Perjalanan delapan hariku di Rimbang Baling. Perjalanan ini merupakan perjalananku sebagai salah seorang partisipan residensi yang diadakan oleh Lumbung Indonesia, program ini disebut Lumbung Kelana. Program ini diikuti dua belas kolektif yang ada di Indonesia. Salah satunya adalah kolektif-ku, Yayasan pasir putih.
Kali ini saya sebagai partisipan pasir putih diutus untuk mengikuti kegiatan ini. Saya ditempatkan di salah satu kolektif di Pekanbaru Riau, tepatnya di Kolektif Sikukeluang. Oke gengs kita lanjut ya, menuju Rimbang Baling.
Sebelum ke Rimbang Baling kami singgah dulu di kolektif Sikukeluang. Hari pertama berjumpa dengan kawan kawan Sikukeluang dan di sana ada; om Hery Budiman, Ade, Yaya, Iki, Panji, Juju, Bang Am, Bang Taufik, Dewi, Risqan, dan banyak lagi yang lainnya.
Sory ya yang lain gak disebutkan namanya dan bukan berarti lupa tapi takut salah sebut hehehe. Malam kedua di markas Sikukeluang, saya dan temanku Diqu. Diqu wanita manis semanis buah duku, dia juga salah satu partisipan Lumbung Kelana yang berasal dari kolektif forum Sudut Pandang, Palu. Malam ini kami memperkenalkan diri dan kolektif masing masing di markas Sikukeluang.
Di sesi ini juga kami satu persatu memperlihatkan praktik masing masing, banyak di antara mereka memperlihatkan video melalui Youtube, dan banyak di antara mereka memperlihatkan album musik dan video klipnya, karena kebanyakan di antara mereka berprofesi sebagai penyanyi. Tiba-tiba si Ade lelaki yang saat ini aktif di Sikukeluang membuang tatapannya padaku.
“Tul,” dia memanggilku,
“Punyamu mana,” dia menanyakan channel Youtube-ku.
Waduuuhhh! Kebingungan nih saya.
Kemudian saya teringat sepuluh tahun yang lalu waktu awal pasir putih pegang kamera, kita sempat bikin video klip yang kebetulan salah satu lagunya ada saya sebagai model klipnya.
Akhirnya video itu diputar, dan terlihat gambar yang sangat gelap, perlahan-lahan mereka mengamati siapakah yang ada di video itu, setelah itu dua menit baru ketahuan kalau itu adalah saya, hahaha.
Oke gengs, kita lanjut ya. Perjalanan menuju Rimbang Baling. Perjalanan yang membutuhkan dua jam menuju pelabuhan gema. Sampai pelabuhan kami menggunakan Piau (perahu kecil) sebagai alat transportasi melintasi sungai menuju Rimbang Baling, sungainya bernama sungai Bio. Kurang lebih dua jam perjalanan. Saya, Diqu, Ade, dan Iki, menggunakan Piau, sementara om Hery dan Yaya menggunakan mobil.
Sampai di Koto Lamo, salah satu desa yang ada di Rimbang Baling. Kami langsung menuju rumah Datuk, kepala suku yang ada di Koto Lamo. Malam pertama kami menginap di rumah Datuk. Datuk menyambut kami dengan senang hati. Di rumah itu saya melihat beberapa karya seniman yang pernah residensi sebelumnya, ada beberapa poto dokumentasi orang yang pernah kesana, dan ada buku-buku yang ditaruh dengan rapi.
Malam hari nya programa dilanjutkan dengan berkunjung ke rumah kepala desa, beliau juga sangat senang dengan kedatangan kami, dan bercerita banyak tentang kondisi kampung Koto Lamo, dan pertemuan itu ditutup dengan menikmati durian hasil dari hutan.
Oke gengs lanjut ya.
Pada Hari hari berikutnya kami bermalam di Lab yang lokasinya agak jauh dari kampung Koto Lamo. Setiap hari kita harus bolak balik dari Lab ke kampung. Mengajak anak anak menggambar, menari, yoga, dan bermain di sungai – Juga menyusun batu sekaligus menggambar dengan menggunakan medium batu – pokoknya menyenangkanlah.
Kemudian menjelang hari-hari terakhir di sana, saya berkunjung ke rumah pemain alat music tradisional Calempong. Namanya ibu nursima, perempuan yang kira-kira usianya tujuh puluh tahun. Beliau juga sangat senang dengan kedatanganku. Berkali-kali menanyakan tentang kapan ada festival lagi, karena beliau selalu terlibat dalam festival Rimbang Baling yang diadakan setiap tahun.
Kemudian beliau menunjukkan kepadaku cara bermain Calempong. Dan beberapa kali mencoba mengajariku cara memainkannya. Aku sangat senang, dan kemudian mencoba mengarsipkannya dengan media sketsa, yang kemudian menjadi salah satu karyaku yang dipresentasi akhir.
Kemudian tibalah saatnya meninggalkan Koto Lamo, perpisahanku dengan Koto Lamo cukup meneteskan tiga tetes air mata. Tibalah saatnya menyiapkan karya untuk dipamerkan di markas Sikukeluang.
Charcoal, batu, disusun melingkar kemudian di tengah-tengahnya ada tungku dari batu, kemudian di atasnya ada kaleng – sebagai proses cara pembuatan charcoal. Karya ini saya beri judul Tigo Tungku Sajarongan. Kemudian ada juga beberapa sketsa dari charcoal, tentang apa yang aku lihat di sana.
Oke gengs, begitulah kira-kira perjalananku di Pulau Sumatera.