Penulis : Mashur Khalid
Pagi itu, langit Lombok Utara begitu bersih, seolah baru saja dibasuh hujan semalam. Udara masih menyimpan sisa sejuk dari embun yang belum sepenuhnya menguap. Dari jendela kantor Pasirputih, terlihat jalan setapak yang perlahan hidup: suara motor, langkah pejalan kaki, dan deru angin yang memutar di antara pepohonan Flamboyan. Di bawah langit yang tenang itu, kami bersiap berangkat—sebuah perjalanan singkat yang kami harap akan membuka percakapan panjang tentang masa depan pengetahuan dan kebudayaan di tanah ini.
Sekitar pukul 09.00 WITA, saya bersama Gozali, Hamdani, Alya, Wahyu, dan Indah meninggalkan Kantor Pasirputih di Kecamatan Pemenang menuju Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Hamzar Lombok Utara. Perjalanan hanya memakan waktu sekitar 20 menit, jarak yang tak terlalu jauh dari kantor kami.
Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Hamzar, atau yang disingkat STKIP Hamzar, adalah perguruan tinggi yang berlokasi di Dusun Tanak Song, Desa Jenggala, Kecamatan Tanjung, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Berdiri pada tahun 2011, perguruan tinggi ini kini telah berusia 14 tahun. STKIP Hamzar memiliki dua program studi unggulan, yaitu Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini (PG-PAUD) dan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD). Saat ini, lebih dari 1.000 mahasiswa menempuh pendidikan di kampus tersebut. Perguruan tinggi ini berada di bawah naungan Yayasan Pondok Pesantren Maraqit Taklimat Lombok Timur.
Pada momentum kunjungan institusi yang diinisiasi oleh Pasirputih kali ini, STKIP Hamzar menjadi salah satu tujuan utama. Pemilihan ini tidak terlepas dari peran STKIP Hamzar sebagai lembaga pendidikan formal, khususnya di Kabupaten Lombok Utara. Kami meyakini bahwa perguruan tinggi, sebagai ruang pendidikan, memiliki potensi besar untuk mendorong perubahan positif di masa depan—sesuatu yang tidak sepenuhnya dapat diwujudkan oleh komunitas seni sebagaimana gerakan yang selama ini dijalankan oleh Pasirputih.
Sesampainya di kampus tersebut, suasana tampak lengang. Dari kejauhan, beberapa mahasiswa terlihat mengurus keperluan administrasi. Di balik kaca jendela kantor, dosen-dosen sibuk dengan tumpukan pekerjaan administratif. Kampus sedang libur panjang, sehingga sunyi terasa merayap di antara bangunan-bangunan.
Berbeda dengan kampus di perkotaan, STKIP Hamzar memiliki halaman yang luas dan asri. Pepohonan berdiri kokoh, rumput hijau terbentang segar. Tiga berugaq berdiri di depan gedung kelas dan perkantoran, seakan menjadi saksi tenangnya hari itu.


Foto Bareng Setelah Diskusi Bersama Moch. Hasrul (Foto: Arsip Pasirputih)
Perjumpaan kami dengan STKIP Hamzar sebenarnya berawal dari 2023 lalu. Puluhan mahasiswa mereka ikut serta dalam peluncuran 15 Film Komik Waran Lombok Utara di Desa Wisata Taman Fantasi, Pemenang Barat. Setelah itu, hubungan terjalin lewat kunjungan Moch Hasrul—supervisor program Penguatan Karakter Siswa Mandiri melalui Kreasi Seni (Presisi)—yang berdiskusi dengan mahasiswa di halaman kampus.
Seiring waktu, minat mahasiswa terhadap program Pasirputih semakin tumbuh. Mereka terlibat dalam Open Lab Tanah Harapan pada Pekan Kebudayaan Nasional 2023, menghasilkan karya seperti video vlog tentang tanaman hutan lindung, sketsa wajah petani hutan, permainan edukatif, hingga teater tumbuhan. Semua karya itu lahir sebagai respons terhadap kekayaan alam hutan lindung, yang kami sebut sebagai Tanah Harapan.


Suasana Diskusi dan Bedah Buku “Memataq” Kumpulan Proses Kegiatan Partisipan OpenLab Tanah Harap (Foto: Arsip Pasirputih)
Karya-karya tersebut dipamerkan di berbagai tempat, termasuk di kampus mereka sendiri. Bahkan, prosesnya terdokumentasi dalam sebuah buku yang kemudian dibedah dan didiskusikan bersama mahasiswa dan dosen. Bagi warga kampus, ini adalah pengalaman baru yang membuka perspektif, dan apresiasi pun mengalir. Pada Bangsal Menggawe 2024, mereka kembali terlibat sebagai “teman seniman” yang menjembatani interaksi antara seniman, Pasirputih, dan warga sekitar residensi.

Kunjungan kali ini kami maksudkan untuk memperkuat silaturahmi dan membicarakan potensi kerja bersama, khususnya dalam memanfaatkan seni, media, dan teknologi untuk merespons isu mitigasi bencana dan perubahan iklim. Setibanya di kampus, kami bertemu beberapa dosen dan mahasiswa yang tengah mengurus laporan praktik lapangan. Tak lama kemudian, Ketua STKIP Hamzar, Lalu Habiburrahman, datang. Kami sudah mengenalnya sejak lama; ia memimpin kampus ini sejak 2023 dan resmi dilantik pada 2024. Sambutannya hangat, penuh ramah-tamah.

Sebelum diskusi, kami menyiapkan kamera video dan foto—tentu dengan izin beliau. Ia mendukung penuh dokumentasi ini, karena percaya bahwa kerja pengetahuan harus terdokumentasi dan diarsipkan dengan baik. Alya Maolani sempat meminta pendamping dari civitas akademika. Bendahara kampus bersedia hadir, namun kemudian pamit karena urusan administrasi, dan posisinya digantikan oleh Musafir, salah satu dosen.

Muhammad Gozali membuka perbincangan dengan menjelaskan latar belakang dan tujuan kunjungan, termasuk kemungkinan kolaborasi di masa depan. Ia menegaskan bahwa Pasirputih ingin merespons isu global perubahan iklim melalui pendekatan seni media. Lalu Habiburrahman mendengar dengan saksama dan mengamini keresahan itu.
Dalam percakapan, terungkap bahwa pemanfaatan media di kampus sejauh ini masih sebatas penggunaan media sosial seperti Facebook dan Instagram untuk menyebarkan informasi kegiatan. Pemanfaatan seni media seperti video, film, atau website masih terbatas, kecuali untuk kebutuhan tugas dosen terkait Beban Kerja Dosen (BKD). Program KKN dan praktik lapangan biasanya diarahkan untuk merespons isu daerah, seperti stunting atau pernikahan anak usia dini.

Program yang terkait langsung dengan mitigasi bencana dan perubahan iklim belum banyak tersentuh. Salah satu alasannya adalah keterikatan pada kurikulum kementerian terkait. Meski begitu, adanya kurikulum muatan lokal yang mulai diinisiasi Pemerintah Daerah Lombok Utara memberi harapan untuk program yang lebih kontekstual, memanfaatkan media pembelajaran yang relevan dengan lokalitas.
***
Diskusi di ruang ber-AC yang nyaman membuat waktu terasa cepat berlalu. Menyadari masih ada tujuan berikutnya, kami menutup pertemuan, berpamitan, lalu berfoto bersama. Sebagai penutup, kami menyerahkan plakat dan pin berlogo Pasirputih—sebuah tanda persahabatan yang kami harap akan membuka babak kolaborasi baru di masa depan.
Sore mulai merayap ketika kami meninggalkan halaman kampus. Jalanan kembali terasa akrab, namun di dalam kepala, percakapan tadi masih berputar. Ada harapan yang tumbuh, seperti benih kecil yang baru saja ditanam di tanah subur: bahwa pertemuan ini bukan sekadar kunjungan, melainkan langkah awal merajut gagasan, menyulam rencana, dan menyiapkan ruang bagi pengetahuan untuk berakar di bumi Lombok Utara.