Skip to main content

Dalam sejarah peradaban manusia yang membentang dari Timur hingga Barat dengan berbagai dinamika kemanusiaan di dalamnya – setidaknya ada tiga (3) revolusi yang membentuk jalannya sebuah sejarah (Harari, 2017): Revolusi Kognitif, Revolusi Pertanian, dan Revolusi Sains. Kemajuan ilmu pengetahuan sebagai awal terjadinya Revolusi Sains yang boleh jadi akan mengakhiri sejarah dan mengawali sesuatu yang sepenuhnya berbeda. Dalam bidang teknologi komputasional sejak ditemukannya Enigma, sebuah mesin pemecah algoritma oleh Alan Turing, bisa dibilang sebagai lompatan kemajuan dalam bidang komputer dan pada akhirnya apa yang kita kenal sekarang; Google, Facebook, Twitter, Windows, dan lain sebagainya merupakan turunan dari penemuan tersebut (Harari, 2021). 

Lahirnya berbagai perangkat-perangkat digital yang saling terkoneksi dalam ruang-ruang internet (Big Data), data-data bisa ditransfer dalam hitungan detik dan berbagai kecerdasarn buatan (Artificial Intelligent) turut hadir dalam tiap-tiap individu masyarakat modern – menjadi semacam Magnum Opus dari Revolusi Sains dan menjadi satu kesatuan yang hampir tidak bisa dipisahkan. Kemajuan teknologi juga melahirkan paradigma baru dalam berbagai lini kehidupan termasuk juga dalam hal kebudayaan, salah satunya adalah bagaimana teknologi ikut serta dalam proses pengarsipan. 

Kehadiran digital juga menandakan lahirnya datafikasi ragam objek, digitalisasi berbagai benda-benda sejarah masa lampau dapat dipahami sebagai bentuk pengembangan memori kolektif yang dapat membantu dalam memahami zaman (lampau, sekarang) di masa depan (Szekely, 2017; Moreno, 2019).

Menurut Moreno (2019) dalam “Museum and Digital Era: Preserving Art Through Databases Media”, bahwa media digital menawarkan cara pandang baru untuk mencapai narasi – narasi yang terdemokratisasi dan terdesentralisasi melalui cara-cara baru berinteraksi dengan ragam informasi yang ditawarkannya, sehingga tujuan serta tanggung jawab menjadi sama, di mana setiap warga negara dituntut menjaga budaya aktif yang bukan lagi budaya akumulasi dan pemusatan oleh minoritas.

Lebih jauh Moreno memaparkan bahwa bahasa digital berarti sebuah revolusi dalam metode produksi, distribusi dan konservasi seni kontemporer. Karya yang menggunakan media baru harus dipahami sebagai ruang komunikasi non-hierarki di mana peran seniman terdilusi dan publik menjadi pengguna yang melengkapi proses terbuka, sehingga fungsi museum ditantang dan bukan lagi sebagai otoritas moral atau tempat penyimpanan karya fisik.

Menuju Modernitas Pengarsipan

baledata pasirputih
Proses digitalisasi pristiwa kebudayaan oleh Pasirputih, Lombok. Photo: Pasirputih

Tersebarnya berbagai objek kebudayaan di masyarakat; sebagai koleksi pribadi, koleksi keluarga, dan ada juga yang berakhir di para penjual barang antik – sehingga tidak hanya sekadar fisik namun juga pengetahuan historisnya ikut serta terisolasi bahkan hilang. Barang kali hal semacam ini yang membuat banyaknya objek sejarah yang memiliki cerita yang cenderung manipulatif (fiktif) tanpa dasar bukti-bukti empiris. Dan dalam konteks masyarakat lokal (Lusandiana, 2021), di mana budaya dokumentasi (documenting culture) sudah terbentuk dengan berbagai macam mekanismenya, namum dalam praktiknya banyak sekali ditemukan praktik-praktik pengetahuan yang sifatnya desiminasi, bahkan menolak untuk didokumentasikan dan hal tersebut menjadi tantangan tersendiri.

Lebih jauh dalam sudut pandang IVAA (Indonesian Visual Art Archive), Lusandiana memaparkan setidaknya ada dua (2) wajah (fungsi) pengarsipan yaitu; (1) pengarsipan sebagai praktik pengorganisasian data agar mudah ditemukan kembali, (2) pengarsipan sebagai eksplorasi pengetahuan dari berbagai macam dinamika dan kekacauan.

Dalam konteks modern, kehadiran medium baru (teknologi digital) mempengaruhi praktik kesenian di mana koleksi fisik dialihwahanakan ke medium lain (digitalisasi) untuk menjadi sebuah pengetahuan yang pada akhirnya tidak hanya sekadar menjadi koleksi kelompok kumunitas tetapi juga sebagai upaya menyampaikan keterbukaan akses pengetahuan kepada khalayak umum (Lusandiana, 2021).

Keikutsertaan medium digital secara langsung mempengaruhi bidang komunikasi dan penciptaan, pengamanan, dan transmisi pengetahuan, di mana misinya untuk akses kepada publik dan untuk memperoleh, melestarikan, meneliti, mengomunikasikan, dan memamerkan warisan kemanusiaan (Moreno, 2019).

Baledata dan Upaya Transmisi Pengetahuan di Lombok Utara

pengunjung baledata
Para pengunjung pameran Baledata pada 17 November 2021. Photo: Mohamad Tamrin

Terdapat simpang jalan yang memiliki empat arah di Kecamatan Pemenang. Pertama, jika datang dari arah Pusuk dan memilih lurus maka langsung tertuju ke Pelabuhan Bangsal. Tetapi jika ke kiri, itu ke Desa Malaka. Namun jika belok ke kanan maka tertuju ke Tanjung, ibu kota Lombok Utara. Sekarang tempat-tempat yang dituju oleh jalan itu (Nadjib, 2012); wacananya, filosofinya, dan kesadaran sejarahnya telah mengalami perubahan serta penyempitan dari falsafah karakter manusia ke catatan industri.

Lombok Utara hari ini adalah pariwisata, kapitalisme, dan hedonisme yang semuanya bermuara pada individualistik – menghadirkan karakter masyarakat Industri. Pergumulan tradisi menjadi sebuah keniscayaan, perkawinan budaya barat dan lokal membentuk hybrid kebudayaan baru di tengah-tengah masyarakat. Barangkali banyak sekali dinamika sosial yang terus bergerak di Lombok Utara, transformasi dari masyarakat nelayan dan petani menuju masyarakat Industri telah melahirkan ritme kerja baru (Basri et. Al, 2020) – sehingga tidak heran kemudian banyak identitas lokal yang hilang.

Berangkat dari kesadaran tersebut, Yayasan Pasirputih (selanjutnya ditulis “Pasirputih”) – yang berlokasi di Kecamatan Pemenang Lombok Utara melalui program Fasilitasi Bidang Kebudayaan (FBK) oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Republik Indonesia, mencoba mengarsipkan serta mengalihwahanakan data-data kebudayaan di Lombok Utara ke dalam medium digital.

Dari wacana ini, kita bisa membayangkan bagaimana transformasi benda-benda pusaka atau data-data kebudayaan menjadi data multimedia yang kemudian tersimpan di piranti penyimpanan semacam database. Sehingga kita bisa melihat pula sebuah bangunan repositori virtual lengkap dengan metadata dari objek-objek koleksinya. Gagasan ini melahirkan sebuah hibriditas, gabungan antara tradisional dengan teknologi media yang komputasional dan algorithm – sehingga dalam konteks Lombok Utara, secara meyakinkan bahwa hal ini adalah sebuah revolusi pengarsipan.

Ritme Baru Kesenian di Tengah Arus Industri

Jika memparafrasekan Chairil Anwar, kolonialisme sekadar mempercepat kelam, sebuah situasi ketika komunalistik hilang dan digantikan oleh individualistik

Berto, 2021

Merespon masifnya arus perubahan hidup kumunalistik ke individualistik di tengah masyarakat lokal karena dampak industri – maka sejak berdiri pada tahun 2010, Pasirputih telah membentuk ritme baru, yaitu ritme kerja kolektif. Atas hal tersebut, telah terkumpul sekitar 12 terabit arsip digital audio visual kebudayaan Lombok Utara yang merekam berbagai macam subyek sejarah dan seni, maupun peristiwa sosial yang mencerminkan dinamika kebudayaan masyarakat lokal. Bisa kita pandang bahwa gerakan kolektif yang dilakukan oleh Pasirpuith adalah semacam respon langsung, counter wacana dari ritme industri yang terbentuk oleh dunia Pariwisata yang selama ini menghilangkan identitas lokal yang kumunal.

Kerja kolektif ini menghadirkan kepercayaan dan tingginya solidaritas dari berbagai elemen masyarakat, baik itu tokoh agama (Islam, Hindu, dan Budha), pemerintah, pengusaha, atapun tokoh pemuda. Gerakan kolektif yang berkesinambungan telah menghadirkan konektivitas yang berimplikasi langsung terhadap kepercayaan pada tiap-tiap anggota berbagai komunitas untuk mengekplorasi nilai-nilai seperti ekpresi diri, pemberdayaan diri, dan keterbukaan (Lim, 2021). 

Atas ritme baru yang dibangun selama sepuluh tahun terakhir, telah melahirkan simpati dari warga sekitar sehingga ketika pengumpulan data-data arsip, Pasirputih secara teknis tidak mengalami kesulitan. Hal ini tidak terlepas dari gerakan koletif, di mana masyarakat tidak hanya sekadar objek tetapi juga subjek yang politis – mereka juga terlibat dan ikut aktif secara langsung, hal ini telah dibuktikan oleh Pasirputih dalam praktek kesenian dan kebudayaannya.

Melalui pengumpulan arsip dapat memberikan pemahaman bagi kita bagaimana pola ritme kerja kolektif yang dipadukan dengan elaborasi teknologi informasi, sehingga lahirlah hibrida bentuk dari repositori yaitu Arsip Data Audio Visual Kebudayaan Lombok Utara. Hal ini juga sebagai representatif dari kesadaran Pasirpuith atas keterlibatan teknologi dalam kebudayaan dan kesenian, serta upayanya menjaga data-data warga sekaligus sejarah dan filsofi di dalamnya. Dan warga terlibat secara langsung, bahu-membahu untuk mengumpulkan berbagai objek kebudayaan tersebut. 

Masjid Sebagai Tempat Pameran

masjid jami pemenang
Masjid Jami’ Nurul Hikmah Pemenang sebagai tempat pameran baledata oleh Pasirputih. Photo: Pasirputih

Ada hal yang cukup menarik dari rangkaian kegiatan pengarsipan yang dilakukan oleh Pasirputih, yaitu menjadikan bangunan Masjid sebagai tempat pameran atas objek atau benda-benda kebudayaan yang ditemukan. Ini cukup unik mengingat pemahaman kolektif masyarakat mengenai pameran dan mafhum bahwa pameran itu digelar di gedung Galeri atau Museum – tetapi oleh Pasirputih justru memilih dan menjadikan bangunan Masjid sebagai tempat pameran.

Barang kali hal ini tidak hanya sekadar menghadirkan kesan unik tetapi juga sebuah langkah politis terkait sasaran pengunjung, termasuk juga sebagai upaya mengalunkan harmonisasi keberagaman dan solidaritas antar masyarakat yang memang memiliki keyakinan berbeda-beda namun terikat dalam falsafah lokal masyarakat, mempolong-merenten[1].

Berbagai benda-benda bersejarah yang ditemukan; Lontar, Lukisan, Tari, Patung, Kain, Lagu dan segala objek kebudayaan lainnya yang berhasil dikumpulkan oleh tim Pasirputih lantas dipamerkan. Tidak hanya sekadar memamerkan objek, namun juga menghadirkan setiap proses warga dalam memproleh, merawat, termasuk melestarikan nilai-nilai sejarah serta filosofi setiap benda-benda tersebut. 

Hadirnya pameran ini di tengah-tengah kemunduruan industri Pariwisata Lombok Utara akibat Covid-19, tidak lain adalah perwujudan dari pertaruhan Pasirputih atas pembuktian kerja kolektif selama 10 tahun sekaligus upaya menghadirkan pengetahuan mengenai sejarah dan filosofi lokal masyarakat yang dari hari ke hari kian merosot. Keberadaan berbagai jenis objek bersejarah yang sudah dialih wahanakan ke dalam bentuk digital dan tersimpan rapi di dalam bangunan repositori database, juga bisa kita baca sebagai medium baru mendatangkan para wisatawan ke Lombok Utara yang selama ini menjauh dari nilai dan sejarah lokal.

Referensi

Basri, et al. (2020). “Shifting Society in Response to the Tourism Industry: A Case Study of New Challenges in Lombok Utara,” Jurnal Pariwisata Terapan Vol. 4, No. 2, pp. 183-194.

Berto Tukan, (2021). “Pada Air-Tanah yang Sama, Musim Berbeda: Perihal Kemunculan Kolektif Seni dalam Pembahasan FIXER 2021,” dalam MENGEJA FIXER 2021: Pembacaan Kolektif Seni Indonesia dalam Sepuluh Tahun Terakhir. Jakarta: Yayasan Gudskul Studi Kolektif.

Harari, Yuval Noah. (2017). Sapiens – Riwayat Singkat Umat Manusia. (Damaring Tyas Wulandari Palar, Terjemahan). Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).

Harari, Yuval Noah. (2021). Homo Deus – Masa Depan Umat Manusia. (Yanto Musthofa, Terjemahan). Jakarta: PT Pustaka Alvabet. 

Lusandiana, Lisistrata. (2021). “Pengarsipan: Di Antara Dinamika Praktik dan Debu di Ruang Penyimpanan.” YouTube, diunggah oleh baledata, 4 November 2021, https://www.youtube.com/watch?v=0FJuAEkrx7E

Lim, Merlyna. (2021). “Ritme dan Algoritme Kebudayaan.” YouTube, diunggah oleh Dewan Kesenian Jakarta, 10 November 2021, https://www.youtube.com/watch?v=mh9nydACB1U

Moreno, Luis D. Rivero. (2019). “Museums and Digital Era: Preserving Art Through Databases”, Collection and Curation, Vol. 38 No. 4, pp. 89-93.

Nadjib, Emha Ainun. (2012). Presiden Malioboro. Diakses pada 20 November 2021, dari https://www.caknun.com/2012/presiden-malioboro/

Szekely, Ivan. (2017). “Do Archives Have a Future in the Digital Age?” Journal of Contemporary Archival Studies: Vol. 4, Article 1. 


[1] Sebuah falsafah lokal masyarakat Kabupaten Lombok Utara yang memiliki keberagaman kepercayaan, suku, dan adat istiadat namun tetap rukun dalam ikatan persaudaraan.