Skip to main content

“Sehitam apapun beras yang kamu masak, jika memasaknnya menggunakan Belaong maka rasanya akan setara dengan beras dengan kualitas super yang pernah kamu nikmati”.

Kata-kata itu seperti magis yang membuat saya berhari-hari menelusuri kota pemenang untuk mencari Belaong . Meski sedikit sulit, beruntung bisa menemukannya di suduk pesisir dekat pelabuhan Bangsal, tepatnya di rumah Umy Kirom Dusun Karang Pangsor. 

BELAONG DAN KEISTIMEWAANNYA 

Pada pukul 16.48 waktu Pemenang, Aroma berbuka puasa sebentar lagi tiba. Dari halaman rumah yang berdinding pagar, nampak kepulan asap keluar dari rongga–rongga atap dapur. Sedangkan di ruang dapur, terlihat sepasang tungku yang diduduki oleh sebuah teko besar berwarna hitam dan panci kecil, kedua benda itu seperti sedang menunggu sentuhan hangat dari kayu bakar dari atas rancak yang sedang disiapkan oleh Pak Saraf. Tepat di depan tungku, terlihat tangan Pak Saraf merobek-robek sebuah kardus kemudian sesekali meniup kayu bakar dengan serempong bambu. Sementara di atas Berugaq dekat dapur, seorang perempuan paruh baya yang akrab saya panggil Umi tengah sibuk menumbuk bumbu untuk tempe yang sudah dipotong dadu. Sesekali umi menatap Pak Saraf suaminya yang tengah berkeringat menyalakan api.

Pak Saraf dan Umi Kirom adalah sepasang keluarga yang sampai saat ini masih menggunakan tungku untuk memasak. Dalam bahasa Pemenang, tungku dinamakan Belaong. Belaong adalah alat memasak yang terbuat dari batu-batuan, tanah lilin, bata dan menggunakan kayu bakar sebagai sumber apinya. Bentuk dan nama Belaong yang dibuat oleh masyarakat Pemenang sangat beragam, mulai dari Belaong tunggal yang berbentuk segi tiga, dan Belaong gandeng atau Belaong pasang yang bentuknya persegi panjang. Menurut tutur dari Pak Saraf, Belaong berasal dari kata “beloang” yang artinya bolong atau berlubang. Hal ini dikarenakan di beberapa bagian Belaong terdapat beberapa lubang dengan fungsi yang berbeda. Pada Belaong tunggal terdapat dua lubang, yakni lubang bagian atas tempat meletakkan benda untuk memasak seperti teko, panci, penggorengan dan sebagainya. Satu lubang lagi terletak di bagian depan Belaong yang berfungsi sebagai tempat memasukkan dan menaruh kayu yang akan dibakar. Sedikit berbeda dari Belaong tunggal, Belaong gandeng memepunyai tiga lubang yang berbeda, yakni terdapat dua lubang di bagian atas yang berfungsi sebagai tempat menaruh dua wadah masakan, dan satu lubang di bagian depan belaong yang berfungsi sebagi tempat memasukkan kayu bakar seperti belaong tunggal. Beberapa warga yang masih menggunakan Belaong, lebih memilih Belaong gandeng untuk memasak karena lebih efesien dan cepat selesai. Seperti yang dilakukan oleh keluarga Pak Syaraf, mereka memilih membuat Belaong gandeng dengan alasan agar bisa menghemat waktu ketika memasak, karena jika menggunakan Belaong gandeng maka mereka bisa memasak dua jenis masakan yang berbeda dalam satu waktu. 

Waktu berbuka semakin dekat, tangan Umi begitu lincah mengejar waktu, kadang memegang tepung, memegang bumbu, memegang ulekan, sesekali meniup api Belaong agar tetap menyala. 

Di depan Belaong sambil menumbuk bumbu, Umi menuturkan kepada saya alasan kenapa ia masih bertahan menggunakan Belaong, bukan karena ia tidak mampu membeli alat-alat modern seperti yang marak digunakan oleh masyarakat saat ini, bahkan alat-alat memasak yang berbau modern tersimpan rapi di rumah Umi termasuk kompor gas. Hal yang membuat Umi suka memasak menggunakan Belaong adalah karena Belaong melahirkan kesempurnaan rasa dan aroma dari makanan-makanan yang dimasaknya. Masakan menjadi lebih pulen, wangi, empuk, gurih dan tidak mudah basi meskipun disimpan sampai satu hari. “Kompor gas ada, magic com ada. Jika saya ingin masak tinggal putar atau dicolok, tidak perlu repot meniup kayu bakar. Saya juga tidak perlu bersusah payah mencari kayu bakar ke hutan, tangan saya tidak hitam karena abu gosok, tapi tetap saja masakan dari Belaong tidak akan tergantikan, selain itu saya juga menjadi irit gas terlebih sekarang gas harganya mahal.” Tutur Umi lembut.

Aktivitas Umi ketika memasak menggunakan Belaong

Keistimewaan Belaong tidak hanya dinikmati oleh rakyat jelata saja, bahkan pejabat berdasi dengan plat merahpun ikut hanyut dalam rasa yang dihadirkan oleh sang Belaong. Umi sempat menuturkan bahwa Belaongnya seperti magic yang mampu menarik tamu-tamunya kembali berkunjung.  Pernah beberapa kali sesorang yang mempunyai kedudukan tinggi di kalangan pemerintah datang hanya untuk meminta Umi memasakkan makanan-makanan dari atas Belaongnya. Ia seperti menemukan rasa istimewa yang tidak didapatkan dari meja berlapis kemegahan, itulah mungkin yang membuat sesorang tersebut selalu merindukan Belaong Umi.

Modernitas memang tidak bisa membohongi selera rakyat, warga seperti sudah bersepakat akan kenikmatan dan keistimewaan makanan yang dimasak menggunakan Belaong. Bukan hanya Umi yang tergila-gila dengan masakan dari Belaong, salah seorang tetua di Pemenang yang bernama Lalu Mintarja-pun memberikan respon yang sama.

“Bukan karena piringnya yang berlapis emas, atau gelas yang terbuat dari perak, makanan-makanan itu memang nikmat jika dimasak menggunakan belaong. Saya bahkan sengaja datang ke rumah Hamdani tetangga saya, hanya untuk makan nasi yang dimasak oleh ibunya dari Belaong. Saya rela mencari kayu bakar sepanjang pesisir pantai Pemenang, yang penting saya dapat merasakan kelezatan masakan dari Belaong”. 

Tanggapan warga tentang si Belaong menjadi sebuah penghargaan mendalam terhadap keistimewaan sang Belaong.

LAHIR DAN HILANGNYA TRADISI KARENA BELAONG

Belaong tidak hanya menghadirkan kelezatan di setiap masakan warga, tetapi juga dapat melahirkan tradisi dan budaya yang melekat dalam kehidupan masyarakat Pemenang, seperti tradisi “mbau kayuq”. Tradisi mbau kayuq adalah suatu aktivitas mencari kayu bakar di suatu tempat yang sudah ditentukan dan dilakukan secara bersama-sama oleh para remaja laki-laki dan beberapa orang tua. Tradisi ini dilakukan oleh masyarakat ketika ada acara-acara besar, seperti acara pernikahan, kematian, ngurisang, khitanan atau acara hajatan besar lainnya. Tradisi mbau kayuq dilakukan oleh warga karena adanya aktivitas memasak secara besar-besaran dan menggunakan Belaong yang cukup banyak. Aktivitas memasak ini dilakukan secara bersama-sama oleh sekelompok perempuan atau laki-laki yang mempunyai keahlian dalam memasak atau disebut “Ran”. Uniknya tradisi ini dilakukan secara sukalera tanpa paksaan atau imbalan khusus. Cukup dengan pemberitahuan kecil dari toa terkait dengan waktu pelaksanaan mbau kayuq, maka pada hari yang sudah ditentukan warga akan datang berkumpul sambil membawa parang untuk mengambil kayu.

Selain tradisi mbau kayuq, ada juga tradisi unik lainnya yang lahir dari Belaong, yakni tradisi “geranang belaong”. Tradisi geranang belaong adalah tradisi yang dilakukan setelah acara hajatan selesai. Tradisi ini dilakukan dengan cara saling coret wajah antar warga dengan menggunakan gosong dari panci yang sudah digunakan masak besar – besaran menggunakan Belaong. Dari tutur warga, bahwa biasanya mereka melakukan tradisi ini hanya pada saat acara pernikahan saja. Tradisi ini hanya sebagai bentuk hiburan bagi warga yang sudah berhari-hari bekerja melakukan serangkaian acara pernikahan. 

Dalam kehidupan sehari-hari, secara tidak langsung Belaong juga menghadirkan rasa persaudaraan dan kebersamaan dalam bentuk yang sederhana, misalnya seperti kebiasaan warga saling memberi dan meminta kayu bakar, warga juga bisa saling meminjami tempat memasak ketika tidak mempunyai kayu bakar. Kebiasaan-kebiasaan inilah yang melekat dalam diri warga dan tumbuh seperti ikatan persaudaraan.    

Namun sejak tahun 2010, setelah pemerintah menetapkan program LPG, tradisi-tradisi yang menyatu dengan kehidupan warga itu sudah berkurang, bahkan di sebagain dusun di pemenang, tradisi tersebut sudah tidak dilakukan lagi. Hadirnya gas-gas besar dan kompor –kompor raksasa membuat warga yang melakukan acara begawe (pesta rakyat) atau hajatan tidak lagi menggunakan belaong untuk memasak. Tradisi mbau kayuq dan geranang belaong-pun sudah jarang dilakukan. Terlebih seperti suasana dan aktivitas yang dilakukan oleh keluarga Pak Saraf, kini aktivitas itu menjadi pemandangan yang sangat langka ditemukan.

Dalam pengamatan saya ketika berkomunikasi dengan keluarga dan beberapa warga sekitar, saya tidak lagi mendengar kata Belaong dan hal-hal yang berkaitan dengannya, seperti kata sepit (alat untuk menjepit kayu bakar ketika memasak), rancak (tempat menaruh kayu bakar yang tergantung di atas Belaong), kuseng(gosongan panci), ngindu (aktivitas menghangatkan tangan atau badan di depan tungku saat musim dingin), gerege (kayu bakar) dan kata-kata lainnya. Hilangnya Belaong dan seperangkat kawananya membuat generasi saat ini tidak tau dengan nama-nama tersebut.  Sehingga ketika saya bertanya kepada anak saya yang ikut ke rumah Umi, dia tidak tau apa nama-nama benda yang saya tunjukkan yang berhubungan dengan alat memasak tersebut. Melihat hal ini, saya menjadi sedikit gelisah dengan perkembangan anak-anak saya yang melompati sejarah dan suasana masak menggunakan Belaong.  Tetapi bukan sesuatu yang tidak mungkin generasi sekarang bisa menikmati hal-hal itu. Sepanjang ada keinginan maka Belaong bisa saja kembali hadir bersama tradisi-tradisi berharga yang kita rindukan. Hanya saja pertanyaannya, Mau atau tidak?