Skip to main content

Penulis: Mashur Khalid

Malam perlahan turun di ufuk utara, memeluk Lombok Utara dengan semilir angin yang membawa aroma tanah, laut, dan sejarah. Hari itu, Minggu, tanggal 7 Agustus 2025, pukul telah menunjukkan 20.30 WITA. Di Pasirputih sebuah ruang yang dibangun dari niat bersama, cahaya lampu menyala teduh, seperti lentera-lentera kecil yang menggantung di langit harapan. Di sanalah kami berkumpul, tubuh-tubuh dengan ragam latar dan satu tujuan: merenung dan merayakan usia ke-17 tanah yang kami cintai ini.

Lombok Utara, yang dahulu adalah gugusan desa-desa yang saling bertukar salam di batas-batas alam, kini telah menapaki 17 tahun perjalanan sebagai kabupaten. Usia yang, bagi manusia, adalah gerbang menuju kedewasaan; dan bagi daerah, adalah simpul-simpul penting dari perjuangan panjang, luka-luka pembangunan, dan semangat yang tak pernah padam.

Malam itu tidak hanya diisi dengan seremonial belaka. Ia adalah malam perenungan. Kepala Desa Genggelang datang dengan wajah yang penuh keyakinan; anggota badan permusyawaratan desa (BPD) Desa Sigar Penjalin hadir dengan catatan dan suara-suara dari bawah; Hamjadid salah seorang pemuda Kecamatan Pemenang yang secara kebetulan juga menjadi salah satu pengurus partai politik menyimak dengan telinga yang terbuka dan lidah yang menahan kata-kata yang tak perlu. Idris, ketua HKM Mekar Sari yang juga seorang petani hutan duduk bersahaja, membawa aroma sawah dan cerita tentang beragam upaya yang dilakukan di hutan Kerujuk bersama petani-petani hutan lainnya. Remaja-remaja desa, dengan mata berbinar, menyimak masa lalu dan membayangkan masa depan.

Mahasiswa dan mahasiswi, hadir sebagai pewaris narasi. Akademisi, dengan lembar-lembar pemikiran dan keprihatinan, menyalakan lentera pemahaman. Dan warga biasa, yang kesehariannya dipenuhi rutinitas dan kesunyian yang jarang terdengar oleh pembuat kebijakan, malam itu diberi ruang untuk menyuarakan isi hati mereka, dengan kehadiran tubuh yang utuh.

Sebagai inisiator kegiatan, tentu saja kami yang sehari-hari kerap berkegiatan di Pasirputih melihat kegiatan itu penuh kebermaknaan. Kegiatan malam itu adalah ruang pertemuan berbagai keluh-kesah, ide gagasan, aneka memori kolektif dan juga kesan-pesan indah sebagai warga Lombok Utara. Kendatipun di awal kegiatan kami dihantui oleh beragam pertanyaan dan firasat liar: “kami ini siapa?, kami sedang melakukan apa?, tujuan kami apa? Apakah suara-suara yang bergemuruh nantinya akan didengar? Ataukah hanya akan menjadi riuh sekelebat lalu menghilang?, Kami adalah warga yang tidak memiliki panggung kekuasaan”. Namun, dengan modal nekat serta beralas pada keyakinan bahwa kami adalah warga berdaya, maka perasaan itu menggulirkan rasa tidak percaya diri yang sempat menghantui menjadi setitik keyakinan. Di sisi lain, tentu saja kami percaya bahwa turut berfikir ulang tentang kemajuan-kemajuan daerah dan memikirkan kembali apa yang belum dilaksanakan serta apa yang dilaksanakan namun belum maksimal oleh pemangku kebijakan adalah laku yang tak pernah salah. Didengar atau tidak, itu adalah urusan lain.

Pada malam yang cukup hening itu, Kepala Desa Genggelang yang dengan sukarela hadir ke Kantor Pasirputih karena melihat informasi yang bertebaran di sosial media yang kami sebar jauh hari sebelum acara itu, menyampaikan banyak hal tentang upaya-upaya pemajuan yang ia lakukan di wilayah desa yang ia pimpin serta upaya sinkronisasi program desa dengan rencana kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah sendiri. Apa yang diupayakan tentu sebagai bentuk integrasi antara desa dengan kebijakan yang ada di taraf kabupaten.

Kepala Desa yang sehari-hari kerap disapa Dodi adalah sosok yang tak asing lagi di kancah pergerakan Lombok Utara. Ia kerap bersuara lantang terlebih jika menyangkut hal-hal yang bersinggungan dengan kesejahteraan warga desa yang menjadi tanggung jawabnya. Dana Desa (DD) yang saban tahun digelontorkan oleh pemerintah pusat ia kelola dengan baik, merata, dan profesional. Sehingga setiap sektor yang ada di desanya nyaris tak ada yang luput dari kebijakannya. Dari anggaran yang ia kelola di desa, ia peruntukkan untuk berbagai kegiatan seperti bantuan untuk fakir miskin, bantuan hukum untuk masyarakat desa, penanganan kebencanaan, pendidikan, dan juga kegiatan-kegiatan yang ada di sektor penting lainnya.

Di akhir penyampaiannya, ia cukup memaklumi bahwa pekerjaan yang ditangani oleh pemerintah daerah sangat banyak. Mulai dari masalah kemiskinan, kebencanaan, pendidikan, pertanian, air, pariwisata, dan lain sebagainya. Karena pekerjaan pemda yang cukup banyak tersebut sementara di sisi lain anggaran yang dikelola tidak banyak, maka sebagai pemangku kebijakan di desa, Dodi lebih menyasar pada apa yang sekiranya prioritas dan juga memiliki kesamaan dengan program pemerintah daerah. Kendatipun secara perundang-undangan pemerintahan di desa dan kabupaten diatur oleh undang-undang yang berbeda, namun komitmen Dodi sebagai pemangku kebijakan di desa selalu berupaya untuk mensingkronisasikan program desa dengan program daerah. “Program-program yang ada di kabupaten yang tidak sama, kami singkronisasikan agar sama”, tuturnya. 

Pertemuan itu juga dihadiri oleh Anton Sahertian salah seorang advokat dan aktivis asal Kecamatan Tanjung. Beliau begitu antusias hadir membersamai peserta lainnya dalam kegiatan itu. Pada pertemuan itu, ia menuturkan berbagai persoalan yang ia rasa masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan secara bersama-sama baik oleh pemerintah daerah maupun warga. Analogi yang ia hadirkan cukup sederhana namun begitu sarat makna. Ia mengatakan: “bahwa jika kemudian Lombok Utara diibaratkan sebagai seorang gadis yang berusia 17 tahun, maka lumrahnya sedang indah dipandang mata, elok, cantik, namun harus dijaga.” Sebuah permisalan yang tentu saja memiki pesan betapa Lombok Utara harus betul-betul dijaga.

Sebagai sebuah refleksi, ketua pengurus Lembaga Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LBHNU) KLU itu menyitir beberapa persoalan yang kerap mengemuka di Gili Tramena (Trawangan, Meno, dan Gili Air), seperti sengketa masyarakat dengan korporasi, persoalan air bersih yang sampai saat ini belum menemukan solusi. Anton tentu saja menyayangkan persoalan tersebut berlarut-larut karena menurutnya bahwa kawasan Gili Tramena merupakan kawasan pariwisata yang menyumbang pendapatan asli daerah terbesar bagi Lombok Utara.

Ia juga menyitir persoalan bunuh diri yang angkanya cukup tinggi di Lombok Utara. Menurut data yang ia terima bahwa kasus bunuh diri sejauh ini sejumlah 34 kasus. Baginya, persoalan tersebut tidak saja ditengarai oleh factor ekonomi yang ujung-ujungnya diberikan bantuan sembako sebagai solusi misalnya, tetapi yang tak kalah penting adalah factor psikis dan juga ruang-ruang interaksi sosial. Selain itu angka kemiskinan yang masih tinggi, kasus pernikahan anak usia dini, IPM yang rendah juga menjadi sorotannya pada kesempatan itu.

Hal lain yang tak kalah penting, bagi Anton, adalah tingginya gap politik, politik balas dendam, dan politik balas budi. Baginya, hal demikian menjadi semacam praktik yang sering disaksikan pasca pemilihan kepala daerah. Ia melihat bahwa praktik semacam itu menghambat upaya pemajuan daerah dan menyimpang dari visi-misi serta cita-cita awal pemekaran. Ia juga menekankan bahwa program pemerintah daerah seharusnya tidak hanya berkutat pada pembangunan infrastruktur, tetapi juga yang tak kalah penting adalah pembangunan suprastruktur atau pembangunan manusia. Karena, majunya daerah sangat bergantung pada intelektualitas masyarakatnya.

Herman Johdi, salah satu tokoh di Kecamatan Pemenang juga turut bersuara menyampaikan refleksinya pada malam itu. Di kancah pergerakan Lombok Utara, beliau adalah sosok yang cukup dikenal, pada tahun 1999 ia sempat tergabung di Persatuan Masyarakat Adat Lombok Utara (PERKATOMBARA). Menurutnya, bahwa dalam pemekaran Kabupaten Lombok Utara, komunitas ini merupakan salah satu entitas yang tak semestinya dipandang sebelah mata. Sosok yang kerap kami sapa ‘simpe’ itu juga menceritakan bahwa dulu PERKATOMBARA pernah menulis sejarah Lombok Utara dari Bayan hingga Pemenang, yang menurutnya menjadi cikal-bakal sejarah Lombok Utara.

Pada momentum itu, beliau juga tidak menampik dalam kurun waktu 17 tahun ini, banyak terjadi pembangunan dan perkembangan di daerah Lombok Utara. Baginya, hal yang paling sederhana misalnya adalah dulu ketika Lombok Utara masih menjadi bagian dari Kabupaten Lombok Barat, menghadirkan camat sangatlah susah. “Tidak mudah menghadirkan camat kala itu. Kalau kita berhasil menghadirkan camat, itu rasanya seperti menghadirkan presiden. Tapi sekarang, setelah terjadi pemekaran, menghadirkan bupati agaknya sangat mudah”, tuturnya.

Ia juga berharap bahwa dari kegiatan refleksi itu ada semacam rekomendasi yang disampaikan kepada pemangku kebijakan di daerah. Karena ia menilai bahwa tentu saja tidak akan ada dampaknya bilamana kegiatan itu diisi hanya dengan duduk dan bercerita namun tidak ada tindak lanjutnya.

Dalam penyampaiannya, ia juga menangkap hal yang sama dengan apa yang disampaikan oleh Anton Sahertian dalam melihat kondisi perpolitikan di Lombok Utara. Bahwa, praktik balas budi dan balas dendam merupakan kenyataan yang cukup sering dilihat yang tentu saja menghambat upaya pembangunan daerah.

Terkait dengan rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) khususnya pendidikan di Lombok Utara, juga cukup menjadi konsen Dr. Marzoan Swandi malam itu. “Memang harus ada upaya dari Pemda kita agar bagaimana mengoptimalkan pendidikan di KLU”, tuturnya. Ia juga memaparkan bahwa selain IPM, Standart Pelayanam Minimal (SPM) kita juga menurun. Ia menjelaskan bahwa tahun 2024 lalu, kalau merujuk pada raport pendidikan Lombok Utara berada pada tuntas pratama dengan skor 62 persen, dan tahun 2025 naik 1 poin menjadi 63 persen. Di tahun 2024, di bawah Lombok Utara itu, ada Kabupaten Dompu dengan skor 59 persen, namun di tahun 2025, peningkatannya cukup signifikan, naik 10 poin sehingga skornya menjadi 69 persen. Dan tahun ini, SPM kita berada pada urutan paling bawah dalam sektor pendidikan di Nusa Tenggara Barat (NTB).   

Salah satu tokoh yang saat ini diberikan Amanah sebagai wakil ketua PCNU Kabupaten Lombok Utara itu juga menyinggung soal angka Anak Tidak Sekolah (ATS) di Lombok Utara yang masih banyak. “Tahun 2024 lalu, ATS berjumlah 2.900 anak dan tahun 2025 turun 300 anak menjadi 2.600 anak”, tuturnya. Tentu saja hal ini sungguh sangat disayangkan, padahal di satu sisi lembaga pendidikan baik negeri maupun swasta di Lombok Utara terus bertambah seiring berjalannya waktu. Ia juga menyampaikan bahwa akses anak-anak Lombok Utara terhadap perguruan tinggi bisa dibilang masih sangat sedikit. Menurutnya, melihat kenyataan-kenyataan ini tentu saja tidak boleh dibiarkan sebab akan berdampak pada kualitas hidup masyarakat Lombok Utara, bahkan jika hal ini diabaikan akan menyebabkan kemiskinan terstruktur atau dampak lainnya yang tentu tidak diinginkan.

Momentum refleksi itu juga dihadiri oleh Anhar Putra Siswanto salah satu tokoh pemuda yang fokusnya banyak menyoroti kondisi perpolitikan di Lombok Utara. Pada kesempatan itu, ia banyak menuangkan pandangannya dalam melihat kondisi perpolitikan selama kurun waktu 17 tahun ini.

Pada momentum Refleksi 17 Tahun Kabupaten Lombok Utara yang digelar di Pasirputih itu, Anhar Putra Siswanto menyampaikan pandangan kritisnya terkait demokrasi di daerah otonomi baru, persoalan pendidikan, hingga fenomena kasus bunuh diri (bundir) yang marak terjadi di wilayah tersebut.

Anhar membuka pandangannya dengan mengutip sebuah nasihat: “Siapa yang tidak mengambil nasihat dari kata-kata, maka dia akan dinasihati oleh peristiwa.” Ia menyoroti bahwa dalam praktik demokrasi, terutama di daerah otonomi baru, seringkali yang terjadi adalah pemenang pemilu menguasai penuh kekuasaan. Fenomena ini, menurutnya, adalah kenyataan yang sulit dihindari sepanjang sejarah peradaban demokrasi.

“Situasi seperti ini melahirkan oligarki kekuasaan,” tegas Anhar. Ia menjelaskan bahwa bahaya oligarki terletak pada tertutupnya akses publik. Kekuasaan hanya berada di tangan segelintir elit, tanpa keterbukaan dan partisipasi luas masyarakat.

Dalam konteks pendidikan, Anhar sepakat dengan pandangan Dr. Marzoan Swandi yang mendorong pemerintah daerah untuk menitikberatkan program pada penanganan persoalan pendidikan demi terciptanya kesetaraan pengetahuan.

Menurutnya, ide pembangunan perguruan tinggi di Lombok Utara memang menarik, namun bukan prioritas utama. “Dana yang dikelola daerah sangat terbatas, sehingga prioritas seharusnya adalah meningkatkan Standar Pelayanan Minimal (SPM), Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dan mengurangi angka anak tidak sekolah (ATS),” ujarnya. Anhar bahkan mengusulkan agar setiap anggota DPRD Lombok Utara dapat mengalokasikan dana aspirasi untuk membiayai pendidikan anak-anak daerah ke jenjang perguruan tinggi.

Menanggapi maraknya kasus bunuh diri di Lombok Utara, Anhar menilai respons pemerintah sejauh ini belum cukup serius. Meski publik kerap mengaitkan fenomena ini dengan faktor ekonomi, ia memiliki pandangan berbeda.

“Banyak orang dengan kondisi ekonomi lebih buruk tetap memilih bertahan hidup. Dari perspektif sosiologi, saya melihat masalah ini muncul karena anak-anak kehilangan jejaring sosial,” jelasnya.

Ia menggarisbawahi bahwa komunitas, pertemanan, dan interaksi sosial memiliki peran penting bagi kesehatan mental anak muda. Sayangnya, ketergantungan terhadap gawai (gadget) justru menggerus interaksi itu, sehingga berdampak pada kondisi psikologis mereka.

Di akhir penyampaiannya, Anhar menekankan pentingnya memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh anak muda di Lombok Utara, baik di sektor pendidikan maupun sektor lain. Baginya, membangun kualitas manusia melalui pemerataan akses pendidikan adalah kunci untuk masa depan daerah yang lebih baik.

Abed Albajairi Adanan, Ketua Keluarga Besar Mahasiswa Lombok Utara (KBMLU) menyampaikan pandangan kritisnya dalam acara Refleksi 17 Tahun Kabupaten Lombok Utara yang digelar di Pasirputih. Dalam forum tersebut, ia menyoroti sejumlah persoalan mendasar di Lombok Utara, mulai dari maraknya kasus bunuh diri (bundir), minimnya keterbukaan informasi publik, hingga lemahnya tradisi gerakan mahasiswa di daerah tersebut.

Menurutnya, kasus bundir di Lombok Utara bukan lagi soal kuantitas, melainkan sudah menjadi masalah mendasar yang harus mendapat perhatian serius. “Kalau sudah lebih dari sepuluh kasus, berarti ada yang salah. Pemerintah seharusnya memikirkan langkah-langkah strategis untuk mengatasinya,” tegasnya.

Sebagai mahasiswa jurusan sosiologi, ia merujuk pada teori bunuh diri yang dikemukakan Émile Durkheim, yang menyebut ada dua penyebab utama seseorang mengakhiri hidup: tekanan yang berlebihan dan kurangnya dukungan emosional atau integrasi sosial.

Ketua KBMLU juga menjelaskan bahwa organisasi ini dibentuk dengan tujuan menjadi pengawas eksternal di Lombok Utara. Menurutnya, momen refleksi 17 tahun Kabupaten Lombok Utara sekaligus menjadi cermin minimnya aksi mahasiswa. “Terakhir kali mahasiswa melakukan aksi besar adalah saat pemekaran daerah. Setelah itu, nyaris tidak ada gerakan,” ujarnya.

Ia menilai keterbukaan informasi publik di Lombok Utara masih sangat rendah. Padahal, katanya, membangun daerah bisa dimulai dari langkah sederhana: melibatkan masyarakat sesuai kapasitasnya dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Lebih jauh, ia berharap ruang-ruang kritisisme warga dapat tumbuh sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam memajukan daerah.

Dalam beberapa waktu terakhir, KBMLU aktif mengawal berbagai isu publik. Mereka fokus pada persoalan Penerangan Jalan Umum (PJU) dan telah beberapa kali melakukan audiensi dengan DPRD Lombok Utara dan PLN Unit Kabupaten Lombok Utara. Selain itu, KBMLU juga menyoroti gapura perbatasan yang belum dibangun oleh Pemda, tanah terlantar, hingga rumah tahan gempa (RTG) yang sampai saat ini belum rampung.

Dalam acara Refleksi 17 Tahun Kabupaten Lombok Utara yang digelar di Pasirputih tersebut, Hamjadid, salah satu pemuda asal Kecamatan Pemenang, menyampaikan pandangan reflektifnya tentang nilai-nilai kearifan lokal, pentingnya oposisi dalam demokrasi, dan dua musuh utama yang dihadapi Lombok Utara: kemiskinan dan kebodohan.

Hamjadid menekankan perlunya menghayati kembali filosofi “tioq tata tunaq sebagai dasar untuk menumbuhkan kasih sayang terhadap Gumi Paer Lombok Utara. Ia juga mengingatkan kembali prinsip “mempolong merenten” yang menurutnya mulai luntur di tengah masyarakat.

“Prinsip ini seharusnya tidak hanya hidup dalam budaya masyarakat, tetapi juga menjadi pedoman di lingkup pemerintahan daerah,” ujarnya. Ia menilai aneh jika seseorang yang sebelumnya berada di barisan oposisi justru disingkirkan setelah pemenang pemilu berkuasa. Baginya, meski hal itu lumrah, oposisi tetap penting sebagai penyeimbang dalam demokrasi.

Hamjadid menegaskan bahwa wajar bagi warga untuk memiliki asumsi kritis bahwa kebijakan pemerintah yang sudah menjabat tidak selalu berada on the track.

Menurutnya, dua musuh terbesar Lombok Utara adalah kemiskinan dan kebodohan. Ia mengutip ajaran agama yang menyatakan bahwa kefakiran dapat mendekatkan seseorang pada kekafiran.

Sementara kebodohan, yang dimaknai sebagai ketidaktahuan dan ketidakpahaman, menurut Hamjadid menjadi penghalang besar bagi kemajuan. “Banyak warga bahkan tidak mengetahui peraturan daerah yang telah dibuat oleh legislative jumlahnya sudah berapa,” ungkapnya.

Karena itu, ia mendorong adanya upaya serius untuk mewujudkan keterbukaan informasi publik sebagaimana amanat undang-undang, agar masyarakat dapat berpartisipasi penuh dalam pembangunan daerah.

Dalam acara Refleksi 17 Tahun Kabupaten Lombok Utara yang digelar di Pasirputih, Hirwan, salah seorang pemuda asal Kecamatan Pemenang, mengajak masyarakat dan pemerintah daerah untuk memperbaiki paradigma dalam merespons persoalan-persoalan strategis di daerah.

Ia mengkritik pola respons yang menurutnya kerap seperti “pemadam kebakaran” – baru bertindak setelah masalah membesar, padahal tanda-tandanya sudah terlihat jelas sejak awal. “Tentu saja ini tidak bisa dibebankan hanya kepada pemerintah. Kita sebagai warga juga harus mengubah paradigma dalam merespons masalah,” tegasnya.

Hirwan menekankan pentingnya mengutamakan kualitas dalam setiap pekerjaan, terutama yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Ia mengingatkan agar pembangunan tidak sekadar mengejar kuantitas, melainkan benar-benar memperhatikan mutu hasilnya.

“Contohnya saja pembangunan jalan. Jangan hanya berpikir berapa panjang jalan yang dibangun, tapi pastikan kualitasnya tahan lama dan bermanfaat optimal,” ujarnya.

Dalam bidang pendidikan, Hirwan membagikan pengalamannya saat menjadi mitra pemerintah daerah di sekolah dasar. Ia menyayangkan masih ditemui siswa kelas 5 SD yang belum bisa membaca. Setelah ditelusuri, penyebabnya adalah paradigma “kasihan” di kalangan guru.

“Seharusnya siswa tidak dinaikkan kelas jika belum menguasai kemampuan membaca. Tapi karena kasihan, akhirnya mereka dinaikkan. Akibatnya, masalah itu terbawa hingga jenjang yang lebih tinggi,” jelasnya.

Menurut Hirwan, mengubah paradigma seperti ini adalah langkah penting untuk memastikan pendidikan di Lombok Utara mampu mencetak generasi yang berkualitas.

Metawadi, salah seorang tokoh umat Buddha di Kecamatan Pemenang, menyoroti persoalan bunuh diri (bundir) yang marak terjadi di Kabupaten Lombok Utara. Dalam acara Refleksi 17 Tahun Kabupaten Lombok Utara itu, ia menilai kasus-kasus tersebut kerap berawal dari hilangnya ruang interaksi sosial di tengah masyarakat.

Menurutnya, banyak orang yang mengalami keterasingan karena kehilangan teman diskusi dan ruang berbagi. Kondisi ini membuat pilihan bunuh diri—yang sebetulnya tidak rasional—menjadi terasa rasional bagi mereka yang terjebak dalam kesepian.

“Pemerintah daerah perlu memberi perhatian pada kearifan-kearifan lokal kita di KLU. Nilai-nilai budaya yang memperkuat rasa kebersamaan bisa menjadi penangkal perasaan keterasingan yang sering memicu bunuh diri,” ujarnya.

Metawadi juga menyoroti berkurangnya ruang terbuka hijau di Lombok Utara. Ia menyebut Lapangan Tanjung kini tengah dibangun, sementara Lapangan Pemenang telah beralih fungsi menjadi pasar. Baginya, ruang-ruang publik seperti lapangan bukan sekadar fasilitas, tetapi juga wadah penting untuk membangun interaksi sosial dan kebersamaan.

Bagi Metawadi, pendidikan adalah jawaban untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Ia menegaskan perlunya memastikan semua anak di Lombok Utara mendapatkan kesempatan bersekolah.

Namun, ia menilai paradigma pendidikan saat ini perlu dievaluasi. “Di sekolah saya masih ada satu dua anak yang belum bisa baca tulis, padahal sebentar lagi akan lulus dan masuk SMA,” ungkapnya.

Selain masalah kualitas pengajaran, ia juga menyoroti kekurangan fasilitas belajar di sejumlah sekolah. “Fasilitas yang memadai adalah bagian penting untuk memastikan anak-anak bisa belajar dengan optimal,” tambahnya.

Ehsan, anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Sigar Penjalin, menyoroti kondisi pariwisata di wilayah Sira dalam acara Refleksi 17 Tahun Kabupaten Lombok Utara yang digelar di Pasirputih. Ia menekankan bahwa Sira merupakan penyumbang pajak terbesar kedua setelah kawasan tiga Gili, namun kondisinya justru kurang mendapat perhatian dari pemerintah daerah.

“Memang banyak wisatawan yang mengakui Sira punya pantai yang indah. Tapi mereka juga mengakui, dari awal masuk saja sudah angguq-angguq, karena jalannya banyak berlubang,” ungkapnya, merujuk pada kondisi infrastruktur yang memprihatinkan. Ia juga menyoroti minimnya penerangan jalan umum di wilayah tersebut.

Di usia Kabupaten Lombok Utara yang ke-17, Ehsan berharap pemerintah daerah benar-benar melihat dan memperhatikan wilayah-wilayah yang menjadi sumber pajak besar. Menurutnya, pengalokasian anggaran harus mempertimbangkan kontribusi pajak yang dihasilkan, agar daerah penghasil dapat merasakan manfaat langsung dari pendapatan yang mereka sumbangkan.

Sebagai seseorang yang bergelut di desa, Ehsan menyampaikan bahwa banyak hal yang sudah dibahas dan didiskusikan di tingkat desa, namun tidak serta merta mendapatkan respons dari pemerintah daerah.

Ia berharap kegiatan refleksi seperti ini menjadi ruang penting bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi secara langsung kepada pemangku kebijakan. “Harapannya, apa yang disampaikan masyarakat bisa benar-benar didengar dan ditindaklanjuti,” pungkasnya.

Ketua Yayasan Pasirputih, Muhammad Gozali, menegaskan bahwa kegiatan refleksi seperti Refleksi 17 Tahun Kabupaten Lombok Utara menjadi ruang penting untuk mengasah nalar kritis warga dalam melihat kondisi daerah.

Menurutnya, ruang semacam ini mendorong lahirnya semangat bersama untuk membayangkan dan merancang masa depan Lombok Utara. Ia mengisahkan kembali ucapan seorang temannya saat menghadiri Festival Bangsal Menggawe tahun 2016, yang baru pertama kali datang ke Lombok Utara: “Setiap turunan dan tikungan Lombok Utara luar biasa.” Bahkan, kata Gozali, ada penulis yang menyebut Lombok Utara diciptakan dalam keadaan tersenyum.

Gozali mengakui bahwa selama 17 tahun berdirinya Kabupaten Lombok Utara, banyak hal telah dicapai. Namun, ia menekankan masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, terutama oleh pemerintah daerah yang memegang kewenangan kebijakan.

Ia kemudian mengutip cerita rakyat (waran) Maq Rambut dari Bayan. Dalam cerita itu, seorang pemimpin kerap memberi perintah kepada rakyatnya untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya bisa mereka lakukan tanpa perintah. Cerita ini, menurut Gozali, menjadi pengingat bahwa masyarakat Lombok Utara memiliki potensi dan kemandirian yang besar.

Berdasarkan catatan sejarah, ia juga menyebut bahwa sebelum pemekaran, banyak sumber daya seperti perikanan, kelautan, dan pertanian di Lombok Barat berasal dari wilayah yang kini menjadi Lombok Utara.

Bagi Gozali, Lombok Utara adalah daerah yang kaya akan sumber daya alam, namun kekayaan ini harus diimbangi dengan kualitas sumber daya manusia yang mumpuni. Karena itu, ia mendorong program-program pembangunan yang menitikberatkan pada penguatan kapasitas dan kualitas manusia sebagai prioritas utama.

Di akhir pertemuan, Alam Kundam salah satu musisi kondang di Lombok Utara mendendangkan dua buah lagu ciptaannya, sebagai tanda acara telah mencapai ujungnya.

***

Malam itu, sejarah tidak dibaca dari buku, tetapi dari wajah-wajah yang duduk bersama. Refleksi ini bukan perayaan gemerlap, melainkan upacara batin yang khusyuk. Di antara suara jangkrik dan bisik dedaunan, kami menyulam kembali ingatan-ingatan kolektif. Tujuh belas tahun adalah jeda untuk berhenti sejenak, menoleh ke belakang, dan bertanya: apa yang telah kita lakukan, dan ke mana kita akan melangkah? Lombok Utara bukan sekadar entitas administratif. Ia adalah rumah yang dibangun dari tangan-tangan warga yang tak kenal lelah. Ia adalah puisi yang terus ditulis ulang oleh generasi yang datang dan pergi. Dan malam itu, dengan segala kesahajaan dan keheningan yang bermakna, kami memperbarui ikrar kami: untuk menjaga, merawat, dan membesarkan kabupaten ini dengan hati nurani dan cinta yang tak usai.