Skip to main content

Penulis: Mashur Khalid

Malam itu, langit Menggala cerah. Angin laut dari arah utara berhembus pelan, menyusup di antara sela-sela pohon mangga yang tumbuh di halaman Pondok Pesantren Asy-Syafi’iyyah. Suasana pondok tampak berbeda dari biasanya: para santri mengenakan sarung rapi, beberapa berdiri di depan gerbang menanti kehadiran peserta, sementara di sisi lain tampak para tamu—akademisi, mahasiswa, dan anggota komunitas lokal—berbincang hangat menanti acara dimulai. Hari itu, Jumat, 24 Oktober 2025, Pukul 20.00 WITA, bukan sekadar hari pertemuan, melainkan momen bagi santri dan alumni untuk berbicara, menyuarakan pandangan, dan membuka ruang tafsir baru tentang dunia pesantren yang mereka huni.

Kegiatan bertajuk “Santri Bersuara tentang Dinamika Pesantren” ini diinisiasi oleh Ikatan Keluarga Besar Asy-Syafi’iyyah (IKABA). Dalam balutan silaturrahmi dan diskusi, pertemuan itu menjadi wadah bagi para santri dan alumni untuk menautkan kembali benang ingatan—antara masa lalu dan masa kini, antara pengalaman di pesantren dan tantangan yang mereka hadapi di luar temboknya. Di bawah cahaya lampu yang mulai menyala terang, diskusi berlangsung dalam suasana hangat, penuh tawa, dan sesekali hening, ketika kalimat seorang pembicara menggugah renungan bersama.

Pondok Pesantren Asy-Syafi’iyyah, yang berdiri di tengah hamparan sawah Desa Menggala, telah lama menjadi ruang tumbuh bagi generasi muda Pemenang. Di tempat inilah nilai-nilai kesederhanaan, kemandirian, dan cinta ilmu ditanamkan dengan sabar. Namun dalam pertemuan kali ini, para santri tak hanya diajak untuk mengulang pelajaran dari kitab, melainkan untuk menafsirkan kembali kehidupan mereka sebagai bagian dari masyarakat yang terus berubah. Diskusi ini menjadi semacam jembatan antara dunia pesantren dan realitas sosial yang lebih luas—antara tafsir teks dan praktik hidup sehari-hari.

Di tengah percakapan yang mengalir, suara-suara santri terdengar jelas: jujur, segar, dan apa adanya. Mereka berbicara tentang peran pesantren dalam menghadapi perkembangan teknologi, tantangan modernisasi, serta posisi santri di tengah arus informasi yang kian deras. Bagi sebagian orang, mungkin ini sekadar acara kecil tanpa gaung yang menggema. Tapi bagi mereka yang hadir, malam itu menjadi peristiwa penting—saat di mana pesantren tidak hanya menjadi tempat belajar, melainkan ruang dialog dan perjumpaan antara tradisi dan zaman.

Foto oleh Ikatan Keluarga Besar Asy-Syafi’iyyah (IKABA)

Diskusi malam itu menghangat ketika Fataroni Sara, salah satu alumnus Pondok Pesantren Al-Amin Perenduan, Madura—kini pengajar dan pengurus di Pondok Pesantren Modern Al-Hikmah Pemenang—mulai berbicara. Suaranya tenang, namun setiap kalimat yang keluar terasa tajam dan berakar dari pengalaman panjang di dunia kepesantrenan. Ia menyinggung persoalan mendasar: bahwa pesantren, sebagai lembaga akademik, belum sepenuhnya berhasil melahirkan abituren yang faqih likulli zaman—santri yang benar-benar mampu menjawab tantangan zaman dengan keluasan ilmu dan kepekaan sosial. “Kita punya banyak penghafal, banyak pengajar, tapi belum cukup banyak pembaca zaman,” ujarnya, disambut gumam setuju dari beberapa peserta diskusi.

Pemuda yang pernah menulis buku Membunuh Takdir itu menilai bahwa sebagian pesantren masih berjalan dalam pola lama yang cenderung menekankan transmisi ilmu tanpa diimbangi dengan transformasi cara berpikir. Sistem bandongan dan sorogan yang kini ada di pondok pesantren salaf tetap penting, namun menurutnya perlu ruang dialog yang lebih hidup antara ilmu-ilmu klasik dan realitas kekinian. Ia menggambarkan bagaimana santri sering kali dibekali pengetahuan mendalam tentang teks, tapi belum cukup disiapkan untuk menghadapi konteks sosial yang berubah cepat. “Kalau pesantren ingin terus menjadi mercusuar, maka ia harus berani membuka jendela pada dunia yang lebih luas,” katanya.

Dalam uraian selanjutnya, ia menyoroti kurikulum pesantren yang belum benar-benar diarahkan untuk menjawab kebutuhan umat di era modern. Menurutnya, kurikulum yang baik bukan hanya mengajarkan apa yang harus diketahui, tetapi juga bagaimana berpikir dan bertindak di tengah masyarakat yang kompleks. Santri, katanya, harus memiliki daya kritis, kecakapan teknologi, dan kemampuan membaca problem sosial dengan nurani yang tajam. “Ilmu agama itu sumber cahaya, tapi cahaya itu harus menemukan bentuknya dalam kehidupan,” tuturnya.

Menjelang akhir penyampaiannya, Fataroni menyampaikan satu kaidah klasik yang menjadi dasar pijakan banyak ulama: “al-muhafazhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bil jadid al-ashlah” — berpegang pada tradisi lama yang baik, sekaligus mengambil hal baru yang lebih baik. Ia mengucapkannya perlahan, seolah mengajak semua yang hadir untuk merenungkan maknanya lebih dalam. Menurutnya, kaidah itu bukan sekadar slogan indah yang sering dikutip dalam forum-forum ilmiah, tetapi semestinya menjadi napas dalam gerak perubahan pesantren. Namun, dengan nada jujur, ia menyampaikan bahwa kenyataan di lapangan belum sepenuhnya mencerminkan semangat kaidah tersebut. “Kita sering pandai menjaga yang lama, tapi belum sungguh-sungguh membuka diri terhadap yang baru,” ujarnya.

Fataroni menilai bahwa sebagian pesantren masih memahami kaidah itu secara separuh: mempertahankan bentuk-bentuk tradisi yang dianggap suci tanpa berani melakukan pembaruan yang bisa memperkuat fungsi akademiknya. Padahal, dalam pandangan para ulama terdahulu, mengambil yang baru yang lebih baik adalah bagian dari tradisi itu sendiri—bukan pengkhianatan terhadapnya. “Kalau zaman berubah, tidak menutup kemungkinan cara kita mengelola pesantren juga turut berubah.,” katanya, menekankan bahwa kemajuan tidak berarti meninggalkan warisan, tetapi menanamkannya dalam tanah yang lebih subur agar terus berbuah.

Apa yang disampaikan oleh ketua LazisNU Lombok Utara itu terdengar seperti otokritik yang lembut tapi tajam. Ia tidak melemparkannya keluar, melainkan juga menujukan pada dirinya sendiri—pada pesantren yang kini ia urus dan cintai. Ia mengakui bahwa mempertahankan tradisi sambil menerima pembaruan bukan perkara mudah: selalu ada tarik-menarik antara rasa hormat terhadap warisan dan kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan kenyataan baru. Namun baginya, justru di situlah letak kemuliaan pesantren: keberanian untuk terus menimbang, menilai, dan menempuh jalan tengah di antara dua kutub waktu—masa lalu yang mendidik dan masa depan yang menuntut.

Suasana ruang diskusi hening beberapa saat setelah Fataroni menyampaikan pandangannya. Beberapa santri tampak mencatat, sementara para akademisi saling bertukar pandangan pendek dalam bisik-bisik pelan. Dari wajah-wajah yang hadir, tampak percikan kesadaran baru—bahwa pembicaraan tentang pesantren bukan lagi sekadar nostalgia masa lalu, melainkan upaya mencari arah baru bagi pendidikan Islam di tengah pusaran perubahan zaman yang terus bergerak.

Foto oleh Ikatan Keluarga Besar Asy-Syafi’iyyah (IKABA)

Diskusi berlanjut dengan suara Nizamuddin, salah satu alumni pesantren yang kini aktif di kegiatan sosial di Lombok Utara. Dengan gaya tutur yang lugas, ia mengungkapkan realitas yang sering kali tak dibicarakan secara terbuka: persoalan sumber daya manusia dan infrastruktur pesantren yang masih jauh dari memadai. Menurutnya, banyak pesantren di Lombok Utara berjalan dengan semangat tinggi, namun terbatas dalam kemampuan mengelola lembaga secara profesional. Para pengajar kerap bekerja dengan dedikasi tanpa dukungan pelatihan atau peningkatan kapasitas yang memadai, sementara fasilitas belajar masih sangat sederhana—ruang kelas seadanya, perpustakaan yang minim, dan akses teknologi yang terbatas. “Pesantren punya niat besar, tapi sering kali tidak punya alat untuk mewujudkannya,” ucapnya, menatap barisan santri di hadapannya.

Ia menekankan bahwa tantangan utama pesantren bukan hanya pada isi kurikulum, tetapi juga pada struktur pendukungnya. Kiai dan guru agama memikul beban ganda: menjadi pendidik, pengelola, sekaligus penjaga tradisi. Dalam kondisi seperti itu, kualitas pembelajaran sering kali bergantung pada semangat individu, bukan sistem yang mapan. “Kita perlu membangun pondasi kelembagaan yang kuat, agar pesantren tidak hanya hidup karena karisma kiai, tapi juga karena tata kelola yang sehat,” lanjut Nizamuddin. Baginya, membenahi suprastruktur dan infrastruktur bukan sekadar soal fisik dan manajemen, tetapi juga bagian dari ikhtiar menjaga marwah pesantren sebagai lembaga yang tahan lama dan berdaya saing.

Dalam kesempatan itu pula, Nizamuddin menyoroti peran strategis alumni pesantren. Ia menyebut bahwa jaringan alumni semestinya menjadi kekuatan kolektif dalam menggerakkan perubahan—mendukung pesantren dari luar, memperluas akses sumber daya, dan menghadirkan jejaring ilmu serta pengalaman baru bagi santri. “Alumni jangan hanya bangga pernah nyantri, tapi juga harus hadir dan berkontribusi,” ujarnya dengan nada tegas namun penuh harap. Ucapannya menggema di antara para peserta, seakan mengingatkan bahwa keberlanjutan pesantren tidak hanya bergantung pada dinding dan kitabnya, melainkan juga pada keterlibatan mereka yang pernah ditempa di dalamnya.

Foto oleh Ikatan Keluarga Besar Asy-Syafi’iyyah (IKABA)

Suasana diskusi kembali menghangat ketika Zulkarnain, alumni Pondok Khusus Sesela, mengambil giliran berbicara. Dengan nada pelan namun tegas, ia membuka topik yang jarang disentuh secara terbuka: persoalan pengawasan di lingkungan pesantren. Ia menilai, seiring dengan semakin banyaknya lembaga pendidikan Islam berdiri, kebutuhan akan sistem pengawasan yang serius dan berkelanjutan menjadi sangat penting. “Pesantren tidak hanya butuh guru dan santri, tapi juga mata yang jernih untuk mengawasi,” ujarnya. Pengasuh pesantren yang kerap disapa Ustadz Zul ini juga menyinggung kenyataan pahit bahwa dalam beberapa tahun terakhir muncul berbagai kasus perundungan dan pelecehan seksual di sejumlah pesantren di Indonesia umumnya dan Pulau Lombok khususnya. Baginya, kasus-kasus itu bukan hanya mencoreng nama lembaga, tetapi juga mengkhianati nilai-nilai luhur pendidikan Islam yang menekankan kasih sayang, penghormatan, dan adab.

Ia berbicara tidak dalam nada menyalahkan, melainkan dalam semangat perbaikan. Menurutnya, pengawasan bukan berarti mencurigai, tetapi menjaga. Ia mengajak para pengasuh dan alumni untuk mulai memikirkan mekanisme perlindungan santri yang lebih sistematis—baik dalam bentuk aturan, pendampingan psikologis, maupun pelibatan masyarakat sekitar pesantren. “Santri adalah amanah, bukan sekadar murid. Dan amanah itu harus dijaga dengan ilmu, dengan sistem, dan dengan hati,” katanya. Kalimat itu mengalir pelan, namun terasa menancap dalam ruang diskusi yang mendadak hening.

Di sela pembicaraan, Ustadz Zul juga membagikan kisah pribadinya—tentang semangat yang kini mendorongnya untuk mendirikan pondok pesantren di Desa Malaka. Ia ingin kampungnya tumbuh menjadi “kampung fikih dan nahwu,” tempat anak-anak belajar agama dengan kedalaman ilmu dan ketertiban berpikir. Ia menuturkan pengalamannya mendengar keluhan masyarakat yang heran: mengapa begitu mudah mengurus izin hiburan di Lombok Utara, tetapi begitu sulit mendirikan lembaga pendidikan agama. “Kita tidak sedang meminta istimewa, kita hanya ingin pendidikan agama diberi ruang yang layak,” ujarnya. Ucapan itu disambut tepuk tangan kecil dari para peserta—bukan sebagai bentuk setuju semata, tetapi sebagai tanda bahwa suara Ustadz Zulkarnain menyentuh sesuatu yang selama ini banyak dirasakan, namun jarang diucapkan.

Foto oleh Ikatan Keluarga Besar Asy-Syafi’iyyah (IKABA)

Giliran Muhammad Sibawaihi, alumni Pondok Pesantren Al-Halimy Sesela, menambah lapisan baru dalam percakapan malam itu. Dengan gaya berbicara yang reflektif, ia mengajak peserta untuk menengok pesantren bukan hanya dari sisi kelembagaan, tetapi juga dari cara pesantren menanggapi arus peristiwa yang mengitarinya. Ia menyinggung fenomena tagar boikot terhadap salah satu media nasional yang beberapa waktu lalu ramai di dunia maya—isu yang melibatkan sentimen sebagian warga pesantren. Bagi Sibawaihi, peristiwa itu semestinya tidak hanya dilihat sebagai bentuk perlawanan atau solidaritas spontan, melainkan sebagai momentum otokritik bagi dunia pesantren itu sendiri. “Mungkin ini saatnya pesantren tidak hanya reaktif terhadap sorotan luar, tetapi juga berani menilai dirinya sendiri,” ucapnya dengan nada datar, namun berisi.

Alumnus pesantren yang menamatkan pendidikan magister antropologi pembangunan di Australian National University (ANU) itu menilai bahwa kritik terhadap pesantren seharusnya tidak dianggap sebagai ancaman, melainkan sebagai peluang untuk memperbaiki diri. Dalam pandangannya, keengganan sebagian pesantren untuk terbuka terhadap evaluasi justru membuat lembaga itu berjalan di tempat. “Kita sering merasa pesantren selalu benar, padahal justru di sanalah ruang pembelajaran terbesar,” katanya. Ucapan itu memunculkan bisik-bisik kecil di antara peserta, seakan menggugah sesuatu yang selama ini disimpan: kesadaran bahwa cinta terhadap pesantren juga berarti berani mengakui kekurangannya.

Lebih jauh, Sibawaihi juga menyinggung persoalan sumber daya manusia dan adaptasi terhadap perkembangan teknologi yang terus bergerak cepat. Ia mempertanyakan relevansi sejumlah kebijakan internal yang mungkin lahir dari niat baik, tetapi tidak lagi sesuai dengan kebutuhan zaman. Dengan nada setengah berkelakar, ia berkata, “Jangan-jangan, pelarangan bagi santri untuk membawa HP adalah keputusan yang tidak kontekstual saat ini.” Kalimat itu disambut tawa kecil, tetapi juga anggukan yang pelan. Ia melanjutkan, bahwa kemampuan literasi digital bukan lagi perkara tambahan, melainkan bagian dari kecakapan hidup. Menurutnya, pesantren harus mulai membangun etika baru dalam penggunaan teknologi—bukan melarangnya, melainkan membimbing para santri agar mampu memanfaatkan teknologi untuk memperluas dakwah, memperdalam ilmu, dan memperkuat nilai.

Foto oleh Ikatan Keluarga Besar Asy-Syafi’iyyah (IKABA)

Suasana diskusi terasa lebih hangat ketika Suherman salah satu alumni Pondok Khusus Sesela turut berbagi kisah tentang masa-masanya menjadi santri. Nada suaranya lembut, diselingi tawa kecil yang membuat suasana terasa akrab. Ia tidak berbicara dengan bahasa teori atau istilah besar, melainkan lewat potongan kenangan yang sederhana: bangun sebelum subuh, belajar kitab di bawah cahaya lampu minyak, menimba air dari sumur, hingga duduk bersila berjam-jam di hadapan guru. Dari cerita-cerita kecil itulah tergambar bagaimana kehidupan santri membentuk daya tahan, kesabaran, dan keikhlasan yang jarang ditemukan di ruang pendidikan lain.

Dari pengalaman pribadinya, ia menegaskan satu hal penting: santri tidak boleh minder. Menurutnya, rasa rendah diri sering muncul karena santri merasa tertinggal dalam hal teknologi, gaya hidup, atau akses informasi dibandingkan dengan pelajar di lembaga formal lain. Padahal, nilai-nilai yang tumbuh di pesantren—seperti kejujuran, ketekunan, dan disiplin spiritual—adalah kekuatan yang justru dibutuhkan oleh dunia modern. “Jangan takut merasa kecil. Orang besar lahir dari mereka yang berani menjaga nilai-nilai kecil,” katanya. Ucapan itu disambut anggukan dari para peserta muda yang duduk di barisan belakang, seolah mendapat suntikan keyakinan baru tentang makna menjadi santri di masa kini.

Ustadz Suherman juga menekankan pentingnya menyambung hubungan dengan guru-guru di pesantren. Ia menyebut bahwa keberkahan ilmu tidak hanya terletak pada seberapa banyak yang dipelajari, tetapi pada seberapa dalam seseorang menjaga adab terhadap gurunya. “Ilmu itu akan hidup kalau kita terus bersambung dengan sumbernya,” ujarnya pelan. Ia mengajak para alumni untuk tidak memutus silaturahmi, karena pesantren bukan sekadar tempat belajar, melainkan rumah spiritual yang membentuk arah hidup seseorang. Di ujung pembicaraannya, suasana menjadi hening; beberapa wajah tampak tenggelam dalam ingatan masing-masing—tentang guru, doa, dan waktu-waktu sunyi di pesantren yang kini terasa jauh namun tetap hidup di hati.

Foto oleh Ikatan Keluarga Besar Asy-Syafi’iyyah (IKABA)

Di antara peserta yang hadir malam itu, Zainal Muttaqin tampil dengan pandangan yang berbeda namun segar. Ia membuka tanggapannya dengan memperjelas posisinya sebagai seorang outsider, seseorang yang tidak berasal dari lingkungan pesantren, namun memiliki ketertarikan mendalam terhadap dinamika sosial dan kulturalnya. Dengan nada tenang, ia menyebut bahwa polemik tentang boikot terhadap salah satu media nasional justru memberi efek yang tak sepenuhnya negatif. “Kalau dilihat dari sisi lain, kasus itu membawa angin segar,” katanya. Menurutnya, sorotan publik yang sebelumnya jarang tertuju pada dunia pesantren kini berubah menjadi perhatian luas—membuka ruang bagi masyarakat untuk lebih mengenal, menilai, dan memahami pesantren secara lebih utuh.

Zainal melihat bahwa di tengah riuhnya tagar dan opini, pesantren mendapat momentum untuk memperlihatkan wajah aslinya: lembaga yang kompleks, berlapis, dan memiliki sejarah panjang dalam membentuk moral serta intelektualitas bangsa. “Kadang, hal yang kita kira serangan justru menjadi pintu perkenalan baru,” ujarnya. Pandangan itu disambut senyum dan gumam pelan dari beberapa peserta, seolah menandai bahwa kritik atau sorotan publik tidak selalu harus dihadapi dengan defensif. Bagi Zainal, ini adalah “good news yang lahir dari kasus”—pengingat bahwa pesantren tidak perlu takut berada di tengah perbincangan publik, karena justru dari keterbukaan itu, pesantren dapat menegaskan kembali relevansinya di zaman yang terus bergerak.

Foto oleh Ikatan Keluarga Besar Asy-Syafi’iyyah (IKABA)

Dari tengah lingkaran diskusi, seorang peserta yang namanya luput tercatat menyampaikan pandangan yang memberi angin segar bagi masa depan pesantren di Indonesia. Dengan nada optimis, ia menyoroti bahwa pemerintah kini mulai memberikan perhatian serius terhadap dunia pesantren, tidak lagi sekadar sebagai lembaga pendidikan tradisional, tetapi sebagai bagian penting dari sistem pendidikan nasional. Ia menyebut tentang wacana pembentukan Direktorat Jenderal (Dirjen) Pesantren, sebuah langkah strategis yang jika terealisasi, akan menjadi tonggak baru dalam tata kelola pendidikan Islam di Indonesia. Peserta yang kini dipercaya sebagai kepala sekolah Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Kabupaten Lombok Utara ini, gagasan tersebut menandai perubahan paradigma: pesantren tidak lagi berjalan sendirian, tetapi mulai diakui dalam kerangka kebijakan negara.

Foto oleh Ikatan Keluarga Besar Asy-Syafi’iyyah (IKABA)

Malam semakin larut, namun semangat para peserta diskusi tak juga surut. Di bawah temaram lampu pondok, percakapan masih berlanjut dalam kelompok-kelompok kecil—antara santri dan alumni, antara akademisi dan kiai muda, antara mereka yang datang dengan pertanyaan dan yang pulang membawa renungan. Suasana itu menghadirkan kesan mendalam bahwa pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan agama, tetapi juga ruang kebudayaan yang hidup—tempat bertemunya gagasan, pengalaman, dan cita-cita tentang masa depan umat. Dari perbincangan yang hangat itu, terpantul satu kesadaran bersama: bahwa pesantren, dengan segala tradisinya, sedang berada di persimpangan antara menjaga akar dan menumbuhkan cabang.

Diskusi “Santri Bersuara tentang Dinamika Pesantren” malam itu seakan menjadi cermin yang jujur. Setiap pandangan yang muncul—dari Fataroni Sara hingga Nizamuddin, dari Zulkarnain hingga Sibawaihi, dari Suherman hingga para peserta lain—mewakili kepingan realitas yang saling melengkapi. Mereka berbicara bukan untuk menuding, melainkan untuk memahami; bukan untuk menghakimi, melainkan untuk meneguhkan arah bersama. Di tengah perbedaan pandangan, ada semangat yang sama: kerinduan agar pesantren tetap menjadi cahaya yang tidak hanya menerangi masa lalu, tetapi juga menuntun jalan ke depan.

Dari Pondok Pesantren Asy-Syafi’iyyah yang dipimpin oleh Ustadz Sulton malam itu, gema percakapan para santri dan alumni seperti menembus dinding-dinding tradisi, menjangkau ruang yang lebih luas—ke masyarakat, ke kebijakan, dan ke masa depan. Mereka tidak sedang membicarakan pesantren sebagai kenangan, melainkan sebagai harapan yang terus tumbuh. Di antara desir angin laut dan lantunan doa yang belum usai, tersisa satu keyakinan bersama: bahwa selama pesantren terus membuka diri terhadap perubahan tanpa kehilangan ruhnya, maka ia akan selalu relevan—menjadi rumah bagi ilmu, moral, dan kemanusiaan di tengah zaman yang terus bergerak.

Kunjungan Pasirputih ke STKIP Hamzar: Menjalin Silaturahmi, Menguatkan PengetahuanArsipReportase

Kunjungan Pasirputih ke STKIP Hamzar: Menjalin Silaturahmi, Menguatkan Pengetahuan

Mashur KhalidMashur KhalidAugust 11, 2025
hujjatul-islam-1
Pameran Tunggal Gelap Terang Hujjatul IslamEsaiReportase

Pameran Tunggal Gelap Terang Hujjatul Islam

Mohamad TamrinMohamad TamrinJanuary 3, 2022
puk kartanah
Puk Kartanah dan Gambus Baring-BaringReportase

Puk Kartanah dan Gambus Baring-Baring

Muhammad RusliMuhammad RusliMarch 16, 2022