Skip to main content

Berdiskusi dan saling berbagi pengalaman mengenai apa saja yang telah dilakukan oleh komunitas masing-masing bersama para seniman dari Sumatera. Terhitung sudah empat hari Bang Ucin dan Hapiz di Lombok Utara. Semenjak kedatangannya pada tanggal 18 Januari, kami mulai berdiskusi perihal tersebut. Segala persoalan yang dialami dan strategi yang pernah dilakukan dalam menjalankan program atau terkait kebertahanan komunitas masing-masing. Banyak informasi dan hal-hal baru yang saya rasa sangat menarik dari dua komunitas ini, yaitu Sikukeluang diwakili oleh Ucin dan Gubuak Kopi diwakili oleh Hafiz.

Setiap kunjungan teman-teman seniman, komunitas, atau siapa saja yang akan melakukan proses berbagi di Pasirputih kami biasanya memiliki keharusan untuk meminta izin (betabeq) kepada para tetua kami di Pemenang. Selain itu kami juga biasanya mengajak teman-teman yang akan berproses untuk mengelilingi kampung atau melihat komunitas-komunitas lain, agar nantinya dapat berkolaborasi dalam menciptakan karya atau sebagai teman diskusi dalam memahami setiap persoalan yang terjadi di Pemenang. Membangun komunikasi dengan banyak orang selalu Pasirputih lakukan. Seyogyanya hal ini memang harus dilakukan, mengingat kegiatan atau program apapun yang dilakukakan Pasirputih selalu melibatkan banyak orang. Pasirputih  juga tidak menutup diri dalam hal menerima kritikan ataupun saran demi kebaikan bersama. 

Ide mengelilingi Pemenang dan berkunjung ke pelaku kesenian yang ada di Lombok Utara dilontarkan teman-teman Pasirputih, selain memudahkan Ucin dan Hafis dalam memutuskan kegiatan atau program apa yang akan dilakukan, juga sebagai bahan oleh-oleh pengetahuan kesenian yang ada di Lombok utara. Tak butuh waktu lama ide ini langsung diiyakan oleh Hafiz maupun Ucin. Beberapa tempat yang akan dikunjungi telah disepakati, yaitu ke Sanggar Anak Gunung yang ada di Kecamatan Gangga, Sanggar Kalista di Kecamatan Tanjung dan Datu Danu selaku wartawan yang juga aktif menyoroti dunia kesenian di Lombok Utara. Sampai pada hari yang sudah ditentukan kamipun langsung menuju Sanggar Anak Gunung sebagai kunjungan pertama di hari ke empat Ucin dan Hafiz berada di Pasirputih.

Di tengah perjalanan saya sempat bertanya-tanya, apakah pertemuannya diadakan di SMAN 1 Gangga atau malah sebaliknya, di rumah salah satu partisipan Sanggar Anak Gunung. Pertanyaan ini tiba-tiba saja muncul, disebabkan sepengetahuan saya Sanggar Anak Gunung belum memiliki tempat untuk dijadikan beskem. Oka yang saat itu bersama Hafiz menerobos kencang motor Jupiternya yang diberi nama Bro sehingga saya tidak bisa melihat mereka lagi dan ketinggalan jejaknya.

Oka yang sudah tidak terlihat lagi membuat saya memacu gas motor saya lebih cepat dan berspekulasi kalau Oka ke SMAN 1 Gangga. Ada beberapa hal yang membuat saya memutuskan ke SMAN 1 Gangga. Pertama, karena Mulyadi merupakan guru di sana sekaligus menjadi pelatih teaternya, serta Mulyadi juga merupakan pimpinan Sanggar Anak Gunung yang sekaligus anak didiknya merupakan alumni serta siswa SMA tersebut, sanggar ini juga ketika latihan biasanya di SMA 1 Gangga.

Syukurnya prediksi saya tidak meleset, sehingga tidak perlu pusing mencari-cari mereka. Sesampai di SMAN 1 Gangga, Okak dan Hafiz masih berdiri di parkiran, ketika saya tanya “Kenapa masih diluar?” Okak menjawab “Pak Mul masih belum datang”. Dari kejauhan terlihat dua siswi berjalan ke arah saya sembari bertanya “Dari Pasirputih ya?”, “Ya” Jawabku, dua siswi itu lantas meminta kami masuk dan memindahkan motor ke parkiran yang ada di dalam sekolah. 

Tumbuh-tumbuhan hijau dengan panggung yang ada di tengah lapangan seolah menjadi tanda prestasi sekolah ini di bidang seni pertunjukan. Penghargaan serta menjuarai beberapa perlombaan tingkat pelajar sering disabet oleh anak didik Mulyadi (SMAN 1 Gangga), karena prestasinya inilah beberapa orang yang ada di SMAN 1 Gangga dan Sanggar anak Gunung sering diajak untuk ikut terlibat sebagai aktor pada beberapa film lokal yang ada di Lombok Utara.

Di tengah perbincangan dengan anak-anak SMA dan Sanggar Anak Gunung, Mulyadi pun datang sembari menyapa “Udah lama ya nunggunya?” Saya pun menjawab, “tidak” dibarengi dengan berjalan ke tengah lapangan untuk mencari tempat duduk. Dirasa menemukan tempat duduk yang pas, kami langsung membuat bentuk lingkaran agar sewaktu bicara kami bisa saling melihat, dan tentunya obrolan sore ini sebatas bertukar apa saja yang telah dilakukan oleh Mulyadi dan teman-teman SMA maupun Sanggar  Anak Gunung selama ini. 

Berdiskusi bersama Sanggar Anak Gunung dan anak-anak SMAN 1 Gangga
Berdiskusi bersama Sanggar Anak Gunung dan anak-anak SMAN 1 Gangga

Pada awal mulanya, Sanggar Anak Gunung terbentuk dari kegelisahan Mulyadi melihat realitas sosial setelah gempa tahun 2018, saat itu banyak sekali orang yang hidup di pengungsian. Tenda dimana-mana dan yang menjadi perhatian Mulyadi saat itu adalah tidak adanya ruang berbagi untuk trauma healing, agar anak-anak bisa sembuh dari trauma atau ketakutan terhadap kejadian yang pernah menimpa mereka.  Akhirnya Mulyadi berinisiatif mengajak anak-anak usia Sekolah Dasar untuk bermain peran dan disaksikan oleh para pengungsi lainnya.

Dirasa cukup berhasil, Mulyadi semakin bersemangat dan menjadwalkan latihan untuk anak-anak. Letak pengungsian yang berada di bawah kaki gunung membuat Mulyadi terpikir memberi nama kelompok atau sanggarnya tersebut dengan nama Sanggar Anak Gunung. Kini sanggar ini tidak hanya diikuti oleh anak-anak SD, tetapi juga anak SMA, serta yang telah lulus SMA atau yang sedang kuliah. 

Bagi masyarakat Lombok Utara, seni pertunjukan bukanlah sesuatu yang asing. Terlebih berbicara drama, apabila para orang tua sedang asik duduk-duduk di berugak, tak jarang cerita yang mengias pertemuan adalah cerita-cerita semasa mereka menyaksikan pertunjukan drama. Asalkan kita menyebut drama, maka biasanya para tetua kami langsung bercerita tentang memori-memorinya di massa lampau.

Di Lombok Utara ada beberapa sanggar yang aktif mengadakan pertunjukan seni drama, dari penuturan Nursih yang memiliki kegemaran dalam menonton drama, dia sudah menjadi penggemar pertunjukan drama yang dimainkan oleh Candra Gita. Sepenemu Nursih semenjak tahun 1994, Candra Gita, Sarasusita, Panca Pesona, dan beberapa Sanggar seni lainnya yang sering mengadakan pertunjukan drama. Salah satu pertunjukan yang tidak bisa dilupakan oleh Nursih ketika menonton pertunjukan Drama di Dusun Karang Nangka, Nursih tidak ingat lagi apa nama sanggar itu tetapi ia selalu mengingat alur ceritanya.

Bagi Nursih apa yang di ton-tonnya di Dusun Karang Nangka itu selalu tidak bisa di lupakan karena ceritanya yang cukup lucu. Drama tersebut bercerita tentang sebuah kerajaan di massa lampau, pada adegannya terdapat seorang Patih melaporkan kalau Kuda yang dimiliki Raja telah lepas dari kandangnya, dengan wibawanya sang Raja bangkit, lalu berkata, “Biarkan saja, kita adalah kerajaan yang kaya, sekedar kuda bisa kita dapatkan lagi dengan menggunakan upeti untuk membeli kuda yang baru”. Sang Raja dengan penjiwaan yang bagus membawa para penontonnya kepada emosi tertentu untuk merasakan apa yang terjadi dalam pertunjukan tersebut.

Meski sang Raja sudah mengatakan kalau kuda yang lepas bukanlah perkara yang besar, sang Patih tetap saja berucap, Kuda sang Raja telah lepas, dengan disertai gerakan tubuh yang terlihat agak aneh di mata penonton. Lagi-lagi sang Raja yang sudah tidak perduli dengan Kuda yang lepas, sang Raja kembali mengatakan kalau lepasnya Kuda di dalam kandang bukanlah sesuatu yang besar. Dirasa sang Raja belum juga mengerti maksud sang Patih akhirnya sang Patih pun merubah posisinya sembari berucap dengan nada yang keras, “Eeeejadah jaran dik lek bale ya lepas” (Eeee kuda kamu yang ada di rumahmu beneran lepas).

Mendengar ucapan sang Patih sang Raja tanpa berpikir Panjang langsung melompat dan berlari, meninggalkan panggung menuju rumahnya untuk menangkap kudanya. Pemeran Raja dalam drama tersebut merupakan kusir Cidomo (alat transportasi tradisional warga Lombok dengan menggunakan media Kuda dan gerobak). Saat pertunjukan berlangsung, Kuda yang ada di dalam kandang telah lepas dan hal tersebut meresahkan banyak orang karena berlari-lari di pemukiman warga. Para penonton yang melihat sang Raja berlari meninggalkan panggung atau keluar dari alur cerita, membuat para penonton tidak bisa menahan tawa. Cerita inipun selalu diingat oleh warga, dan selalu menjadi cerita yang di ceritakan saat duduk-duduk di berugak jikalu bercerita tentang geliat drama di massa lalu di Lombok Utara.

Berdiskusi bersama Sanggar Anak Gunung dan anak-anak SMAN 1 Gangga
Berdiskusi bersama Sanggar Anak Gunung dan anak-anak SMAN 1 Gangga

Pada diskusi bersama Mulyadi, Ucin dan Hafiz sesekali bertanya kepada Mulyadi mengenai proses kreatif yang dilakukannya. Mulyadi yang sedari awal selalu berucap, bahwa ada perbedaan gerakanya yang terjadi semenjak menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), dimana ketika ada tugas dari sekolah, membuatnya harus mendahulukan kewajibannya, sehinnga tak jarang dalam proses latihan ataupun pertunjukan anak didiknya Mulyadi harus berbesar hati untuk tidak bisa ikut terlibat. Bagi saya, melihat proses yang dilakukan oleh Mulyadi untuk terus mendidikasikan dirinya terhadap kesenian patut diapresiasi.

Teater sebagai proses menghaluskan perasaan, hal ini tercermin dari peserta didik ataupun Sanggar Anak Gunung yang mampu berinisiatif melakukan latihan ataupun pertunjukan meskipun tidak ditemani oleh pelatihnya. 

Hamdani, Penulis

Dewasa ini, biasanya komunitas-komunitas teater yang ada di kampus selalu mengagendakan pentas keliling antar kabupaten. Mulyadi dan Sanggar Anak Gunung  justru lebih memilih keliling kampung yang ada di Kecamatan Gangga, tempat mereka biasa melakukan proses kreatifnya. Teater sebagai sarana penyampai pesan terhadap persoalan sosial, dan hal tersebut menjadi alasan utama kenapa pertunjukan diadakan di seputaran kampung-kampung yang ada di Kecamatan Gangga. Meski dalam bayangan kedepan Mulyadi selalu memiliki keinginan untuk melakukan pertunjukan keliling antar provinsi, tetapi bagi Muluadi tidak kalah penting juga memperkenalkan teater itu sendiri kepada masyarakat yang ada di Kecamatan Gangga.

Pada awal Mulyadi mengadakan pertunjukan, banyak warga yang masih bertanya tentang kegiatan yang dilakukannnya, tetapi seiring berjalannya waktu kata teater sendiri tidak lagi asing bagi masyarakat yang ada di Kecamatan Gangga. Kini beberapa warga malah sering menanyakan jadwal pertunjukan Sanggar Anak Gunung agar tidak terlewatkan untuk menyaksikannya. Dari pertunjukan yang minim penonton kini sudah sampai tidak terhitung jumlahnya.

Ketika pertunjukan yang diadakan pada masa Covid, Mulyadi meminta izin kepada segenap pemangku kebijakan mulai dari Kepala Desa, Satgas, hingga kepolisian agar pertunjukannya bisa terealisasi tanpa adanya hambatan. Izin yang sudah didapatkan membuat terselenggaranya pertunjukan tersebut, tapi sayangnya pertunjukan yang sudah direncakan itu harus berakhir dengan tidak baik karena harus dibubarkan lantaran antusias penonton yang begitu banyak membuat kepolisian tidak berani mengambil resiko, dengan berat hati akhirnya Mulyadi menuruti apa yang sudah dikatakan oleh kepolisian saat itu.

Mulyadi Bercerita tentang proses kreatifnya
Mulyadi Bercerita tentang proses kreatifnya

Tidak sampai disana, semangat dan kecintaan dalam bermain peran membuat Mulyadi dan Sanggar Anak Gunung mencari ide agar bisa melakukan pementasan, akhirnya pertunjukan yang diidam-idamkan itu pun terlaksana, diadakan di aula SMAN 1 Gangga dengan penonton yang terbatas. Pada akhir perbincangan, Mulyadi berucap “Ternyata pertunjukan teater juga bisa membuat kepolisian ketakutan”.

Kami pun tertawa bersama. Matahari yang semakin tenggelam, namun cerita pengalaman Mulyadi dengan Sanggar Anak Gunung semakin menarik untuk didengarkan. Pastinya sebuah pertemuan selalu diakhiri dengan perpisahan, kumandang adzan dan gelap yang sudah nampak membuat kami harus mengakhiri pertemuan diskusi sore itu dengan membawa harapan masing-masing agar proses-proses kesenian di daerah masing-masing semakin membaik. 

Perjalanan selanjutnya menuju kediaman Abdi Haris yang ada di Kecamatan Tanjung, untuk beberapa saat kami sempat berdiskusi, apakah akan langsung ke rumah Abdi Haris atau harus menunggu sampai waktu solat mahrib selesai. Hasil diskusipun bersepakat untuk langsung kerumah Abdi haris. Sesampai disana, nampak Abdi Haris sedang bersih-bersih bersama istrinya, melihat kedatangan kami Abdi Haris lantas melepas dan menyudahi kegiatannya lalu mengajak kami duduk-duduk di berugak.

Tak lama setelah itu, tentunya si pembaca tau apa yang akan terjadi, ya betul sekali, istri Abdi Haris datang membawa kopi dengan makanan ringan sebagai jamuan untuk kita. Meskipun sudah tidak terhitung lagi kedatangan teman-teman Pasirputih ke rumahnya, namun Abdi Haris masih saja memperlakukan kami seperti raja yang selalu disuguhkan kopi dan jajanan terbaiknya. Tamu adalah raja, kalimat itu selalu dikatakan sebagai alasan Abdi Haris setiap kali kami mencoba menjelaskan agar tidak perlu sibuk mempersiapkan jajanan atau pun kopi saat kami datang berkunjung. Terimakasih ya, Abdi Haris atas jamuannya.

Berdiskusi bersama Abdi Haris
Berdiskusi bersama Abdi Haris

Ngobrol santai di berugak bersama kopi yang masih mengepulkan hangatnya, Abdi Haris memulai menceritakan cerita-cerita lucu sekedar mencairkan suasana atau mengeluarkan kalimat-kalimat satir yang membuat pendengarnya berpikir. Begitulah kebiasaan Abdi Haris yang selalu kami saksikan disaat bersama. Ucin dan Hafiz yang sedari awal ingin tau lebih dalam tentang Abdi Haris tak jarang melepaskan beberapa pertanyaan, entah itu proses kreatifnya bersama Sanggar Kalista atau sekedar ingin tau tentang Bayan sebagai tempat lahirnya keluarga besar Abdi Haris.

Dari penuturan Abdi Haris, Kandang Kaoq yang kini menjadi tempat tinggalnya itu merupakan sebagaian besar adalah seniman dan keturunan Bayan. Konon ceritanya, pada massa lampau masyarakat Bayan sering bepergian menggunakan Kuda dan jalan kaki sampai pada akhirnya ketika sampai batas waktu harus pulang menuju Bayan dari tugas yang entah apa, masyarakat yang tidak memiliki Kuda memilih mendirikan pondok sebagai rumah di tengah perjalanannya karena sudah merasa lelah dan tidak sanggup apabila harus melakukan perjalanan menuju Bayan.

Keputusan inipun disetujui oleh masyarakat Bayan yang menyebabkan banyaknya masyarakat seperti keluarga Abdi Haris tinggal di luar Bayan (Kec. Tanjung) hingga sekarang. Tanjung merupakan tempat tinggal yang didiami oleh keluarga Abdi Haris yakni Dusun Karang Raden dan Dusun Kandang Kaoq justru hanya dijadikan sebagai tempat berternak, tapi karena pertumbuhan manusia yang semakin banyak dan membutuhkan lahan yang luas, akhirnya banyak juga orang yang membuat rumah di Dusun Kandang Kaoq.

Menariknya meski di Dusun Kandang Kaok atupun di Dusun Karang Raden bersebelahan, masyarakat Kandang Kaoq yang mau berkunjung ke Karang Raden mesti berkata ingin berkunjung atau hendak ke Desa. Penyebutan kata Desa sendiri segbagai bentuk penghormatan serta mengingat proses yang terjadi di massa lalu sebagai rumah induk sebelum pindah ke Kandang Kaoq, ucap Abdi Haris.

Pada pertengahan obrolan, Hafiz yang melihat topeng di samping duduk Abdi Haris, membuatnya memepertanyakan prihal si pembuatnya. Abdi Haris dengan nada yang sedikit di kecilkan menjawab, “Saya sih yang membuatnya untuk mengisi waktu senggang”. Jawaban Abdi haris lantas membuat kami hanya saling memandang satu sama lain sembari menyepakati dangan nada yang menggoda kalu Abdi Haris adalah seniman multi yang bisa membuat apa saja yang diinginkannya. Bukan Abdi Haris namanya jika mendengar ucapan kami hanya diam saja, malah ia menimpali dan menggoda balik dengan kata-katanya yang membuat kami tertawa.

Seperti yang dikatakana maestro kita, Bapak Zakaria, “Tidak begini, tidak begitu, karena malam sudah semakin larut kami harus melanjutkan perjalanan ke barat, rumah datu Danu untuk mengambil kitab suci ”. Abdi Haris pun menyahut, “Jangan lupa kisanak sampaikan salam ku pada Datu Danu, mungkin lain waktu kita bisa bercengkrama lebih lama, diikuti dengan saling berjabat tangan sebagai tanda pertemuan malam itu harus diakhiri. Kami pun menuju rumah Datu Danu sebagai kunjungan terakhir hari itu.

Berdiskusi bersama Abdi Haris
Berdiskusi bersama Abdi Haris

“Silahkan Dinda masuk”, suara itu terdengar di antara tumbuh-tumbuhan yang hidup meninggi. Datu Danu yang berdiri di belakang tumbuhan yang ada di halaman rumahnya membuat saya tidak bisa melihat Datu Danu dengan jelas, terlebih  tidak adanya cahaya lampu yang menyinari posisinya berdiri. Ucin dan Hafiz turun dari motor langsung mendekat ke depan  meja yang sudah disediakan Datu Danu, tepat berada di depan berugak. Area ini dipilih sebagai tempat diskusi santai malam itu. 

Malam semakin sunyi, obrolan dimulai dengan saling menyapa dan bertanya kabar masing-masing. Datu Danu, Ucin dan Hafiz mulai saling memperkenalkan diri mereka. Semakin larut obrolan mereka semakin hangat. Datu Danu menceritakan pengalamannya selama menjadi wartawan kepada kami. Isu mengenai kebakaran hutan di Rimbang Baling menjadi topik yang sangat menarik untuk ditanyakan kepada Ucin, mengingat Ucin sebagai masyarakat di daerah tersebut. Ucin yang memang bersentuhan langsung dengan isu tersebut tanpa kesusahan menjawab pertanyaan Datu Danu. Kemudian Ucin mulai bercerita tentang proses kreatifnya bersama komunitas Sikukeluang, yang mana kegelisahan mereka terhadap isu eksploitasi hutan merupakan awal dari proses kreatif komunitas mereka.

Kegelisahan yang dirasakan oleh Komunitas Sikukeluang terhadap hutan terus dirawat, sebagai pemicu untuk memunculkan kesadaran terhadap pentingnya menjaga keberlangsungan hutan. Sebagaimana yang sering kita dengar bahwa hutan atau tumbuh-tumbuhan adalah paru-paru dunia yang  mampu memberikan oksigen kepada kehidupan alam semesta. Semoga semangat yang dihadirkan oleh Sikukeluang dan warga yang ada di dalam lingkaran hutan Rimbang Baling tetap hidup, sebagai saksi atas kecintaan terhadap hutan dalam menjaga dan melestarikannya, karena hutan merupakan kekayaan yang harus diwariskan kepada anak cucu di massa yang akan datang.

Terhitung sudah sembilan jam kami berkunjung ke beberapa lokasi, mulai dari pukul empat sore bercerita bersama Sanggar Anak Gunung dan terakhir di rumah Datu Danu. Waktu sudah menunjukkan pukul 12 lewat tujuh menit malam, mata yang sudah dihampiri rasa ngantuk membuat kami harus menyudahi semua cerita menarik ini. Tak lupa sebelum pulang, kami meminta Datu Danu untuk menghadiri acara diskusi dan berbagi bersama seniman di Pasirputih pada hari senin. Datu Danu yang memang selalu terbuka, mengiyakan undangan kami. Kami pun pulang dengan membawa ilmu dan pengalaman menarik yang mereka bagikan. 

Baca Juga: BULAN JANUARI DAN PEKAN-PEKAN KELANA