinya, namun 8 are lainnya bernas dan siap untuk dipanen. Sebagai rasa syukur atas hasil tersebut, Amaq kaka merencanakan ritual syukur untuk menyebarkan air yang ia ambil dari puncak Rinjani dan mengelilingi sawah tersebut searah jarum jam (pradaksina).

***

Siklus air secara geografis mengimajinasikan gerakan memutar yang puitik, menyegarkan kembali kehidupan. Indah Zulhidayati yang praktik teaternya berkelindan dengan ritual, bekerjasama dengan warga Tebango untuk mengalirkan tradisi nenek moyangnya dalam panen ini.  Ia dan warga Tebango mengidentifikasi ikon-ikon penting yang dapat mengkomunikasikan keinsyafan pada alam, mengembunkannya menjadi gerak-gerak masyarakat dalam ritual itu.

Berangkat dari sejarah tiga agama yang penting dalam pembangunan tiang agung Masjid Jami’ul Jama’ah Karang Pangsor, Baron melakukan gerak pembukaan kran yang memicu kembali pemaknaan sejarah dan identitas di Dusun Karang Pangsor di ranah publik. Begitupun dengan Alam Kundam, yang berangkat dari persoalan privatisasi air di Terengan, lalu terinspirasi untuk mengelola persoalan ini lewat seni tradisi yang berkembang di Terengan, yaitu Rudat. Bagi Alam, persoalan air di tengah masyarakat dan dinamika seni tradisi Rudat di Lombok Utara hampir mirip, ‘ada tapi tidak diperhatikan’. Pertemuan-pertemuan yang dipicu oleh modifikasi Penting-Rudat (musik rudat yang menggunakan alat musik ‘penting’) dan syair lagu tentang air dan sejarah rudat oleh Alam di beberapa grup bermuara pada gagasan tentang pengelolaan pengetahuan secara kolektif lewat Sekolah Rudat Lombok Utara.

Harvia Hayati mengidentifikasi keberjarakan warga dusun Sumur Mual dengan sungai dan mata air yang ada di sana. Ia merancang sebuah kurikulum untuk mendekatkan kembali ingatan warga dengan air melalui permainan tiga babak yang menyasar anak-anak. Masing-masing babak adalah afirmasi terhadap mitos dan narasi air di Sumur Mual. S La Radek mengadopsi konsep menciro menjadi metodenya, ia menjala serpihan memori, pemandangan dan wajah-wajah warga Jambianom lewat sketsanya dan mempersembahkannya kembali dengan menggandeng para pencerita untuk menceritakannya ulang.

Lewat metode perekaman bunyi, Sigisora menguapkan memori air di warga Rangsot dan mengidentifikasi kelompok fokus remaja yang kritis untuk membicarakan isu terkini Rangsot. Lewat penggalian bersama remaja,  sebuah peristiwa sosial bernama sangkep, yang mengumpulkan warga untuk bermusyawarah terkait isu penting di lokasinya, muncul sebagai urgensi dalam membicarakan Rangsot. Metode sangkep yang pada masa lalu diinisiasi oleh lelaki dengan status sosial tertentu, coba diremajakan oleh remaja Rangsot untuk lebih inklusif dengan mempertemukan lebih banyak bunyi dari warga terkait isu terkini di Rangsot.

Dalam penelusuran Gubuak Kopi bersama warga Kerujuk, awig-awig (kesepakatan adat) dan waran (dongeng) yang sadar konservasi muncul sebagai kata kunci untuk menavigasi persoalan yang ada di Kawasan Hutan Kerujuk. Gubuak Kopi bekerjasama dengan banyak kelompok fokus masyarakat Kerujuk mulai dari Kepala Dusun, Kelompok Tani Hutan, Kelompok Ekowisata, dan pemuda untuk meninjau ulang awig-awig yang pernah dibuat sebelumnya terkait hutan Kerujuk dan memformulasikan revisi awig-awig. Musyawarah untuk menampung komentar warga terkait awig-awig baru membongkar banyak perhatian warga Kerujuk terkait batas-batas pemanfaatan hutan dan kesadaran lingkungan. Ketika menemukan kesepakatan dalam penyusunan awig-awig, sebuah ritual yang bernama Meroah Gawah menyakralkan awig-awig tersebut di kebun milik warga di hutan. Seorang pendongeng ulung di Kerujuk menjadi mitra Gubuak Kopi dalam menulis waran baru dengan wawasan konservasi untuk memulai kisah baru yang memandang hutan dan mata air sebagai kawasan yang sakral.

Non Blok Ekosistem, yang melancarkan mata udaranya di Teluk Kombal merekam lanskap terkini dari pesisirnya. Pertemuan warga dengan Non-Blok Ekosistem membedah bagaimana bibir pantai yang semakin berkurang mengancam pemukiman yang lama dihuni oleh warga berikut ingatan-ingatannya. Kebutuhan akan tanggul diupayakan oleh warga semenjak banjir rob mengubah kawasan bermainnya. Non-Blok Ekosistem meneruskan ikhtiar warga dalam menanggul kawasan pesisirnya, meletakkan tugu harapan di depan tanggul seraya menggugat sistem yang membiarkan privatisasi lahan mengambil kawasan pesisir untuk kepentingan plesir.

***

Adegan #4

Amaq Kaka mengutuki setiap mobil bertuliskan nama-nama hotel yang lalu-lalang di depan rumahnya. Inaq Kaka mencoba menenangkannya. Tapi emosinya tengah meluap-luap. Betapa tidak, ia baru saja disidang dewan desa karena laporan salah satu manager hotel. Amaq Kaka dituduh mengganggu kenyamanan para pelesir yang menginap di hotel. “Baru kali ini saya merasa tidak dihormati di tanah saya!” Ia terus menggerutu. “Makanya, jangan membuat kegiatan aneh-aneh!” ungkap Inaq kaka sembari menyuguhkan kopi. “Aku hanya mengajak anak muda bermain musik, meramaikan warung-warung warga di pantai. Kamu kan tahu, jika ada keramaian seperti itu, orang akan semakin banyak datang, dan jualan mereka semakin laku. Apa yang salah dengan hal itu? ” Emosinya mulai menurun. “Tidak salah, tapi untuk apa? Lagian, warung-warung warga itu tidak akan bertahan lama. Dalam waktu dekat, tidak lama lagi, tanah-tanah kosong itu akan dibangun hotel-hotel mewah. Kamu tidak ingat apa yang terjadi di dusun sebelah?  Mereka semua direlokasi karena pembangunan hotel di Penjumut? Mungkin sebentar lagi, kita sudah tidak bisa ke pantai lagi.” Ungkap Inaq Kaka. Amaq Kaka diam merenung. “Apa gunanya mengutuki? Tapi apa aku harus berdiam diri?”

Amaq Kaka telah menyaksikan lipatan-lipatan peristiwa di tanahnya sejak 20 tahun belakangan ini. Pun dalam ingatannya masih tersimpan asal-usul tanahnya yang terus didongengkan dari masa ke masa. “Oh Inaq Kaka… Aku tahu dan sadar bahwa dahulu tanah ini memang tidak ada. Amarah Samalas ratusan tahun lalu telah mengangkat dan menyatukannya dengan daratan Lombok ini. Lalu buyutnya buyutku meninggali tanah ini, menghormatinya sebagi anugerah Nenek Kaji Siq Kuasa (Tuhan Yang Maha Esa), sedangkan lautannya adalah hamparan ladang rejeki yang luas. Dari tanahnya, air-air segar dan suci tersedia. Menghilangkan dahaga sekembali dari mendulang rejeki di laut. Inaq Kaka… Aku ingat kisah dari Ibuku, saat untuk pertama kalinya aku menyentuhkan kakiku di tanah pantai berpasir putih ini. Ibuku mengatakan aku sangat girang. Lalu pelan-pelan ia memasukkan tubuhku ke air laut yang jernih berkilauan, sembari melafalkan harap agar aku tumbuh besar dengan menjaga dan menghormati tanah ini dengan seluruh jiwaku. Oh Inaq Kaka… Tapi kau lihat sekarang? Kita semua lupa. Tanah ini semakin menyempit karena kepentingan segelintir. Akses ke pantai semakin susah. Para nelayan didikte, tidak boleh menambat perahu mereka sembarangan. Sementara orang-orang kita menjadi pelantara, memuluskan jalan monster-monster ini menggerogoti tanah kita. Aku tidak bisa tinggal diam, Inaq Kaka! Tidak bisa!”

Lalu Amaq Kaka bangkit dari berugaq. Ia memasuki rumahnya. Sebentar kemudian ia keluar. Inaq Kaka menangis haru. Dilihatnya kain putih melingkar di pinggang Amaq Kaka, mengikat kain cota-nya. Amaq Kaka memeluk istrinya lalu berjalan ke timur, menuju muara. “Oh Inaq Kaka… Tunggu aku di sebelah barat, di tempat matahari terbenam. Tempat para moyang kita dikuburkan.”

***

Sira, sebuah tanjung yang tingkat okupasi lahannya oleh swasta mendekati 90% menjadi kawasan destinasi wisata elit bagi para pengejar eksotika tropis. Pertemuan Muarasuara dengan warga Sira mengarsir kembali apa yang masih dimiliki oleh warga dengan menginisiasi gerak perjalanan dari muara di Sira Timur menuju Pantai Sejuk. Sebuah gerak menarik garis yang politis dalam mengklaim kawasan pesisir yang penting dalam sejarah kultural di Lombok Utara.

Epos Perjalanan Air yang diinisiasi oleh seniman dan warga dusun di sepanjang proses penguapan dan pengembunan, berkumpul menjadi awan yang bernas dan mengundang warga Pemenang untuk bermain hujan di Pelabuhan Bangsal. Hujan yang jatuh akan kembali mengisi tubuh-tubuh air di daratan dan diserap oleh tanah, menopang ekosistem mahaluas. Proses penyerapan yang sama diharapkan terus terawat oleh laku-laku warga yang mengingat airnya jauh dan mengalirkannya ke generasi penerusnya.

Penulis :

Luthfan Nur Rochman

(Kurator Bangsal Menggawe 2024)

merupakan seorang pembuat film, kurator, dan penulis, juga anggota aktif Forum Lenteng dan penyelenggara ARKIPEL, Jakarta Documentary & Experimental Film Festival sejak 2018. Sekarang, dia berfokus pada Milisifilem, sebuah kelompok belajar produksi film melalui praktik eksperimentasi visual, yang digagas oleh Forum Lenteng. Dengan latar belakang arkeologi, karya Luthfan kerap membedah lapisan-lapisan historiografi berbagai produksi kebudayaan.

Luthfan menulis sebuah telaah karya film Indonesia tahun 1953, Harimau Tjampa dalam buku ‘Harimau Tjampa’ (Kultursinema, 2021), dan mengkurasi pameran tunggal Otty Widasari: PARTISAN di Galeri Nasional Indonesia. Ia sedang mengembangkan Program Candikala di Forum Lenteng, yang mencoba mengontekstualisasikan warisan Hindu-Budha di Indonesia melalui praktik seni. Saat ini, ia juga mengkurasi Jogja Fotografis Festival.

Muhammad Sibawaihi

(Kurator Bangsal Menggawe 2024)

lahir di Pemenang pada 1988. Aktif berkegiatan di Pasirputih Lombok sebagai Direktur Program sejak 2010. Menyelesaikan pendidikan Antropologi Terapan di Australian National University (ANU) pada 2022.  Bersama Pasirputih, Siba aktif menginisiasi berbagai kegiatan seni dan budaya seperti pameran, festival, produksi film dan tulisan, diskusi dan lokakarya.