*sebuah catatan pengalaman
Berangkat dari ide awal baledata dengan mengangkat tema “Hikayat Pengarsipan”, sebenarnya berangkat dari semangat bale beleq di Lombok Utara. Bale beleq merupakan arsitektur tradisional yang difungsikan sebagai ruang penyimpanan benda-benda bersejarah seperti lontar, surat tanah, benda pusaka, pakaian dan benda-benda peninggalan leluhur lainnya. Benda-benda ini biasanya diritualkan setahun sekali oleh masyarakat adat sebagai bentuk penghormatan terhadap peninggalan tersebut. Selain ritual penghormatan, benda-benda tersebut biasanya diritualkan juga manakala dikeluarkan dari Bale Beleq untuk dibersihkan. Pembersihan atau penyucian benda-benda ini biasanya dilakukan satu tahun sekali. Selain menjadi tempat menyimpang barang-barang, Bale beleq juga menjadi pusat kegiatan masyarakat baik kegiatan keagamaan maupun kegiatan adat.
Semangat itulah menjadi landasan awal kerja kami untuk melakukan kerja produksi audio visual di baledata. Untuk memudahkan produksi audio visual, kami fokus pada 12 subjek dan objek arsip, antara lain bale beleq, candi, museum desa, seniman, hingga kolektor yang ada di Lombok Utara. Dari 12 subjek dan objek ini, kami bagi menjadi 3 kategori produksi, yang pertama adalah film, kedua video dan yang ketiga adalah digitalisasi. Dalam produksi film dan video ini kami merekam tempat penyimpanan (Museum Warga, Bale Beleq dan Candi), objek penyimpanan (Lontar, Kitab-kitab, Lukisan, keris dan lain-lain), mewawancarai subjek pengarsipan untuk menggali tata cara perawatan, pengkategorian benda-benda pusaka hingga latar belakang tempat penyimpanan tersebut. Khusus untuk objek penyimpanan, selai melakukan dokumentasi video, kami juga digitalisasi dalam bentuk still, atas pertimbangan agar objek-objek itu memiliki arsip digital. Dalam memproduksi subjek dan objek pengarsipan, kami menggunakan kamera sebagai alat pendokumentasian dan pendigitalisasi benda-benda pusaka, tempat penyimpanan, dan mewawancarai subjek pengarsipannya.
Untuk mengawali kerja produksi audio visual ini, kami mulai dari Dusun Kertaraharja yang berlokasi di Desa Genggelang, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara. Di sana terdapat Museum Warga yang bernama Museum Desa Genggelang yang diinisiasi oleh salah satu tokoh budayawan bernama Bapak Supardi atau lebih dikenal Amiq Khalid.
Lahirnya museum ini adalah atas kegelisahan Amiq Khalid dan keluarga atas keberadaan benda maupun artefak peninggalan Kedatuan Gangga yang tercecer di masyarakat. Oleh karena itu, beliau membuat museum ini sebagai ruang pengumpulan dan penyimpanan, serta agar dapat diakses oleh publik, baik periset, pelajar, mahasiswa dan masyarakat umum.
Karena museum ini menyimpan cukup banyak benda penting, kami proses di produksi audio visual kami mulai dari pendigitalisasin benda-benda koleksi museum ini.
Namun untuk menambah wawasan tentang benda-benda tersebut, kami juga melakukan wawancara dengan Amiq Khalid guna mendengar penjelasan dan penuturan latar belakang dibangunnya museum tersebut, bagaimana proses pengumpulan benda-benda bersejarah ini, bagaimana perawatan dan berbagai isu terkait Museum Desa Genggelang.Dalam proses digitalisasi, kami menggunakan dua model perekaman, yaitu moving image (gambar bergerak) dan still (gambar diam). Sementara itu, untuk benda tiga dimensi, kami tidak hanya mendigitalisasi dalam bentuk still, tapi juga moving image.
Sedangkan untuk lontar, dokumen berbahan kertas dan keris, kami hanya mengambil still. Dalam perekaman benda tiga dimensi seperti gerabah, guci, atau benda berbahan logam, kami menggunakan alat khusus. Alat ini berfungsi untuk memutar benda-benda tersebut. Alat ini kami buat sendiri dari kayu yang berbentuk lingkaran sebagai alas menaruh benda. Lingkaran ini diputar oleh tuas yang dihubungkan dengan alas pemutar menggunakan karet. Alas pemutar itu kami lapisi dengan kain hitam untuk benda yang berwarna cerah, dan kain putih untuk benda yang berwarna gelap. Penggunaan alat ini memudahkan perekaman melihat benda dari berbagai sudut, dan agar dimensi dari benda dapat ditangkap oleh pemirsa. Sedangkan secara komposisi, kami memilih untuk meletakkan benda-benda tersebut di tengah (center) bingkai. Posisi ini dipilih untuk membuat pengamatan penonton fokus ke benda.
Awalnya, kami berpikir proses produksi audio visual hanya asal jepret-jepret dan rekam-rekam saja. Tetapi setelah proses ini berjalan, barulah kami sadar bahwa banyak hal harus diperhatikan, baik dari segi pencahayaan, alat-alat (meja berputar, kain, lampu, meja) dan lain sebagainya. Karena baru pertama kali melakukan ini, kami cukup kewalahan. Salah satu contohnya adalah dalam pendigitalisasian naskah lontar.
Naskah lontar yang memang ingin kami digitalisasi perlembar, ternyata sangat tidak mudah. Lontar harus dibuka dari gulungannya, pencahayaan yang harus konsisten agar tulisan naskah lontar tidak buram, dan agar bisa diamati oleh pengamat maupun penonton.
Belum lagi pengurus Museum Desa Genggelang tidak bisa membaca aksara lontar tersebut. Ini membuat proses digitalisasi lontar membutuhkan waktu yang cukup lama.
Karena kami yang melakukan digitalisasi dan pihak Museum Desa Genggelang yang tidak bisa membaca, maka secara bersama kami menyaksikan satu-satu setiap kali lontar dibuka dan dipindah, agar susunannya tidak tertukar. Dengan disaksikan secara bersama-sama, membuat kemungkinan kesalahan itu tereduksi. Selain itu, kondisi objek sudah berusia sangat tua (beberapa benda berasal dari abad 7 hingga abad 18), adalah rentan terhadap kerusakan. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi kami, terutama saat memegang benda-benda tersebut. Apalagi menurut Amiq Khalid, tangan punya bakteri yang bisa membuat materi benda pusaka menjadi rusak. Untuk kasus lontar, jika sembarang memegang tanpa sarung tangan bisa merusak tulisan yang ada di atasnya.
Disamping itu, karena kamera mempunyai keterbatasan dalam penggunaanya, terutama ruang penyimpanan (memori) dan daya (baterai), maka kami menyiapkan 10 baterai, 5 charger, dan 9 memory card untuk 3 kamera. Ketiga kamera tersebut kami bagi kegunaannya: kamera 1 khusus untuk merekam moving image, kamera 2 untuk proses digitalisasi dan kamera 3 dokumentasi kegiatan. Kami menyiapkan alat ini untuk jaga-jaga agar proses produksi audio visual berjalan lancar. Proses produksi audio visual di Museum Desa Genggelang berjalan selama tiga hari.
Setelah itu, kami melanjutkan produksi audio visual candi-candi yang berlokasi di Dusun Tebango, Desa Pemenang Timur, Lombok Utara. Sebelum itu, kami mengunjungi Romo Metawadi, seorang budayawan yang menjadi narasumber utama untuk menggali cerita, latar belakang candi, apa saja yang disimpan di dalamnya, serta tata cara perawatan serta proses pembangunan candi. Menurut keterangan Romo Metawadi, candi-candi ini memang dibangun dari hasil perjalanan spiritualnya bersama beberapa warga Tebango. Terdapat dua candi yang dibangun di Tebango, pertama Candi Suradipati dan Candi Bodhi Dharma Jangka Jayabaya.
Kedua candi ini dibangun di dua tempat yang berbeda. Candi Suradipati dibangun di Vihara Jaya Wijaya, yang difungsikan sebagai tempat penyimpanan benda seperti naskah lontar, prasasti tembaga leluhur dan batu besar yang dipercaya sebagai batu meteor. Candi ini dibangun di vihara, karena sejak dahulu, para leluhur di Tebango melakukan aktifitas belajar tentang kehidupan di vihara tersebut. Pemilihan pembangunan di vihara cukup relevan untuk mengkaji ajaran-ajaran kehidupan.
Sedangkan Candi Bodhi Dharma Jangka Jayabaya bertempat di rumah Romo Metawadi. Alasan pembangunan candi ini adalah buah dari perjalanan spiritual Romo Metawadi. Candi Bodhi Dharma Jangka Jayabaya digunakan untuk menyimpan energi perjalanan para leluhur. Akan tetapi akhirnya, dalam perjalanan spiritualnya, Romo Metawadi menemukan kursi, yang menurutnya berasal dari leluhur. Akhirnya, kursi itu ikut disimpan di dalam candi tersebut.
Selain menjadi inisiator dua candi yang berada di Dusun Tebango, Romo Metawadi juga ternyata seorang kolektor benda-benda pusaka. Koleksinya bermacam-macam, mulai dari keris, tombak, lontar, batu dan lain-lain. Romo Metawadi memperoleh benda-benda pusaka dari hasil perjalanan spiritual. Selama proses perjalanannya, benda-benda tersebut diberikan sebagai ijazah dari hasil perjalanan yang beliau selesaikan. Setelah proses wawancara tersebut dilaksanakan, barulah kami diizinkan untuk merekam kedua candi dan koleksi pribadinya.
Dalam proses produksi audio visual tersebut kami mulai dari Candi Bodhi Dharma Jangka Jayabaya. Kami merekam struktur bangunan candi, menelaah arsitekturnya, sampai kami diperkenankan masuk melihat apa saja barang-barang di dalam candi tersebut. Di Candi Bodhi Dharma Jangka Jayabaya terdapat relief Gajah Mada, relief Dangiang Nirarta/Dangiang Mahameru/Dangiang Dwijendra salah seorang guru spiritual, kursi, Patung Jayawijaya yang dipercaya sebagai penjaga dan patung Budha.
Adapun objek-objek yang kami digitalisasi adalah candi-candi, relief, keris, tombak, dan sebuah batu. Dari pengalaman sebelumnya, kami tidak lupa mengenakan sarung tangan sebelum melakukan pendigitalisasian tersebut, khawatir benda yang kami sentuh akan rusak. Termasuk bekal pengalaman mengoperasikan kamera sebelumnya, membuat kami tidak terlalu kesulitan mengatur warna, cahaya, fokus dan persoalan teknis lainnya.
Di Kesempatan yang lain, kami mendatangi Bale Beleq Sokong Kembang Dangar, yang berlokasi di Dusun Prawira, Desa Sokong, Kecamatan Tanjung, Kabupaten Lombok Utara. Saat mengunjungi Bale Beleq, kami terlebih dahulu mendatangi Mangku yang ditugaskan oleh masyarakat untuk menjaga segala hal yang berkaitan dengan piranti, ritual dan benda-benda pusaka yang ada di Bale Beleq. Mangku yang kami temui adalah Raden Prawangsa Jayaningrat. Dari Raden Prawangsa Jayaningrat, kami berharap mendapatkan pengetahuan tentang latar belakang dan fungsi Bale Beleq di masyarakat, apa saja yang ada di dalam Bale Beleq, Bagaimana Sang Mangku merawat benda-benda tersebut, bagaimana kategorisasi benda-benda pusaka yang disimpan, dan bagaimana akses publik terhadap bale beleq.
Sebagai bentuk menghormati Bale Beleq, Sang Mangku meminta kami untuk mengenakan pakaian adat sebelum pendokumentasian kami mulai. Kami mengenakan bongot (ikat kepala), bebet (ikat pinggang dari kain) dan mencota (menggunakan sarung khas Lombok). Setelah atribut pakaian adat yang kami kenakan sudah lengkap, barulah perekaman dimulai. Perekaman kali ini cukup berbeda karena kami hanya bisa mendokumentasikan arsitektur dan tata ruang, dan tidak diperkenankan masuk ke dalam Bale Beleq, kecuali sampai halamannya saja. Sehingga kami tidak bisa melakukan pendokumentasian benda-benda yang ada di dalam Bale Beleq tersebut.
Dalam penuturan Sang Mangku, benda-benda yang disimpan di dalam Bale Beleq hanya bisa keluar pada hari-hari khusus, dan ketika benda-benda tersebut dikeluarkan, maka dibutuhkan ritual tertentu juga. Saat benda tersebut keluar pada acara tertentu itulah, barulah publik bisa merekam dan menyaksikan benda-benda yang disimpan di dalam bale beleq tersebut.
Menurut Sang Mangku, demikianlah cara menjaga kesakralan benda-benda peninggalan leluhur. Selain memang dengan cara itulah keaslian benda-benda tersebut dapat dipertanggungjawabkan, termasuk untuk dijaga sebagai warisan generasi berikutnya.
Setelah itu, kami melanjutkan ke salah satu kolektor benda-benda pusaka, I Nengah Karuna, yang berdomisili di Karang Montong, Desa Pemenang Timur, Kecamatan Pemenang. Saat kami menyampaikan niat untuk mewawancarai beliau dan mendigitalisasi benda-benda yang beliau miliki, Pak Nengah pun serta-merta menyiapkan ritual, meminta izin ke leluhur untuk dilakukan perekaman dan pendigitalisasi benda-benda pusaka yang ia koleksi. Saat melakukan wawancara, ada beberapa hal yang kami gali seperti latar belakang menyimpan benda-benda pusaka, benda-benda apa saja yang disimpan, termasuk bagaimana beliau merawat benda-benda tersebut secara personal.
Dari keterangan beliau kami mengetahui bahwa asal muasal benda-benda yang beliau simpan bermuara pada almarhum orang tuanya. Sedari kecil Pak Nengah sudah melihat benda-benda tersebut disimpan oleh orang tua beliau. Hal ini menunjukan bahwa Benda-benda tersebut memang berasal dari leluhur. Akan tetapi, Pak Nengah juga memperoleh benda-benda lain dari perjalanan spiritual, dan beberapa orang yang menitipkan kepada beliau untuk dirawat. Adapun jenis-jenis benda yang beliau simpan adalah sangat beragam, mulai keris, pedang, naskah lontar dan sorban, piranti ritual dan lain-lain. Sebagai penerus, Pak Nengah diamanahkan untuk menjaga benda-benda tersebut hingga saat ini.
Sementara itu, untuk proses perawatan benda-benda tersebut biasanya dilakukan setahun sekali, yang selalu dimulai dengan ritual tertentu. Tata cara perawatan benda-benda pusaka tersebut, menurut Pak Nengah adalah cukup rumit. Misalnya naskah lontar harus dilumuri dengan minyak kemiri, alasannya agar tulisan dan daun lontar tetap awet. Setelah dilumuri dengan minyak kemiri, barulah disimpan di ruang yang kedap udara untuk menghindari serangan rayap. Lalu benda yang berbahan besi seperti keris, dikerem (direndam) menggunakan air kelapa. Air kelapa muda dipercaya bisa menghilangkan karat, untuk menjaga pamor (lukisan pada bilah keris) agar tidak tertutup karat.
Setelah proses wawancara, kami melakukan digitalisasi lontar yang beliau simpan. Terdapat 14 naskah lontar yang disimpan dan memiliki cerita yang berbeda-beda, seperti tentang ilmu perbintangan, pertanian, cerita leluhurnya dan lain-lain. Tidak lupa, sebelum lontar dibuka, beliau mengambil kemenyan, lalu membakarnya dan ditaruh di canang sembari berdo’a untuk meminta izin kepada leluhur. Proses berdoa meminta izin ini pun langsung saya rekam, karena ingin memunculkan kesakralan benda-benda yang didigitalisasi. Dari sekian banyak lontar, Pak Nengah mengizinkan kami untuk mendigitalisasi naskah lontar Parisky Primbon. Naskah lontar ini bercerita tentang ilmu perbintangan.
Selain melakukan kerja dokumentasi benda-benda, kami juga merekam peristiwa. Salah satunya adalah prosesi pembacaan lontar yang dibacakan oleh Raden Suta Gede. Raden Suta Gede juga salah satu budayawan yang mendedikasikan dirinya untuk kebudayaan Lombok Utara. Beliau berfokus pada pembacaan dan penerjemahan naskah lontar. Sampai saat ini beliau sudah menerjemahkan 3 lontar diantaranya Menak Kaping I, Menak Kaping II dan Tapal Adam. Pada proses penerjemahan tiga naskah lontar tersebut, Raden Suta Gede ditemani oleh dua orang sahabat beliau yaitu Amaq Sutadi dan Amq Intan.
Kembali ke proses perekaman pembacaan lontar. Kami berkesempatan merekam proses pembacaan lontar di sebuah acara ritual Ngasuh Bumi. Upacara ritual ini merupakan respon terhadap berbagai kejadian di bumi, baik kerusakan lingkungan, banjir, gempa bumi, longsor, penyakit dan lain-lain. Dalam ritual tersebut, Raden Suta Gede membacakan naskah lontar Menak Kaping 3, yang menceritakan tentang perjalanan Paman Nabi Muhammad dalam menyebarkan agama islam. Pembacaan tersebut dilaksanakan di Berugaq Agung Sokong Kembang Dangar.
Sebelum pembacaan lontar, berugaq tersebut dihiasi dengan berbagai pernak-pernik, dan juga diritualkan. Kebetulan sekali posisi Raden Suta Gede saat membaca naskah lontar berada di tengah-tengah berugak. Hal ini memudahkan saya untuk mengambil fokus, dan menjadikan Raden Suta Gede sebagai central of interest. Sementara itu, Raden Suta Gede dikerubungi oleh berbagai sesajian yang diletakkan di sebuah nampan khas suku Sasak. Di atas nampan tersebut disusun berbagai benda mulai dari ragam jajanan tradisional, buah-buahan, minuman, beras, uang logam, dan lain-lain. Pembacaan lontar ini begitu hikmat, tembang sinom membelah malam, merasuk ke setiap jiwa yang menyaksikan pembacaan itu.
Selanjutnya, kami melakukan perekaman pembacaan hikayat, atau lebih dikenal dengan istilah bekayat. Kami berkesempatan merekam pembacaan hikayat yang dibacakan oleh Bapak Zakaria, salah seorang maestro rudat lombok utara. Kami tidak begitu kesulitan mencari jadwal pembacaan hikayat, karena kebetulan sedang berada pada bulan Maulid Nabi Muhammad SAW. Biasanya pada bulan ini, di berbagai masjid dan mushalla diadakan pembacaan hikayat. Selain di bulan Maulid, pembacaan hikayat biasanya dilakukan di acara tertentu seperti pernikahan, khitanan dan saat upacara kematian.
Hampir mirip dengan pembacaan lontar, pembacaan hikayat juga dihiasi oleh berbagai sajian-sajian buah-buahan, jajanan tradisional, beras dan uang. Akan tetapi lokasinya saja yang berbeda. Jika pembacaan lontar adalah membaca aksara sansekerta, maka pembacaan hikayat biasanya menggunakan kitab arab melayu. Dalam pembacaannya, si pembaca hikayat dalam hal ini Bapak Zakaria, ditemani oleh dua orang penerjemah, yang menerjemahkan bahasa Arab Melayu ke bahasa daerah.
Selang beberapa minggu kemudian, kami berinisiatif untuk merekam ulang pembacaan hikayat. Kami sedikit melakukan penataan latar, untuk menciptakan suasana yang sedikit magis. Membangun suasana magis dalam pembacaan hikayat ini, kami menggunakan latar belakang kain hitam, lampu warna putih yang menyorot Pak Zakaria, dengan penataan sesajian yang lebih baik. Dalam frame kamera, kami menempatkan pembaca di posisi tengah. Kami memilih waktu perekaman di malam hari, sekitar pukul 23.00 WITA, agar lebih hikmat karena tidak terganggu suara-suara lain. Proses pendokumentasian itu kami rekam selama 6 menit. Adapun kitab yang dibaca Bapak Zakaria adalah kitab Kasyful Ghaibiyah.
Selanjutnya kami merekam proses kekaryaan salah satu musisi Lombok Utara, Ruhul Jihad. Beliau berdomisili di Dusun Malimbu, Desa Malaka, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara. Lagu-lagunya cukup populer di masyarakat Lombok, sejak ia mengeluarkan album pertamanya tahun 2006 silam. Selama karirnya, Ruhul Jihad sudah mengeluarkan 8 album, yang terdiri dari 80 lagu.
Ruhul Jihad terkenal dengan judul album ‘Kidung Daya’, yang berarti Kidung dari Lombok Utara. Kidung Daya ini kemudian disematkan dalam setiap albumnya, dari Kidung Daya 1 sampai Kidung Daya 8. Karena produktivitas inilah kami bersepakat untuk mendokumentasikan kisah proses penciptaan, produksi dan persebaran album-albumnya. Selain karena produktivitas, kami juga melihat keunikan dari syair-syair Ruhul Jihad. Di mana dia keluar dari pakem syair lagu Sasak yang biasanya menggunakan pantun. Selain itu, identitas masyarakat Lombok Utara dan letak geografis kawasan menjadi salah satu pertimbangan kami juga. Benar sekali. Syair Ruhul Jihad sangat lekat dengan keseharian masyarakat Lombok Utara. Ia seperti melakukan kerja pencatatan melalui syair lagunya.
Ruhul Jihad memang punya ketertarikan bernyanyi dan mendengar musik sejak ia masih sekolah di madrasah. Saat itu, beliau sangat tertarik mempelajari ilmu Arudh, sebuah ilmu yang membahas tentang timbangan syair lagu. Ruhul Jihad mengakui bahwa lewat syair lagu dan bernyanyi, ia mendokumentasikan peristiwa maupun isu di sekitar warga. “Semakin saya gelisah, maka semakin banyak lirik lagu yang bisa saya ciptakan,” ujarnya.
Selain mengangkat isu-isu sekitar, ia juga sering mengangkat berbagai isu lain seperti isu kebudayaan, isu pembangunan bahkan isu politik. Dalam lagunya yang berjudul Angkat Budaya yang berdurasi 6.17 detik, ia mengajak warga Lombok Utara untuk tidak melupakan adat maupun budaya peninggalan orang tua. Ruhul Jihad juga menceritakan peristiwa mekarnya Kabupaten Lombok Utara lewat sebuah lagu yang berjudul Gumi Daya (6.10 detik).
Dalam wawancara tersebut, tidak lupa kami menanyakan 3 buah lagu yang sangat populer di masyarakat, yaitu lagu yang berjudul Teruna Bikas (5. 38 detik), Deq Araq Judul (5.23 detik) dan Pantun Malaka (4.18 detik). Lagu Teruna Bikas berkisah tentang pemuda yang hendak pergi ngapel ke rumah perempuan. Saat itu, kendaraan, baik motor maupun mobil cukup sulit, serta kondisi jalan raya tidak sebagus hari ini. Jadi, para pemuda yang hendak pergi ngapel biasanya berjalan kaki. Yang menarik dari penggambaran lelaki yang pergi ngapel ini adalah aksesori yang digunakan. Dalam video klipnya, Ruhul Jihad menggambarkannya dengan sosok pemuda yang menenteng lampu senter dan sebuah radio-tape.
Menurut Ruhul Jihad, penggambaran ini adalah fakta yang memang terjadi di masa-masa itu. Biasanya lelaki membawa radio-tape untuk menggaet perempuan. Radio-tape juga digunakan untuk mengisi waktu menunggu waktu ngobrol bersama sang kekasih hati.Kedua, lagu Deq Araq Judul, atau dalam bahasa Indonesia berarti lagu tidak ada judul. Lagu ini bercerita tentang masyarakat pesisir. Lagu ini menggambarkan bagaimana kehidupan nelayan di daerah Desa Malaka.
Ia menceritakan bagaimana para penangkap ikan yang kembali dari laut, sudah ditunggu oleh para pengepul yang menjual hasil tangkapan nelayan ke pasar. Menurut Ruhul Jihad, sering sekali nelayan memberikan ikan ke pengepul tanpa transaksi di awal, dan pengepul langsung saja membawa ikan ke pasar. Para nelayan biasanya sudah langsung berhutang berbagai kebutuhan di toko, dengan mengharap si pengepul dapat menjual ikan di Pasar.
Nah, seringkali pendapatan nelayan ini tidak sesuai dengan hasil jualan yang diberikan oleh pengepul. Kisah inilah yang dibekukan oleh Ruhul Jihad dalam lagu ini, yang dibawakan dengan lirik yang cukup jenaka. Sementara itu, lagu yang ketiga berjudul Pantun Malaka, mengangkat pantun-pantun jenaka yang biasanya diungkapkan oleh masyarakat Pemenang. Pantun-pantun yang berserakan itu ia kumpulkan dan disusun menjadi lirik lagu. Selain mengumpulkan ia juga menambah lirik lagu tersebut sesuai kebutuhan.
Namun sayang sungguh sayang, tidak ada satupun dari 8 album itu yang ia simpan arsipnya. Salah satu alasannya adalah kondisi gempa 2018 yang membuat rumahnya hancur. Ia juga tidak pernah berpikir bahwa arsip lagunya-lagunya akan menjadi penting di masa ini, sehingga saat itu ia hanya fokus berkarya dan tidak melakukan pengarsipan. Oleh karena itu, kami meminta Ruhul Jihad untuk melakukan reka ulang proses penciptaan lagunya.
Dalam proses penciptaan lagu, kami benar-benar mengikuti bentuk perekaman seperti bagaimana sebenarnya Ruhul Jihad menciptakan lagu. Menurut penuturannya, saat proses penciptaan lagu, ia harus berada di ruang yang sepi, sendiri dan gelap. Ia hanya diterangi oleh lampu minyak. Jika lampu minyak habis, maka akan diganti dengan lilin. Kami pun menyiapkan suasana seperti permintaannya. Setelah semua siap, kami mulai melakukan perekaman.
Dari semua perekaman ini, kami kumpulkan dalam satu hardisk khusus. Selanjutnya data-data tersebut kami rapikan dengan mengganti nama setiap file. Penamaan ini kami susun berdasarkan alat yang digunakan saat merekam, siapa pewawancara, pemegang kamera, editor hingga tanggal dan tahun perekaman. Setelah penamaan file tersebut, kami masukkan ke dalam master data baledata dan mengkategorikan menjadi 2 folder.
Folder 1 berisikan footage-footage yang akan disusun menjadi sebuah cerita, sedangkan folder 2, berisikan footage video dan gambar still. File-file yang terkumpul di folder 1 inilah yang kami susun sedemikian rupa menjadi film dan video yang akhirnya kami dipamerkan dalam Pameran Hikayat Pengarsipan 17-30 November 2021 lalu. Secara umum, hasil produksi yang kami tampilkan memperlihatkan pengalaman setiap subjek pengarsipan, tata cara perawatan benda, proses kreatif dan karya setiap subjek, serta situasi dan kondisi benda-benda pusaka yang disimpan saat ini.